Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

15 Maret 2009

Tips Memukul Bola di Pasir Basah

Golf Tips oleh Nyoman Sarjana
*Golf Pro The Taman Dayu Club


Sungguh, tidak mudah bermain golf di lapangan yang basah karena air hujan. Green yang biasanya mampu membuat bola tergelinding manis menuju hole, hampir pasti tidak ditemui saat rumput basah. Bola jadi tersendat karena lajuu terhambat butiran air. Belum lagi bila bola "terjebak" dalam bunker pasir. Dalam keadaan kering saja, bunker pasir itu menyulitkan, bagaimana bila dalam keadaan basah. Dalam golf tips kali ini, The Birdie The Taman Dayu Club akan mengulas trik-trik memukul bola di atas pasir basah.

Aku Tertekan, Maka Aku Menang…

Jojo Raharjo

Liverpool selalu tampil menggila jika berada dalam tekanan dan diremehkan banyak orang. Saat undian perdelapanfinal Liga Champions Eropa mempertemukan Liverpool dengan Real Madrid, banyak orang mencibir kekuatan “Si Merah”. Bahkan, tiga hari menjelang laga pertama di Madrid, pelatih Madrid, Juande Ramos, yang baru saja membawa timnya menang 6-1 di La Liga sesumbar akan melibas Liverpool 5-1.

12 Maret 2009

Isu Lingkungan Tidak Menjadi Prioritas Caleg

Iman D. Nugroho, Surabaya

Pemilihan Umum 2009 dipastikan tidak akan mengubah regulasi pemerintah mengenai lingkungan. Hal itu bisa dilihat dari tidak dijadikannya isu-isu lingkungan sebagai isu sentral kampanye calon legislatif melalui spanduk-spanduk, maupun iklan di media massa. Hal itu dikatakan Prigi Arisandi, Direktur Ecoton, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah pada The Jakarta Post, Kamis (12/3) ini. "Dalam skala Jawa Timur saja, tidak ada caleg yang menjadikan isu lingkungan seperti pengelolaan air sungai dalam spanduk, poster atau iklan, keadaan tidak akan berubah," kata Prigi Arisandi.


Ecoton secara khusus menyoroti prilaku politik di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Sungai Brantas di Surabaya. Di 13 kabupaten dan kota yang dialiri Sungai Brantas, tidak ada satu pun caleg yang mengusung isu lingkungan. Bahan, bupati dan walikota yang kembali mencalonkan diri atau terlibat di partai politik pun, seakan enggan mengusung persoalan lingkungan. Mulai Malang, Batu, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo sampai Gresik. Kondisi yang sama juga terjadi di kabupaten-kota di Jawa Timur yang dialiri oleh Sungai Bengawan Solo. Mulai Bojonegoro, Tuban, Lamongan hingga Gresik. "Padahal mereka-mereka ini akan menjadi wakil rakyat yang sekaligus menjadi harapan kita untuk meregulasi lingkungan di Jawa Timur," kata Prigi.

Dalam analisa Ecoton, di daerah yang dialiri Sungai Brantas maupun Sungai Bengawan Solo, "dikuasai" oleh politisi dari PDI Perjuangan. Karena itulah, Ecoton menilai, PDI Perjuangan seharusnya lebih mendorong isu-isu lingkungan. Namun, sayangnya hal itu tidak terjadi. Padahal, secara nasional Sungai Brantas maupun Sungai Bengawan Solo digolongkan sebagai sungai yang strategis. Sungai Brantas misalnya, menjadi andalan pengairan sawah yang menyuplai 20 persen beras nasional. "Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) No.11A tahun 2002 disebutkan sungai-sungai itu sebagai sungai strategis," jelas Prigi Arisandi.

Pengamat Politik Universitas Airlangga, Kacung Marijan menilai, sangat tidak strategis bagi caleg untuk tidak peduli dalam persoalan riil seperti lingkungan hidup. Justru dalam pemilihan langsung seperti saat ini, isu-isu riil seperti itulah yang dibutuhkan masyarakat. "Sudah seharusnya mereka mengusung isu-isu riil yang ada di masyarakat, bukan cuma isu-isu pragmatis," kata Kacung pada The Jakarta Post. Namun, hal itu bisa dipahami karena para caleg itu tidak memahami isu-isu lingkungan. Tidak hanya itu, bahkan partai pun, terkesan abai dengan persoalan lingkungan.

Dalam pandangan Kacung, partai dan caleg hanya berkutat pada dua isu besar, kesehatan dan pendidikan. "Ini terjadi karena mayoritas penduduk Indonesia juga tidak peduli dengan persoalan lingkungan, padahal bila dilihat lagi, justru ini persoalan serius. Lihat saja berbagai bencana yang terjadi," kata Kacung. Tokoh muda NU ini mengingatkan tentang fungsi edukasi yang seharusnya melekat pada partai dan politisi. Termasuk caleg. "Mereka hanya terjebak pada isu-isu yang bersifat umum dan jangka pendek, tidak esensial dan berguna bagi masyarakat banyak seperti isu lingkungan," katanya.

11 Maret 2009

Berpulangnya Pelopor Gerakan Kaum Muda

Rahmad Sumandjaya, Surabaya

Pemerintah Indonesia Harus paham bahwa kita semua telah kehilangan seorang pelopor pergerakan kaum muda. Dialah salah satu orang yang kemudian menjadikan demokrasi di republik ini kian subur dan menggiurkan. Semoga senantiasa ada damai di sisi Allah swt. Selamat jalan DIDIT... Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun. (brotoseno)


Demikianlah sms (sort message service) yang dibacakan oleh Gembos di hadapan ratusan orang yang hadir di rumah mendiang Aditya Harsa atau biasa dipanggil Didit. Semua yang hadir menampilkan rasa kehilangan yang tak terucap. Gembos alias Bambang Yudho Pramono sendiri menyampaikan pidatonya dengan mata berkaca-kaca bersemu merah.

Senin (2/3/2009), kompleks perumahan dosen Unesa di Ketintang terasa panas. Sinar matahari menyengat dengan tanpa iba di atas kulit-kulit tangan dan wajah orang-orang yang berada di bagian barat kawasan kampus Universitas Negeri Surabaya tersebut. Terlihat puluhan orang bergerombol di pintu gerbang yang telah dipadati mobil dan belasan sepeda motor. Beberapa meter dari pintu gerbang, berdiri sebuah rumah bercat putih dengan kusen kayu berwarna coklat dan kuning. Pagarnya telah dicopot. Di depan rumah ini terpasang terop yang menaungi puluhan orang, tua dan muda, laki-laki dan perempuan bahkan anak-anak. Agak ke timur, terlihat lagi puluhan pemuda dan banyak sepeda sepeda motor yang diparkir tidak teratur.

Taufik Hidayat, seorang aktivis gerakan pro demokrasi yang biasa dipanggil ‘Tomo’ – singkatan Topik Monyong – berjalan pelan sambil menenteng sebuah megaphone ke hadapan orang-orang yang berada di bawah terop. Di lengan kirinya terlilit pita kain merah putih. Dia lalu mulai pidatonya dengan suara yang tidak keras namun mantap. “Kita semua telah ditinggal oleh seorang sahabat, saudara, sekaligus guru yang baik.” Suaranya menjadi serak, dan dia melanjutkan berbicara.

“Semasa hidup, Pak Didit, telah banyak memberikan teladannya. Beliau lebih memilih berkeliling naik vespa ke kampung-kampung dan ke daerah-daerah miskin di Surabaya untuk membesarkan hati orang-orang, dan mengatakan kepada meraka, jangan menyerah, jangan pasrah. Bahkan tadi malam, sebelum beliau pergi untuk selama-lamanya, saya ditelepon oleh Pak Didit, mengingatkan saya untuk terus melakukan aksi-aksi pro demokrasi. Itulah wasiat yang beliau tinggalkan bagi kita semua. Agar kita tidak berhenti bergerak dan memikirkan nasib orang-orang yang tidak beruntung, orang-orang yang tertindas tanpa sadar. Dan kepada semua orang yang berada di negeri yang masih kacau ini,” ujar Taufik menutup pidatonya dan menyerahkan megaphone kepada Tjuk Sukiadi yang mewakili keluarga.

Sepuluh menit lebih Tjuk Sukiadi memberikan kesan-kesannya tentang almarhum Aditya Harsa. Selanjutnya megaphone diserahkan kepada Gembos atau Bambang Yudho Pramono yang telah lebih dua puluh tahun berdampingan dengan almarhum dalam suka maupun duka di dunia gerakan pro demokrasi Indonesia. Alumnus ITS ini mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan cepat. Sebelum menyerahkan kembali megaphone yang biasa dipakai berunjukrasa itu ke Taufik, Gembos membacakan dari handphone-nya sebuah sms seorang kawan di Jogja.

Seorang pelayat bernama Jumi yang aktif di kegiatan seni teater mengatakan kepada pelayat lain di sebelahnya, “Aditya Harsa adalah tokoh gerakan tahun 80-an. Dia terpaksa tidak menyelesaikan kuliahnya di FH Unibraw Malang dan pindah ke Universitas Pakuan, Bogor. Dia dikenal sebagai benang merah yang menyambung tiga generasi sekaligus. Generasi Gatut Kusumo, bapaknya yang menjadi penulis naskah film Soerabaia 45. Generasinya sendiri dan juga generasi aktivis yang lebih muda seperti aktivis 98 yang memaksa almarhum Suharto lengser tempo hari.”

“Ehm,” sahut pria di sebelah Jumi dengan tenang. “Di Bogor dia adalah bapak angkat para sopir angkot. Dia orang yang tidak bisa dijinakkan oleh rezim orde baru pada masa itu. Anak pertamanya sekolah menengah, ahli catur dan sudah juara di Surabaya dan adiknya jago main piano,” ujarnya menimpali kenangan Jumi terhadap Aditya Harsa.

Dari depan rumah duka, Taufik mengumumkan melalui megaphone bahwa jenazah akan dibawa ke masjid untuk disholatkan. Dan setelah itu akan langsung menuju pemakaman umum di kawasan Ketintang Barat tak jauh dari situ.

Suasana menjadi hening. Dari dalam rumah, sayup-sayup terdengar alunan musik klasik yang familiar. Rupanya Fahri, anak kedua mendiang Aditya Harsa sedang memainkan piano di depan jenazah bapaknya, memperdengarkan lagu yang biasa dia lantunkan. Banyak pelayat tak kuasa menahan tetes air mata.

Tak lama. Terdengar lengking Laa ilaa ha illallah, Laa ilaa ha illallah, Laa ilaa ha illallah peti kayu dari dalam rumah yang di dalamnya terbujur jenazah Aditya Harsa diangkat beramai-ramai ke atas kereta jenazah. Beberapa orang menutupkan selembar kain hijau dan bendera merah putih di atas peti dan mendorongnya menuju masjid. Lafadz Laa ilaa ha illallah terus terdengar sepanjang perjalanan.

Tiga puluh menit berlalu...

Teknik Mesin ITS Lepas Delapan Dosen Seniornya

Press Release

Sebagai bentuk penghargaan terhadap pengabdian delapan dosennya yang telah memasuki masa pensiun, Jurusan Teknik Mesin ITS mengadakan acara Pisah Kenang Purna Tugas di ruang D-303 Teknik Mesin ITS, Rabu (11/3). Kedelapan dosen tersebut adalah Ir A Aziz Badjabir BE, mantan rektor ITS Prof Ir Djati Nursuhud MS ME, Hardjono MSc, Ir Arie Joewono, Ir Musaikan, Ir Sunarko, Ir Tjipto Basuki, dan Ir Wahid Suherman. Ketulusan pengabdian yang telah mereka persembahkan di ITS telah berhasil mencetak ribuan tunas bangsa.


Menjadi seorang pendidik adalah sebuah plihan yang sangat jarang sekali ditempuh bagi sivitas akademika kampus mana pun dengan berbagai argumen yang ada. Namun bagi delapan dosen Teknik Mesin ITS ini, menjadi seorang pengajar adalah sebuah pengabdian terbesar yang bisa mereka berikan dalam hidupnya untuk orang lain.

Dalam perhelatan tersebut, semua keluarga besar Jurusan Teknik Mesin mulai dari dosen senior hingga yunior memberi ucapan perpisahan kepada delapan dosen tersebut. Dalam acara Purna Tugas tersebut juga dihadiri oleh alumni-alumni serta beberapa dosen dari jurusan lain, karyawan, dan mahasiswa.

Tak lupa, para dosen-dosen senior yang purna tugas tersebut memaparkan sekelumit cerita yang berharga selama puluhan tahun mengabdi di Teknik Mesin ITS. “Saya hanya bisa berpesan kepada semua kolega-kolega sesama dosen dalam mengajar di jurusan ini. Di sini ada dosen yang lebih senior maka datangilah, jika itu dosen sejawat maka hargailah, jika itu karyawan anggaplah mereka sebagai keluarga dan bagi mahasiswa anggaplah mereka sebagai anak kita yang harus kita sayangi,” tutur Arie Juwono yang disambut aplaus para hadirin. Ari juga memaparkan karyanya berupa pesawat pemindah bahan yang dia tawarkan kepada rekan sesama dosen, terutama dosen muda untuk mengembangkannya.

Selain dosen Teknik Mesin, ada pula dosen dari Jurusan Teknik Material dan Metalurgi yang dulunya kuliah dan pernah mengabdi di Teknik Mesin. Adalah Ir Musaikan dan Ir Wahid Suherman, sedikit dari dosen asli jurusan yang mempunyai jargon Uber Alles (di atas segalanya) yang dialihtugaskan ke jurusan Material dan Metalurgi. “Saya sangat berharap mudah-mudahan Teknik Mesin bisa tetap maju,” tandas Wahid Suherman.

Acara pun semakin ramai ketika ada salah seorang alumni yang memberikan testimoni kepada para dosen-dosennya semasa kuliah dulu. ”Saya menjalani prosesi belajar ini selama enam tahun, yang membuat lama adalah karena tersangkut di Pak Sahab (Abdullah Sahab, red). Namun sampai detik ini prosesi belajar tetap ada yakni di perusahaan. Bedanya di sini tidak ada kuis maupun nilai jelek, yang kita tahu tiba-tiba gaji terpotong,” ujar Ari Nugroho yang telah bekerja di salah satu perusahaan swasta disambut gelak tawa semua undangan.

Salah satu pengabdian yang tiada tara dari para dosen tersebut adalah kesediaannya untuk setia mengajar sembari menunggu dosen-dosen muda menyelesaikan S2 atau S3nya di luar negeri. Bahkan Hardjono MSc harus menangguhkan niatnya untuk melanjutkan studi S3 di Amerika Serikat karena minimnya jumlah dosen saat itu. “Saya ucapkan terima kasih banyak karena beliau-beliau telah menjaga hati untuk selalu mengajar sambil kita (para dosen muda, red) bisa menyelesaikan studi kita di luar negeri,” ujar Prof Dr Ir Triyogi Yuwono DEA, mantan Kajur Teknik Mesin.

Jika masa purna tugas kerap diartikan sebagi masa berhenti mengajar, namun para pengabdi pendidikan ini memberi makna pensiun adalah berhenti menjadi PNS bukan menjadi dosen (pendidik, red). “Semoga apa yang diharapkan beliau sekalian akan menjadi kenyataan yang baik,” ungkap Dr Ing Ir Herman Sasongko, Kajur Teknik Mesin ITS mengakhiri.

*HUMAS-ITS, 11 Maret 2009