Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

18 Februari 2009

Mahasiswa ITS Beradu Raih RINA Student Award

Press Release

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya kembali mendapatkan kehormatan dari Royal Institute of Naval Architect (RINA) yang bermarkas di London, Inggris. Sembilan mahasiswa dari Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS berhasil mengikuti seleksi Student Award dari RINA, Rabu (18/2).


Ini merupakan kali pertama RINA memberikan Student Award kepada mahasiswa di Indonesia, dan ITS terpilih sebagai yang pertama mengikuti seleksi. Dalam hal ini, RINA bekerjasama dengan PT Dok Perkapalan Surabaya (DPS) memberikan hadiah berupa sertifikat dan free membership RINA selama setahun.

Kesembilan mahasiswa yang pada bulan Maret nanti akan diwisuda ini adalah hasil seleksi dari tiga jurusan yang ada di FTK ITS, yaitu Jurusan Teknik Perkapalan, Teknik Sistem Perkapalan dan Teknik Kelautan.

Mereka dipilih berdasarkan penilaian kolektif Tugas Akhir (TA) di masing-masing jurusan. Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk mempresentasikan TA-nya dalam waktu 15 menit di depan tim juri. Tim juri sendiri terdiri dari perwakikan dosen FTK ITS, RINA dan DPS. Dari pihak RINA diwakili oleh Dr Petrus Eko Panunggal.

Di samping metodologi penelitian yang digunakan, penilaian juri juga berdasar pada inovasi dan kreativitas penelitian tugas akhir itu. Selanjutnya dilihat daya manfaat dari hasil penelitian tersebut, terutama dari sisi industri.

Dr Suntoyo, koordinator tim seleksi, mengatakan bahwa pemberian ini merupakan bentuk apresiasi RINA dan pihak industri, dalam hal ini PT DPS, terhadap hasil penelitian tugas akhir mahasiswa. FTK ITS sengaja dipilih karena memang telah diakui reputasinya di dunia kemaritiman internasional. “Ini terbukti dari akreditasi yang telah diberikan RINA kepada ITS sebelumnya,” tutur Sunyoto.

Ia berharap dengan adanya Student Award dari RINA ini, akan semakin menumbuhkan kreativitas penelitian mahasiswa. “Sehingga mahasiswa semakin terpacu untuk menghasilkan tugas akhir yang berkualitas,” ujar dosen Teknik Kelautan ini.

Dengan status free membership pada level graduate member, lanjut Sunyoto, peraih student award nantinya berhak atas berbagai fasilitas member dari RINA. Beberapa di antaranya adalah mendapatkan jurnal ilmiah, majalah dan seminar-seminar yang diadakan oleh RINA. Selain itu, mereka akan mendapatkan uang tunai sebesar Rp 1,5 juta yang akan diberikan kepada tiga pemenang terbaik.

MUI Jatim: Praktek Ponari Harus Dihentikan

Iman D. Nugroho, Surabaya

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menilai praktek perdukunan Ponari, Jombang sudah menimbulkan korban dan harus segera di stop. Hal itu dikatakan Ketua MUI Jawa Timur, Abdusomad Bukhori, Rabu (18/2/09). "Praktek itu bisa menimbulkan korban dan membahayakan, maka harus distop," katanya. Untuk menguatkan usulan itu, MUI akan mengirim surat ke Gubernur Jawa Timur Soekarwo, untuk segera bertindak agar tidak sampai kembali jatuh korban.


Dalam pengamatan MUI, apa yang dilakukan masyarakat di Jombang sudah sangat berlebihan. Seperti menggunakan air comberan, lumpur dan air hujan yang menetes dari atap rumah Ponari sebagai bahan obat alternatif. "Kalau ada yang meyakini batu Ponari bisa menyembuhkan, itu sangat berbahaya dan bisa mendangkalkan akidah," kata Abdusomad Bukhori. Lebih jauh MUI mengingatkan kepada umat Islam, agar tidak salah niat dan percaya kepada batu.

Fenomena Ponari sebagai "dukun sakti" terus menjadi bahan pembicaraan di Jawa Timur dan bahkan di Indonesia. Jumlah pasien yang terus mebludak hingga lebih dari 5000-an orang perhari menciptakan euforia. Empat orang meninggal dunia karena berdesakan dan kecapaian. Belum lagi dengan jumlah efek samping yang tercipta. Seperti ekonomi dengan dibukanya kios makanan kecil, penginapan dan tempat parkir. Dalam sehari, omset yang dihasilkan lebih jadi Rp.1 miliar.Bagaimana tidak, biaya parkir untuk mobil Rp. 50 ribu/mobil, dan sepeda motor hingga Rp.10 ribu/mobil. Belum lagi harga makanan dan minuman yang dijual di sekitar rumah Ponari melambung tinggi.

Cerita tentang Ponari juga diwarnai dengan sengketa antara orang tua kandung Ponari, Kamsen(28) dan Mukaromah (40) dengan tetangga yang selama ini menjadi "panitia" pengobatan. Kamsen yang ingin membawa Ponari pulang karena menginginkan Ponari menghentikan praktek perdukunannya dan kembali ke sekolah. Sayangnya, justru Kamsen malah dipukuli hingga dirawat di rumah sakit Jombang. "Saya hanya ingin menjemput anak saya, tapi malah dipukuli," kata Kamsen. Polisi Jombang sudah berkali-kali berusaha menutup tempat praktek dukun itu, namun gagal. Setiap harinya masyarakat tetap berduyun-duyun memadati area rumah Ponari untuk disembuhkan.

Selain soal Ponari, MUI juga menjadikan kasus aliran sesat di Blitar yang mensyaratkan pembayaran sejumlah uang untuk masuk "syurga", kasus pembunuhan seorang tokoh agama di Tuban dan penggunaan nama MUI oleh calon legislatif, sebagai hal yang patut dicermati. Dalam kasus aliran sesat di Blitar, MUI meminta masih akan melakukan penelitian untuk melihat seberapa jauh kesesatan yang dilakukan. "Ada 10 kriteria kesesatan, kalau semuanya terpenuhi, maka aliran itu sudah jelas sebagai aliran sesat," katanya Ketua MUI Jawa Timur, Abdusomad Bukhori. Menyangkut caleg yang menggunakan status MUI, Abdusomad Bukhori meminta agar semua hal tentang MUI harus dilepaskan dari kepentingan politik.

17 Februari 2009

Tambang Rejeki Yang Mulai Ditinggal Pergi

Prasto Wardoyo, Malang

Kawi ternyata tak cuma Pesarean Kawi yang terletak di desa Wonosari Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang. Di atasnya lagi, sekitar 5 kilometer dari Pesarean, terdapat Pesanggrahan atau Pamuksan Prabu Kamesywara I. Kompleks yang dikenal juga dengan nama Kraton inipun lekat dengan imej tentang pesugihan dan dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ritual ziarah ke Gunung Kawi.


Pamuksan Prabu Kamesywara I atau yang lebih dikenal dengan nama Pesanggrahan terletak di dusun Gendogo, desa Balesari Kecamatan Ngajum kabupaten Malang. Dari Pesarean menuju ke pertigaan dekat pangkalan ojek sepeda motor jaraknya sekitar 2 km. Dari sini pengunjung bisa memanfaatkan jasa ojek dengan ongkos antara 20 ribu – 30 ribu Jalanan terus menanjak. 3 km kemudian akan dijumpai pertigaan jalan yang ditandai bando yang bertuliskan Pamuksan Prabu Kamesywara I. Dari sini, Pesanggrahan berjarak kurang lebih1,5 km.

Jalannya berkelok. Kiri kanan merupakan hutan dengan tanah yang mudah longsor. Jadi harus hati-hati bila melintasi jalan yang sudah diaspal ini. Areal parker yang tersedia berada persis di dekat anak tangga yang menuju kompleks Pesanggrahan. Sementara di dekat areal parkir terdapat dua warung yang menyediakan berbagai macam kebutuhan para pengunjung.

Di atas warung, setelah menaiki sejumlah anak tangga, terdapat bangunan utama yang disebut pesanggrahan atau yang dipercaya sebagai tempat muksa Prabu Kamesywara I. Di sebelah kiri bangunan yang cukup luas itu terdapat bangunan kelenteng. Di kelenteng yang terlihat tidak terawat ini berdiri di luar dengan gagah patung dewa Kwan Ong.

Sedikit di bawah bangunan utama terdapat 3 makam berjejer yang tertulis nama-nama Eyang Subroto, Eyang Djoko dan Eyang Hamit. Menurut kepala juru kunci Pesanggrahan yang biasa dipanggil Mas Giok, mereka yang dimakamkan tersebut adalah para abdi dalem Prabu Kamesywara I. Jadi kalau nama-nama itu yang dituliskan di nisan mereka, tentunya nama tersebut adalah tempelan yang diberikan oleh penduduk lokal. Menurutnya, pemberian nama yang terasa anarkhronisme itu untuk mempertautkan keberadaan mereka yang lampau dengan masyarakat sekarang.

Di areal yang terletak di atas kelenteng terdapat bangunan yang disebut Pura. Pura tersebut dipercaya sebagai situs peninggalan dari zaman Prabu Kameyswara I. Di seberang pura terdapat dua makam yang pada nisannya tertulis nama Eyang Jayadi dan Mbah Menik. Nisan tersebut menyebutkan tahun 1271 sebagai tahun meninggalnya Eyang Jayadi.

Lurus dengan Pesanggrahan, setelah menaiki puluhan anak tangga, terdapat bangunan yang dinamai Sanggar Pemujaan. Bangunan seluas 5,5 x 2,5 meter persegi itu merupakan bangunan paling atas dari kompleks Pesanggrahan.

Pada malam hari, areal yang berada di atas ketinggian sekitar 1400 m dpl itu cukup dingin. Bahkan di puncak kemarau, disertai dengan hembusan angin yang tidak terlalu kencang, suhu pada malam hari bisa mencapai 15 derajat Celsius.

Siapa Prabu Kamesywara I? Konon, Prabu Kamesywara I adalah raja dari kerajaan Kediri yang memerintah dari tahun 1115 – 1130 Masehi. Sebelum lengser keprabon madheg pandhita yang artinya turun dari tahta dan menjalani kehidupan sebagai pandhita dengan menjauhi kesenangan duniawi, Prabu Kamesywara I memerintahkan abdinya untuk mencarikan tempat yang jauh dari pusat kekuasaan. Dan biasanya, tempat yang dipilih adalah daerah pegunungan.

Menurut penuturan Mas Giok, berangkatlah empat orang untuk mencarikan tempat yang dimaksud. Empat orang tersebut adalah Panembahan Agung Kudono Warso, Panglima Sindhurejo, Mbah Jayadi dan Mbah Menik.

Dari pengembaraan mereka, maka dengan sejumlah pertimbangan dipilihlah hutan lebat yang saat ini berada di wilayah dusun Gendogo, Desa Balesari, Kecamatan Ngajum. Keempat orang tersebut kemudian membuka lahan dan merawat tempat yang akan dipakai oleh Prabu Pramesywara I untuk menyepi. Mereka kemudian di sebut danyang, yaitu yang merawat tempat atau bumi. Di tempat inilah, Prabu Pramesywara I diyakini muksa, atau lenyap bersama jasadnya.

Sebagai tempat muksa, maka Pesanggrahan kemudian diyakini sebagai keramat dan memiliki tuah. Dalam perkembangan jaman, Pesanggrahan ini kemudian banyak didatangi orang untuk laku aji kasekten atau sekedar untuk mendapatkan berkah.

Jauh sebelum jaman Negara moderen, menurut penuturan Mas Giok, tempat ini pernah didatangi oleh Eyang Jugo dan Eyang Iman Sujono untuk laku ritual. Napak tilas inilah yang rupanya mempertautkan antara Pesarean Kawi dengan Pesanggrahan. Bahkan bisa jadi, pertautan itu terjadi karena letaknya yang sama-sama berada di lereng Gunung Kawi.

Untuk menghormati Pesanggrahan, masih menurut Mas Giok, Eyang Iman Sujono, kemudian mendirikan Padepokan di desa Wonosari yang secara topografis letaknya berada di bawah Pesanggrahan.


REDUPNYA PAMOR PESANGGRAHAN

Sebelum tahun 1960 para peziarah banyak mengalir ke Pesanggrahan. Aliran peziarah ke sana, baik untuk laku maupun untuk ngalap berkah terhenti di tahun 1965 karena Pesanggrahan disinyalir sebagai tempat persembunyian PKI. Orangpun enggan ke sana karena takut diciduk tentara.

Baru pada tahun 1974, kawasan Pesanggrahan yang sudah tidak terawat mulai dibangun kembali. Sejumlah bangunan yang rusak dibenahi. Namun, pamor Pesaanggrahan sudah disalip oleh Pesarean Kawi.

Menurut catatan Mas Giok, Pesanggrahan yang biasanya ramai pada Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon itu, setiap bulan rata-rata didatangi tidak lebih dari 200 peziarah saja.

Kondisi Pesanggrahan dengan Pesarean Kawi memang berbeda. Di Pesanggrahan suasananya sepi, berbeda dengan Pesarean Kawi yang selalu riuh. Disini tak dijumpai deretan penjual kembang untuk tabur bunga, penjual souvenir ataupun deretan penjual makanan. Letaknya memang di tengah hutan.

Tempatnya yang senyap itu, justru memberikan kesan, dibandingkan Pesarean Kawi aroma mencari pesugihan di Pesanggrahan justru lebih menyengat. Konsep pesugihan biasanya lekat dengan adanya benda-benda atau makhluk yang bisa mendatangkan kekayaan pada pemiliknya. Seperti tuyul, babi ngepet, keblek atau makhluk-makhluk gaib lainnya.

Hal ini, tentu saja dibantah oleh Mas Giok. Pesanggrahan meski tidak streril dari niatan orang untuk ngalap berkah, baik dalam pengertian materiil maupun imateriil, bukanlah tempat seperti yang disangkakan orang hanya sebagai tempat mencari pesugihan dalam arti yang sempit. Semabri berkelakar dia menambahkan, kalau memang Pesanggarahan adalah tempat yang ruah dengan kekayaan, toh dirinya hingga kini belum jua kaya.

ORNAMEN CHINA

Sebagaimana Pesarean Kawi, Pesanggrahan juga tidak lepas dari sentuhan kebudayaan Cina. Di Pesarean Kawi, meski berada dalam satu kawasan, namun keberadaan bangunannya terpisah. Namun di Pesaaggrahan, bangunan China terlihat terintegrasi dengan bangunan lainnya. Seperti terlihat di sanggar pemujaan misalnya, di bagian depan pintu terdapat bangunan China.

Tidak diketahui, mulai kapan bangunan China itu ditempelkan pada bangunan lokal yang ada di kompleks Pesanggrahan. Namun mas Giok menduga, bahwa bangunan-bangunan tersebut, meski terlihat tidak matching, adalah merupakan ungkapan terima kasih etnis Tionghoa kepada tempat yang memberikan curahan berkat yang berlimpah. Dan seringkali, begitu merasa keinginannya terkabul setelah memohonkannya di sini, peziarah ini kemudian mengajak kerabatnya yang lain untuk melakukan ziarah.

Apa yang mengundang etnis Tiongha mendatangi Pesanggarahan tidak dijelaskan oleh Kepala juru kunci. Apakah karena sama-sama berada di wilayah Kawi, sehingga Pesarean tidak ada salahnya dikunjungi meski berbau spekulatif memberikan daya dorong tambahan bagi terkabulnya keinginan? Ataukah dirasa kurang lengkap dan tidak afdol bila mengunjungi Pesarean Kawi namun tidak ke Pesanggrahan? Tidak diketahui pasti.

Namun yang jelas, peziarah Pesarean Kawi dari berbagai etnis, jumlahnya relative sedikit yang berkunjung ke Pesanggrahan. Bisa dikatakan, mereka yang berkunjung ke Pesanggrahan adalah peziarah yang prioritas utamanya adalah ke Pesarean Kawi.

Akses tranportasi rupanya menjadi kendala tersendiri bagi peziarah bila hendak mengunjungi Pesanggrahan. Sulitnya transportasi ini merupakan faktor tambahan lainnya yang menyebabkan angka kunjungan ke Pesanggrahan tidak kunjung terdongkrak. Tidak seperti Pesarean Kawi yang bisa dikunjungi dengan memanfaatkan angkutan umum, bila ke Pesanggrahan, peziarah harus menggunakan ojek sepeda motor dengan ongkos yang telatif mahal antara 20 ribu – 30 ribu.

Jalanan aspal yang menembus hutan menuju Pesanggarahan menurut mas Giok, baru dibangun setelah dia mengajukannya langsung ke Dinas Kehutanan Jawa Timur yang berkantor di Gentengkali Surabaya. Hal itu terpaksa dilakukannya setelah proposal yang diajukan ke instansi yang lebih bawah, tidak mendapatkan tanggapan yang memadai.

Meski kondisinya di beberapa titik mengalami kerusakan, tapi secara umum jalan aspal tersebut bisa dikatakan cukup baik. Sebelumnya, akses jalan masih berupa jalan makadam Pemerintah setempatpun masih memprioritaskan jalan menuju ke Pesarean. Meski jalanan aspal saat ini relatif mulus, namun arus kunjungan peziarah ke Pesanggrahan tetap belum menunjukkan trend meningkat. Peningkatan yang mengarah kepada perimbangan jumlah peziarah sebagaimana yang mengalir ke Pesarean Kawi, masih belum terlihat tanda-tandanya.

CCCL Surabaya Gelar Kompetisi Francophonie 2009

Pemenang Jadi Wakil Indonesia ke Prancis

CCCL Surabaya sebagai institusi pendukung dinamika kebudayaan dan bahasa, menggelar perayaan Hari Francophonie (Hari Berbahasa Prancis) 2009. Acara yang secara internasional dirayakan setiap tanggal 20 Maret, itu dikemas oleh CCCL Surabaya dalam bentuk Kompetisi Akbar Francophonie 2009. CCCL ingin menggugah para pemuda untuk berkreasi dalam bahasa Prancis.


Puncaknya dari acara ini adalah dipilihnya seorang pemenang sebagai perwakilan anak muda 'francophone' (penutur bahasa Prancis) Indonesia dari Surabaya. Untuk mengikuti 'Rencontres Internationales de Jeunes' (Pertemuan Internasional Pemuda) yang berlangsung saat musim panas 2009 di Prancis. Sang pemenang tidak hanya sekedar berjalan-jalan, namun juga akan berkumpul dengan para pemuda penutur bahasa Prancis lain dari berbagai belahan dunia, untuk mengikuti beragam kegiatan yang menarik selama berada di sana.

Kompetisi ini mensyaratkan para pesertanya berusia antara 18 hingga 25 tahun dan membuat kreasi dalam bentuk visual maupun teks dalam bahasa Prancis (peserta bebas memilih membuat poster/ desain/ foto/ puisi/ esai dsb) mengenai '10 kata yang menceritakan masa depan'. Harapannya, siapapun pembelajar bahasa Prancis akan semakin termotivasi belajar bahasa tersebut dan mengikuti kompetisi ini. Tidak main-main, juri dari 'Kompetisi Akbar Francophonie 2009' terdiri dari para 'francophone' atau penutur bahasa Prancis, yang terdiri atas native speaker dan juri asal Indonesia.

Para peserta yang mengumpulkan karyanya akan diseleksi hingga terpilih 10 finalis. Seleksi akhir berupa presentasi dan wawancara 10 finalis dilakukan tepat pada perayaan Hari Internasional Francophonie, 20 Maret 2009. Pada hari itu juga akan diumumkan pemenang kompetisi ini oleh Dewan Juri. Setelahnya, tentu saja sang pemenang dapat segera mengepak koper untuk terbang ke negeri impian… Prancis.

16 Februari 2009

ITS Loloskan 74 Proposal Karya PKM

Press Release

Tahun 2009 ini, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya berhasil meloloskan 74 proposal karya ilmiah mahasiswanya yang disetujui dan akan didanai oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti). Karya-karya yang bertarung dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) ini nantinya ditujukan untuk bertanding pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) XXII.


Walaupun jumlah proposal yang disetujui lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2008, namun ITS tetap bangga dan optimistis dengan karya-karya mahasiswanya untuk berlaga di Pimnas nantinya. “Walaupun tahun ini kita mengalami penurunan jumlah peserta, namun kita yakin bisa memperoleh hasil terbaik lebih banyak pada Pimnas nanti. Hasil ini akan menjadi evalusi bagi kita semua,” ujar Prof Dr Suasmoro, Pembantu Rektor III ITS.

Suasmoro menambahkan bahwa justru seharusnya para mahasiswa bisa menunjukkan kelasnya, karena telah berhasil menjadi yang terpilih dari beberapa ratus mahasiswa yang telah mengajukan proposal penelitiannya.

Program yang merupakan ajang adu karya kreativitas mahasiswa se-Indonesia tersebut terbagi dalam beberapa bidang kegiatan. Yakni PKM bidang pengabdian Masyarakat (PKMM), bidang Teknologi (PKMT), bidang Penelitian (PKMP), dan bidang Keterampilan (PKMK).

Nantinya karya-karya yang telah didanai oleh Dikti ini akan divisitasi untuk seleksi lagi oleh panitia pusat. Bila dinyatakan lolos lagi, maka karya-karya tersebut berhak untuk bertarung di ajang Pimnas XXII.

Ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan oleh peserta tahun ini, karena ada beberapa perbedaan dengan tahun-tahun sebelumnya. “Sistem penilaiannya menggunakan sistem monev (monitor dan evaluasi, red) yaitu sistem nilai pemantauan dan evaluasi yang dilakukan setiap bulan oleh ITS dan Dikti,” jelas Suasmoro.
Karena itu, lanjutnya, peserta harus memperhatikan secara cermat sistem penilaian yang diberikan oleh Dikti, sehingga bisa menyusun langkah-langkah yang akan dilakukan dengan baik.

Suasmoro juga menekankan pentingnya konsultasi ke dosen pembimbing dan mengimbau kepada para mahasiswa agar dekat dengan dosen pembimbing. Sehingga apa yang akan dikerjakan sesuai dengan tujuan yang ada di proposal.

Mantan Dekan FMIPA ITS ini memberikan motivasi kepada para mahasiswa yang akan berjuang menuju Pimnas ini untuk selalu optimistis dengan karya yang akan dipersembahkan nanti. “Saya yakin bahwa mereka ini yang terbaik dari semuanya,” tandas Suasmoro meyakinkan.