
31 Desember 2008
Memanfaatkan Background

LBH Surabaya Kutuk Serangan Israel
Athoillah, SH
LBH Surabaya mengikuti segala perkembangan yang terjadi terkait dengan krisis yang terjadi di Palestina, termasuk penggunaan kekerasan dan penyerangan secara brutal yang dilakukan oleh pemerintah Israel yang ditujukan secara langsung pada masyarakat Palestina, termasuk masyarakat sipil. Sejumlah sumber menyebut bahwa akibat penyerangan tersebut, ratusan warga sipil meninggal dan fasilitas publik hancur.
LBH Surabaya menyampaikan rasa solidaritas mendalam kepada masyarakat Palestina serta mengutuk aksi militer yang dilakukan oleh Israel. Penggunaan kekerasan dan teror yang ditujukan secara langsung kepada masyarakat sipil di Palestina, sesungguhnya tidak semata-mata menyerang rakyat Palestina, namun juga merupakan penyerangan secara langsung terhadap kemanusiaan dan peradaban dunia.
LBH Surabaya mendesak pemerintah Indonesia khususnya dan masyarakat serta organisasi internasional pada umumnya untuk meningkatkan tekanan dan menegaskan peran internasionalnya dalam menghentikan segala tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh pemerintah Israel.
Pemerintah Indonesia diminta untuk mengambil sikap yang tegas dan menggunakan segala jalur politik yang dapat digunakan untuk mendorong adanya resolusi DK PBB untuk mengecam dan menghentikan tindak kekerasan Israel. Dalam posisinya sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia juga harus menjadi pionir dan mendukung segala inisiatif bagi digunakannya seluruh mekanisme internasionak yang tersedia untuk segera menghentikan aksi penyerangan tersebut.
Tindakan penyerangan tersebut jelas adalah pelanggaran HAM dan pengangkangan yang nyata dari statuta Roma. Selain menghentikan tindak kekerasan, komunitas internasional seyogyanya mencari dan menemukan mekanisme yang tepat untuk menyeret pimpinan Israel ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). LBH Surabaya telah menggunakan sejumlah jalur yang dapat diaksesnya untuk melibatkan diri dalam desakah internasional yang mengecam kasus ini, diantaranya melalui Asian Human Rights Commission di Hongkong dan sejumlah jalur nasional maupun internasional lainnya.
LBH Surabaya mengikuti segala perkembangan yang terjadi terkait dengan krisis yang terjadi di Palestina, termasuk penggunaan kekerasan dan penyerangan secara brutal yang dilakukan oleh pemerintah Israel yang ditujukan secara langsung pada masyarakat Palestina, termasuk masyarakat sipil. Sejumlah sumber menyebut bahwa akibat penyerangan tersebut, ratusan warga sipil meninggal dan fasilitas publik hancur.
LBH Surabaya menyampaikan rasa solidaritas mendalam kepada masyarakat Palestina serta mengutuk aksi militer yang dilakukan oleh Israel. Penggunaan kekerasan dan teror yang ditujukan secara langsung kepada masyarakat sipil di Palestina, sesungguhnya tidak semata-mata menyerang rakyat Palestina, namun juga merupakan penyerangan secara langsung terhadap kemanusiaan dan peradaban dunia.
LBH Surabaya mendesak pemerintah Indonesia khususnya dan masyarakat serta organisasi internasional pada umumnya untuk meningkatkan tekanan dan menegaskan peran internasionalnya dalam menghentikan segala tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh pemerintah Israel.
Pemerintah Indonesia diminta untuk mengambil sikap yang tegas dan menggunakan segala jalur politik yang dapat digunakan untuk mendorong adanya resolusi DK PBB untuk mengecam dan menghentikan tindak kekerasan Israel. Dalam posisinya sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia juga harus menjadi pionir dan mendukung segala inisiatif bagi digunakannya seluruh mekanisme internasionak yang tersedia untuk segera menghentikan aksi penyerangan tersebut.
Tindakan penyerangan tersebut jelas adalah pelanggaran HAM dan pengangkangan yang nyata dari statuta Roma. Selain menghentikan tindak kekerasan, komunitas internasional seyogyanya mencari dan menemukan mekanisme yang tepat untuk menyeret pimpinan Israel ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). LBH Surabaya telah menggunakan sejumlah jalur yang dapat diaksesnya untuk melibatkan diri dalam desakah internasional yang mengecam kasus ini, diantaranya melalui Asian Human Rights Commission di Hongkong dan sejumlah jalur nasional maupun internasional lainnya.
30 Desember 2008
Hukuman Mati, Sebuah Catatan Akhir Tahun
Iman D. Nugroho, Surabaya, Jawa Timur
Tahun 2008 merupakan tahun kelam bagi penegakan Hak Asasi Manusia di Jawa Timur. Di tahun ini, ada empat penduduk Jawa Timur yang dihukum mati karena tindakan kejahatan yang didakwakan kepada mereka. Keempatnya adalah Sumiasih dan Sugeng (kasus pembunuhan sekeluarga di Surabaya), serta Amrozi dan Ali Gufron (kasus terorisme dalam tragedi peledakan Bom Bali 1 di Kuta, Bali).
Praktek hukuman mati yang hingga kini masih berlangsung di Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari kebijakan hukum nasional Indonesia yang juga masih membuka kesempatan bagi dilakukannya hukuman mati. Hal itu jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia yang seharusnya tunduk dengan Kesepakatan Internasional tentang Hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Namun yang terjadi justru kebalikannya. Dalam waktu lima tahun terakhir, jumlah eksekusi hukuman mati di Indonesia terus bertambah. Termasuk empat warga Jawa Timur, Sumiasih, Sugeng, Amrozi dan Ali Gufron. Hal itu menguatkan pro-kontra hukuman mati di Indonesia yang sempat mencuat saat Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah setahun lalu. Bagaimana dengan tahun 2009?
Agaknya pelaksanaan hukuman mati akan kembali terulang. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur mengatakan, setelah ekseskusi Sumiasih dan Sugeng, masih ada dua lagi terpidana mati di Surabaya yang akan dieksekusi. Dalam catatan KontraS, lebih dari 100 terpidana mati yang terancam pelaksanaan hukuman mati. Dari Jawa Timur, nama-nama terdakwa Nurhasan Yogi Mahendra (Lamongan), Kolonel M. Irfan Djumori (Sidoarjo), Sugianto alias Sugik (Surabaya) dan Rahem Agbaje Selami, warga negara Rep of Cordova) (Surabaya) terancam vonis mati.
Bisakah Indonesia melepaskan diri dari hukuman mati? Sepertinya hal itu tidak serta merta bisa dilakukan. Apalagi, sikap pemerintah Indonesia dalam hal hukuman mati, tergolong bermuka dua. Di satu sisi, memiliki regulasi hukum dengan ancaman hukuman mati, namun di sisi lain mengatasnamakan kemanusiaan. Simak saja, Indonesia memiliki 11 hukum yang masih menempatkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya, ada 10 hukum pasal yang mengancam pelakunya dengan hukuman mati. Mulai pasal Makar, Mengajak negara lain menyerang RI, Melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI hingga Pemerasan dengan kekerasan. Juga UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata api, UU No. 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan kegiatan subversif.
UU No. 4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 22 Tahun 1997 Narkotika, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Di sisi berlawanan, justru Indonesia adalah pihak yang menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang memposisikan hak hidup sebagai hak setiap manusia. Dan negara bertugas menjamin terpenuhinya hak itu. Atas nama kemanusiaan itu juga, Indonesia sempat melakukan lobby-lobby international untuk membatalkan hukuman mati bagi warga Indonesia yang melakukan kejahatan.
Meski demikian, dua posisi hukum yang berbeda itu tidak membuat majelis hakim yang menangani kasus dengan ancaman hukuman mati, menjadi "kebingungan". Mereka tetap memakai kaidah hukum positif Indonesia (dengan memvonis mati), dari pada harus melihat sisi kemanusiaan. Bukti kongkret dari penjelasan alinea ini adalah tetap saja ada vonis mati dalam berbagai kasus di Indonesia.
Sebagai bagian dari upaya menghormati hukum, mungkin keputusan majelis hakim "bisa diterima". Namun, dalam kerangka yang lebih lebar, jelas sekali, hukuman mati harus ditolak. Setidaknya, bobroknya sistem hukum di Indonesia bisa dijadikan salah satu alasan. Bukan tidak mungkin, keputusan yang dihasilkan dari sistem hukum yang bobrok, akan jauh dari rasa keadilan. Bisakah kita meyakini vonis hukuman mati di Indonesia benar-benar vonis yang adil?
Bila salah satu alasan pelaksanaan hukuman mati adalah "efek jera", hal itu jelas tidak terbukti. Tidak ada korelasi antara pelaksanaan hukuman mati dengan menurunnya angka kejahatan. Sialnya, hal itu ada di semua kasus yang selama ini dianggap "pantas" diganjar dengan hukuman mati. Mulai kasus pembunuhan, narkotika hingga terorisme. Bahkan, hukuman mati kepada pelaku terorisme, disebut-sebut menstimulus munculnya teroris-teroris baru.
Belum lagi pandangan diskriminasi hukuman mati. Selama ini, hukuman mati tidak pernah "menyentuh" pelaku kejahatan kerah putih. Seperti korupsi, misalnya. Padahal, kejahatan jenis ini lebih memiliki efek lebih keji kepada masyarakat dan negara. Karena berbagai hal itu, mengurangi angka kejahatan dengan perbaikan struktur kenegaraan banyak dipandang lebih pas ketimbang hukuman mati.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Seperti halnya sikap 142 negara di dunia yang menghapus hukuman mati, Indonesia pun harus melakukan hal yang sama: Menghapus hukuman mati di Indonesia.
Tahun 2008 merupakan tahun kelam bagi penegakan Hak Asasi Manusia di Jawa Timur. Di tahun ini, ada empat penduduk Jawa Timur yang dihukum mati karena tindakan kejahatan yang didakwakan kepada mereka. Keempatnya adalah Sumiasih dan Sugeng (kasus pembunuhan sekeluarga di Surabaya), serta Amrozi dan Ali Gufron (kasus terorisme dalam tragedi peledakan Bom Bali 1 di Kuta, Bali).
Praktek hukuman mati yang hingga kini masih berlangsung di Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari kebijakan hukum nasional Indonesia yang juga masih membuka kesempatan bagi dilakukannya hukuman mati. Hal itu jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia yang seharusnya tunduk dengan Kesepakatan Internasional tentang Hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Namun yang terjadi justru kebalikannya. Dalam waktu lima tahun terakhir, jumlah eksekusi hukuman mati di Indonesia terus bertambah. Termasuk empat warga Jawa Timur, Sumiasih, Sugeng, Amrozi dan Ali Gufron. Hal itu menguatkan pro-kontra hukuman mati di Indonesia yang sempat mencuat saat Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah setahun lalu. Bagaimana dengan tahun 2009?
Agaknya pelaksanaan hukuman mati akan kembali terulang. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur mengatakan, setelah ekseskusi Sumiasih dan Sugeng, masih ada dua lagi terpidana mati di Surabaya yang akan dieksekusi. Dalam catatan KontraS, lebih dari 100 terpidana mati yang terancam pelaksanaan hukuman mati. Dari Jawa Timur, nama-nama terdakwa Nurhasan Yogi Mahendra (Lamongan), Kolonel M. Irfan Djumori (Sidoarjo), Sugianto alias Sugik (Surabaya) dan Rahem Agbaje Selami, warga negara Rep of Cordova) (Surabaya) terancam vonis mati.
Bisakah Indonesia melepaskan diri dari hukuman mati? Sepertinya hal itu tidak serta merta bisa dilakukan. Apalagi, sikap pemerintah Indonesia dalam hal hukuman mati, tergolong bermuka dua. Di satu sisi, memiliki regulasi hukum dengan ancaman hukuman mati, namun di sisi lain mengatasnamakan kemanusiaan. Simak saja, Indonesia memiliki 11 hukum yang masih menempatkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya, ada 10 hukum pasal yang mengancam pelakunya dengan hukuman mati. Mulai pasal Makar, Mengajak negara lain menyerang RI, Melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI hingga Pemerasan dengan kekerasan. Juga UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata api, UU No. 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan kegiatan subversif.
UU No. 4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 22 Tahun 1997 Narkotika, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Di sisi berlawanan, justru Indonesia adalah pihak yang menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang memposisikan hak hidup sebagai hak setiap manusia. Dan negara bertugas menjamin terpenuhinya hak itu. Atas nama kemanusiaan itu juga, Indonesia sempat melakukan lobby-lobby international untuk membatalkan hukuman mati bagi warga Indonesia yang melakukan kejahatan.
Meski demikian, dua posisi hukum yang berbeda itu tidak membuat majelis hakim yang menangani kasus dengan ancaman hukuman mati, menjadi "kebingungan". Mereka tetap memakai kaidah hukum positif Indonesia (dengan memvonis mati), dari pada harus melihat sisi kemanusiaan. Bukti kongkret dari penjelasan alinea ini adalah tetap saja ada vonis mati dalam berbagai kasus di Indonesia.
Sebagai bagian dari upaya menghormati hukum, mungkin keputusan majelis hakim "bisa diterima". Namun, dalam kerangka yang lebih lebar, jelas sekali, hukuman mati harus ditolak. Setidaknya, bobroknya sistem hukum di Indonesia bisa dijadikan salah satu alasan. Bukan tidak mungkin, keputusan yang dihasilkan dari sistem hukum yang bobrok, akan jauh dari rasa keadilan. Bisakah kita meyakini vonis hukuman mati di Indonesia benar-benar vonis yang adil?
Bila salah satu alasan pelaksanaan hukuman mati adalah "efek jera", hal itu jelas tidak terbukti. Tidak ada korelasi antara pelaksanaan hukuman mati dengan menurunnya angka kejahatan. Sialnya, hal itu ada di semua kasus yang selama ini dianggap "pantas" diganjar dengan hukuman mati. Mulai kasus pembunuhan, narkotika hingga terorisme. Bahkan, hukuman mati kepada pelaku terorisme, disebut-sebut menstimulus munculnya teroris-teroris baru.
Belum lagi pandangan diskriminasi hukuman mati. Selama ini, hukuman mati tidak pernah "menyentuh" pelaku kejahatan kerah putih. Seperti korupsi, misalnya. Padahal, kejahatan jenis ini lebih memiliki efek lebih keji kepada masyarakat dan negara. Karena berbagai hal itu, mengurangi angka kejahatan dengan perbaikan struktur kenegaraan banyak dipandang lebih pas ketimbang hukuman mati.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Seperti halnya sikap 142 negara di dunia yang menghapus hukuman mati, Indonesia pun harus melakukan hal yang sama: Menghapus hukuman mati di Indonesia.
29 Desember 2008
Melarung di Telaga Ngebel Ponorogo

Photo Gallery
Masyarakat Ponorogo melakukan Larung Sesaji sebagai ritual menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram, Senin(29/12) ini. Dalam acara yang digelar di Telaga Ngebel Ponorogo itu dilarung nasi tumpeng berukuran raksasa dengan menggunakan rakit.



27 Desember 2008
Polygon Sweet Nice "Kebanjiran"
Arief, Surabaya
Prestasi klub balap sepeda Polygon Sweet Nice (PSN) Surabaya di penghujung tahun ini belum menggembirakan. Namun daya tarik yang dimilikinya membuat banyak pembalap memiliki hasrat untuk bergabung.
Dua pentolan Trek Marcopolo Sergei Kudentsov (Russia) dan Jai Crawford (Australia) sudah menyatakan keinginannya untuk bergabung. Demikian juga dengan sejumlah pembalap dari Kanada, dan negara-negara pecahan Russia lainnya juga menyatakan minatnya.
Seperti yang disampaikan Direktur PSN, Harijanto Tjondrokusumo bila timnya mulai memiliki daya tarik. Cukup banyak pembalap yang ingin bergabung. "Tidak sebatas Jai Crawford dan Sergei Kudentsof saja. Ada pembalap dari Belanda yang juga mengirim data untuk bergabung," terangnya, Kamis (24/12) malam.
Dari imel yang diterima manajemen PSN, menyebutkan setidaknya dipenhujung kompetisi 2007-2008 lalu cukup banyak imel yang masuk. Pembalap yang melamar ini memiliki alasan yang berbeda. Ada pembalap yang sudah tidak diperpanjang klubnya, dan ada pula yang ingin mencari suasana baru. Namun rata-rata pembalap ingin menacri suasana baru.
Hanya saja manajemen PSN terbentur dengan permintaan gaji yang cukup tinggi. Meski tidak menyebut angka, namun gaji yang disodorkan ke manajemen cukup besar. "Rata-rata gaji yang diminta sama dengan klub sebelumnya, terus terang kami tidak mampu. Tetapi kalau disamakan dengan pembalap PSN lainnya, mungkin masih masuk akal," urainya.
Banyaknya permintaan ini tidak membuat PSN terburu-burur merekrut. Sekalipun pembalap yang melamar itu banyak yang sudah memiliki nama besar, namun PSN masih memertahankan skuad yang ada. Sebut saja Sergei dan Jai merupakan figur yang sudah teruji ketangguhannya. Sergei saat ini bergabung Team Sports Macau dan baru saja menyelesaikan balapan Tour of South China Sea. Dalam balapan itu dia mengukuhkan diri sebagai sprinter dengan poin tertinggi, 61 angka.
Tim yang ditopang perusahaan makanan dan sepeda itu tetap konsen dengan pembalap mudanya. Bahkan tahun depan, PSN memproyeksikan tiga pembalap muda, Alexander Dyadichkin, Jimmy Pranata, dan Christopher Antonius. "Ketiganya perlu penambahan jam terbang, karena masih minim pengalaman," tandasnya.
Prestasi klub balap sepeda Polygon Sweet Nice (PSN) Surabaya di penghujung tahun ini belum menggembirakan. Namun daya tarik yang dimilikinya membuat banyak pembalap memiliki hasrat untuk bergabung.
Dua pentolan Trek Marcopolo Sergei Kudentsov (Russia) dan Jai Crawford (Australia) sudah menyatakan keinginannya untuk bergabung. Demikian juga dengan sejumlah pembalap dari Kanada, dan negara-negara pecahan Russia lainnya juga menyatakan minatnya.
Seperti yang disampaikan Direktur PSN, Harijanto Tjondrokusumo bila timnya mulai memiliki daya tarik. Cukup banyak pembalap yang ingin bergabung. "Tidak sebatas Jai Crawford dan Sergei Kudentsof saja. Ada pembalap dari Belanda yang juga mengirim data untuk bergabung," terangnya, Kamis (24/12) malam.
Dari imel yang diterima manajemen PSN, menyebutkan setidaknya dipenhujung kompetisi 2007-2008 lalu cukup banyak imel yang masuk. Pembalap yang melamar ini memiliki alasan yang berbeda. Ada pembalap yang sudah tidak diperpanjang klubnya, dan ada pula yang ingin mencari suasana baru. Namun rata-rata pembalap ingin menacri suasana baru.
Hanya saja manajemen PSN terbentur dengan permintaan gaji yang cukup tinggi. Meski tidak menyebut angka, namun gaji yang disodorkan ke manajemen cukup besar. "Rata-rata gaji yang diminta sama dengan klub sebelumnya, terus terang kami tidak mampu. Tetapi kalau disamakan dengan pembalap PSN lainnya, mungkin masih masuk akal," urainya.
Banyaknya permintaan ini tidak membuat PSN terburu-burur merekrut. Sekalipun pembalap yang melamar itu banyak yang sudah memiliki nama besar, namun PSN masih memertahankan skuad yang ada. Sebut saja Sergei dan Jai merupakan figur yang sudah teruji ketangguhannya. Sergei saat ini bergabung Team Sports Macau dan baru saja menyelesaikan balapan Tour of South China Sea. Dalam balapan itu dia mengukuhkan diri sebagai sprinter dengan poin tertinggi, 61 angka.
Tim yang ditopang perusahaan makanan dan sepeda itu tetap konsen dengan pembalap mudanya. Bahkan tahun depan, PSN memproyeksikan tiga pembalap muda, Alexander Dyadichkin, Jimmy Pranata, dan Christopher Antonius. "Ketiganya perlu penambahan jam terbang, karena masih minim pengalaman," tandasnya.