Iman D. Nugroho, Jakarta
Pemerintah, perusahaan media, organisasi profesi dan jurnalis, adalah pihak-pihak yang bisa melindungi jurnalis dalam kerja jurnalistiknya. Tanpa kesadaran dari pihak-pihak itu, jurnalis akan tetap bekerja dalam situasi yang berbahaya. Hal itu terungkap dalam diskusi awal Regional Conference on Creating a Culture of Safety in the Media in Asia-Pacific di Jakarta, 15-16 Desember 2008 ini.
Sejumlah 60 Jurnalis dari 11 negara yang berkumpul dalam forum itu menyadari, meskipun kondisi saat ini jauh lebih baik, namun upaya untuk terus meningkatkan kesadaran tentang keselamatan jurnalis masih perlu terus dilakukan. Peter Cave dari ABC Australia melihat adanya trens peningkatan kesadaran jurnalis itu. "Ada trend yang baik bagi upaya meningkatkan kesadaran atas keselamatan jurnalis dibandingkat saat saya pertama kali meliput, ini sangat penting," katanya.
Meski demikian, Maria Ressa dari Philipina menilai perlu dibuat regulasi khusus bagi jurnalis menyangkut keselamatan pekerjaannya. "Perlu ada protokol yang diterapkan di sebuah kawasan mengenai hal itu (keselamatan jurnalis), misalnya apa yang harus dilakukan dalam kondisi tertentu," kata Maria Ressa, salah satu panelis dari stasiun televisi ABS-SBN di Philipina.
Protokol yang akan dibuat itu hendaknya disosialisasikan tidak hanya di kalangan jurnalis, melain juga harus diketahui pihak-pihak lain. Seperti pemerintah dan masyarakat, agar terjadi situasi saling memahami antara jurnalis dan pihak-pihak lain yang bersinggungan dengan jurnalis. Karena dalam kenyataannya, justru pemerintah dan masyarakat adalah kelompok yang acap kali terlibat dalam gesekan keras dengan jurnalis.
Insany, reporter Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) di Ambon mengingatkan kembali situasi di Ambon, Maluku yang sangat membahayakan bagi jurnalis. "Saat konflik itu terjadi, situasi jurnalis benar-benar di ujung tanduk, masyarakat dan militer memposisikan jurnalis dalam posisi yang bisa menjadi korban kapan saja, pihak militer yang seharusnya melindungi jurnalis, justru seringkali membahayakan posisi jurnalis," katanya.
Kondisi senada diungkapkan Alwyn Alburo dari GMA 7 News Philipina. Di Philipina, kata Alwyn posisi jurnalis sangat menyedihkan. "Hanya satu statemen yang sebenarnya ingin kami dengar dari Presiden Philipina, yakni seruan untuk menghentikan kekerasan pada jurnalis," katanya.
Dalam laporan yang dirilis International News Sadety institute (INSI), selama ini ada 13 jurnalis yang tewas di Indonesia. Hal ini menyababkan Indonesia menempati posisi ke-19 dalam jajaran negara-negara yang pernah mengalami peristiwa yang berakibat matinya jurnalis. Sementara Philipina menempati posisi ke-5 dengan 54 jurnalis yang meninggal di negara itu. Posisi pertama ditempati oleh Iraq dengan 106 jurnalis.
Direktur INSI Rodney Pinder mengatakan, kondisi saat ini memposisikan keselamatan jurnalis sebagai hal yang sangat penting. Hal itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti pelatihan, pemberian peralatan keselamatan jurnalis dll. "INSI menyadari hal itu adalah hal yang mahal, namun keselamatan jurnalis adalah hal yang tidak ternilai harganya," kata Rodney.
15 Desember 2008
13 Desember 2008
Galang Dukungan Perempuan Dalam Politik, AJI Akan Datangi Media Massa
Pentingnya dukungan terhadap perempuan dalam politik, mengharuskan AJI Surabaya bekerja lebih keras. Salah satunya adalah mendatangi kantor redaksi media massa untuk menawarkan kesepahaman dan menggalang komitmen dukungan perempuan dalam politik. Hal itu dikatakan Rangga Umara, Ketua Pelaksana Pelatihan Jurnalis Mengawal Keperwakilan Perempuan dalam politik, Sabtu (13/12) kemarin...selanjutnya>>
12 Desember 2008
Kasus Pilkada Jawa Timur Adalah Preseden Buruk di Pilpres 2009
Iman D. Nugroho, Surabaya, Jawa Timur
Kasus diulangnya Pemilihan Gubernur Jawa Timur, adalah preseden buruk hukum di Indonesia. Akibat terburuk dari hal itu akan tampak pada Pemilihan Presiden RI yang akan berlangsung pada tahun 2009 mendatang. Hal itu dikatakan intelektual muda Nahdlatul Ulama(NU) yang juga ahli politik Universitas Airlangga Surabaya, Kacung Marijan.
"Dalam dalam Pilpres mendatang itu ada pihak yang merasa ada kecurangan, maka Mahkamah Konstitusi (MK) harus mengabulkan tuntutan agar pilpres diulang, seperti Pilkada Jawa Timur," kata Kacung pada The Post.
Dan bila hal itu terjadi, maka fase pilpres yang seharusnya bisa berjalan tiga fase akan digelar lebih dari lima fase. Dan itu sah untuk dilakukan. "Justru MK yang membuka ruang untuk itu, dan tentu saja, hal itu akan sangat "menakutkan" bagi sistem demokrasi di Indonesia," kata Kacung Marijan. Demokrasi, tambahnya butuh kepastian hukum, bukan hanya asumsi-asumsi tentang pelanggaran yang terjadi.
Dalam kasus Pilgub Jawa Timur, MK mengasumsi adanya pelanggaran-pelanggaran. "Mengapa Saya menyebut asumsi, karena MK tidak punya hak untuk menentukan apakah pelaksanaan pemilu itu perlu diulang atau tidak, yang menentukan ada dan tidaknya pelanggaran itu adalah Panitia Pengawas (Panwas)," kata Kacung.
Sementara ahli sosial-politik Unair yang lain, Daniel Sparingga melihat MK telah melakukan tindakan yang sangat berbahaya bagi hukum di Indonesia. Yakni mengubah Civil Law menjadi Common Law. Dalam Civil Law, kata Daniel Sparingga, hakim hanya melihat persoalan di masyakat berdasarkan hukum yang ada. "Hakim hanya akan menegaskan hukum yang sudah ada," katanya.
Sementara dalam Common Law hakim mengasumsi sendiri peristiwa dalam membuat hukum sendiri di luar hukum yang sudah ada. "Semacam hukum baru yang dibuat MK dari fakta-fakta yang didapatkan, ini pergeseran yang luar biasa, yang suatu saat bisa mengguncang dunia hukum Indonesia," jelas Daniel.
Untuk itu, Daniel menyarankan kepada ahli hukum di Indonesia untuk segera berkumpul dan membicarakan hal ini lebih serius, tanpa ada tendesi politik dan kekuasaan. Ahli hukum di Indonesia harus berpikir bagaimana cara mengawasi MK, atau bahkan mengkoreksi keputusannya. "Selama ini tidak ada lembaga yang bisa mengkoreksi MK, ini bahaya dan harus segera dibicarakan untuk menentukan kebijakan-kebijakan baru di bidang hukum yang lebih pasti," katanya.
Kasus diulangnya Pemilihan Gubernur Jawa Timur, adalah preseden buruk hukum di Indonesia. Akibat terburuk dari hal itu akan tampak pada Pemilihan Presiden RI yang akan berlangsung pada tahun 2009 mendatang. Hal itu dikatakan intelektual muda Nahdlatul Ulama(NU) yang juga ahli politik Universitas Airlangga Surabaya, Kacung Marijan.
"Dalam dalam Pilpres mendatang itu ada pihak yang merasa ada kecurangan, maka Mahkamah Konstitusi (MK) harus mengabulkan tuntutan agar pilpres diulang, seperti Pilkada Jawa Timur," kata Kacung pada The Post.
Dan bila hal itu terjadi, maka fase pilpres yang seharusnya bisa berjalan tiga fase akan digelar lebih dari lima fase. Dan itu sah untuk dilakukan. "Justru MK yang membuka ruang untuk itu, dan tentu saja, hal itu akan sangat "menakutkan" bagi sistem demokrasi di Indonesia," kata Kacung Marijan. Demokrasi, tambahnya butuh kepastian hukum, bukan hanya asumsi-asumsi tentang pelanggaran yang terjadi.
Dalam kasus Pilgub Jawa Timur, MK mengasumsi adanya pelanggaran-pelanggaran. "Mengapa Saya menyebut asumsi, karena MK tidak punya hak untuk menentukan apakah pelaksanaan pemilu itu perlu diulang atau tidak, yang menentukan ada dan tidaknya pelanggaran itu adalah Panitia Pengawas (Panwas)," kata Kacung.
Sementara ahli sosial-politik Unair yang lain, Daniel Sparingga melihat MK telah melakukan tindakan yang sangat berbahaya bagi hukum di Indonesia. Yakni mengubah Civil Law menjadi Common Law. Dalam Civil Law, kata Daniel Sparingga, hakim hanya melihat persoalan di masyakat berdasarkan hukum yang ada. "Hakim hanya akan menegaskan hukum yang sudah ada," katanya.
Sementara dalam Common Law hakim mengasumsi sendiri peristiwa dalam membuat hukum sendiri di luar hukum yang sudah ada. "Semacam hukum baru yang dibuat MK dari fakta-fakta yang didapatkan, ini pergeseran yang luar biasa, yang suatu saat bisa mengguncang dunia hukum Indonesia," jelas Daniel.
Untuk itu, Daniel menyarankan kepada ahli hukum di Indonesia untuk segera berkumpul dan membicarakan hal ini lebih serius, tanpa ada tendesi politik dan kekuasaan. Ahli hukum di Indonesia harus berpikir bagaimana cara mengawasi MK, atau bahkan mengkoreksi keputusannya. "Selama ini tidak ada lembaga yang bisa mengkoreksi MK, ini bahaya dan harus segera dibicarakan untuk menentukan kebijakan-kebijakan baru di bidang hukum yang lebih pasti," katanya.
Jembatan Roboh Belum Terangkat

photo by Iman D. Nugroho
11 Desember 2008
Catatan Kesetiaan..

Pembelajaran kesetiaan pertama yang hampir semua orang rasakan, adalah setia pada kehidupan. Sejak pertama kali bernapas, tanpa disadari setiap orang sudah mendeklarasikan diri setia pada kehidupan. Bahkan, tanpa disadari juga, orang-orang yang berada di sekitar kita pun membantu kita (yang masih berbentuk orok), untuk setia pada Kehidupan. Membantu mengeluarkan air ketuban, memukul pantat hingga tangisan terdengar. Oekkkk.. artinya saya setia pada kehidupan! Sayangnya, ada juga yang tidak beruntung. Saat kita berusaha setia pada kehidupan, justru dibuang di tong sampang, atau dicampakkan di lubang semut.
Tiba-tiba, kehidupan terus berjalan. Saat itulah kesetiaan diuji. Ada luka saat pertama melangkah, ada nilai mata pelajaran yang jeblok, ada keperawanan yang dirampas secara paksa (atau tidak terpaksa, tapi kemudian ditinggalkan orang perampasnya), ada pasangan yang menyeleweng, ada bos yang busuk (tidak menghargai buruh, semena-mena),..banyak hal. Kesetiaan pada kehidupan diuji secara berulang-ulang. Mau tidak setia pada kehidupan? Gampang saja. Banyak cara! Silahkan pilih. Pisau, pecahan kaca, tali tambang, gedung bertingkat, racun tikus, obat nyamuk cair, you name it! Semua bisa digunakan untuk mengakhisi kehidupan.
Bagi yang sampai saat ini masih setia dengan kehidupan, jangan senang dahulu. Karena ujian terhadap kesetiaan itu terus diuji. Terus, tidak bisa dan tidak akan pernah berhenti. Mungkin detik ini bisa setia, namun sedetik kemudian ada keinginan untuk tidak setia. Kalau selamat hari ini, mungkin besok tidak setia dengan kehidupan. Minggu ini, bulan ini, tahun ini,..terus ketidaksetiaan pada kehidupan mengancam. Hehe,..kalau takut membaca terus tulisan ini, atau terinspirasi untuk mengakhiri kehidupan, silahkan saja.
Bagi saya, kesetiaan penting untuk diingat. Saya tergolong orang yang setia. Setia kepada apa saja yang ada di depan mata, apa yang saya rasa, apa yang saya benci, apa yang sembah,.. semuanya. Saya orang yang setia pada apapun! Saya percaya, kesetiaan itu yang akan membangunkan saya di kemudian hari. "Bangun Iman,..saya "rasa benci" yang setia ada di dirimu, apa yang bisa saya bantu?" tanya suatu saat. "Hai benci, kamu kelihatan cantik hari ini, baru mandi? Bla,..bla,.." tanya saya. Percakapan tidak penting pun meluncur.
Maaf,..tulisan ini tidak selesai.
Baru saja, sebuah kesetiaan telah berakhir.
Kesetiaan pada tulisan ini tentu saja..
Surabaya, 11 Desember 2008
jam 7 malam