Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

14 Januari 2010

Perahu Khas Marseille dan Perahu Layar Nusantara Bertemu Pandang di Lautan

Iman D. Nugroho

Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya kembali mengangkat kejayaan perahu tradisional. Kali ini CCCL mencoba Membuka lembaran agenda seni budaya 2010 dengan mengangkat bagian dari tradisi yang pernah mengenyam era kejayaan dan banyak ditinggalkan oleh masyarakat maritim yang semakin mengakrabi teknologi tinggi: perahu tradisional.

Acara berupa dua pameran foto, pameran perahu dan sejumlah diskusi seputar perahu tradisional di masa kini itu bekerjasama dengan House of Sampoerna dan Tim Maritime Challenge – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Rangkaian acaranya bertajuk "Bertemu Pandang di Lautan : Perahu Khas Marseille dan Perahu Layar Nusantara (Timur Jawa & Madura)" digelar di dua lokasi secara bersamaan. CCCL Surabaya dan House of Sampoerna, pada tanggal 20 Januari – 5 Februari 2010.

Paul Piollet asal Prancis mengungkap sejarah pelayaran di Indonesia melalui fotografi perahu-perahu layar yang telah hilang. Menampilkan pameran foto tentang perahu layar tradisional asal Indonesia, yaitu bagian Timur Jawa dan Madura. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, para pelaut Nusantara sudah berlayar di lautan antar kepulauan, Samudra Hindia, Laut China dan sebagian dari Samudra Pasifik. Pembuatan perahu dimulai setidaknya pada zaman keemasan kerajaan Majapahit (abad XIV) dan terus berkembang hingga sekarang.

Awalnya dimulai di pulau Jawa, dekat kawasan hutan jati, kemudian pulau Sulawesi, semasa kerajaan Gowa (abad XVI dan XVII), lalu di Kalimantan dan Sumatra. Foto-foto yang ditampilkan diambil pada tahun 1970 – 1980, yang menunjukkan generasi terakhir perahu layar untuk transportasi dan menangkap ikan, sebelum beralih ke perahu motor. "Menandai berakhirnya era kejayaan kapal-kapal layar tersebut.” tulis Paul Piollet

Lalu ada Pameran Foto “Perahu Khas Marseille ” karya Patrick Box yang akan resmi dibuka di House of Sampoerna pada Kamis, 21 Januari 2010, pk. 18.30. Perahu khas Marseille, merupakan perahu tradisional dari kayu yang digunakan untuk menangkap ikan di pantai, dan banyak ditemui di pelabuhan-pelabuhan di kota Marseille. Perahu-perahu tersebut menjadi bagian dari pemandangan kota lebih dari satu abad.

Unsur warisan maritim lokal yang tidak mungkin bisa dilewatkan dan tidak terpisahkan keberadaannya dari pelabuhan-pelabuhan di Marseille. Terlebih lagi, perahu layar ini melambangkan perpaduan budaya yang menjadi ciri khas sejak jaman bahari pelabuhan Marseille dan sektor nelayan di Mediterania. Merupakan anggota terbanyak dari perkumpulan perahu layar di laut Mediterania, perahu khas Marseille merupakan bagian warisan kelautan ‘Euro-Mediterania’. Foto-foto karya Patrick Box dapat kami gelar di Surabaya berkat dukungan maskapai penerbangan Singapore Airlines.

Selanjutnya, Pameran perahu Yole de Bantry karya Tim Maritime Challenge – ITS, serta diskusi bersama Tim Maritime Challenge – ITS di CCCL : Jumat, 22 Januari 2010, pk. 18.00. Selama berlangsungnya pameran foto “Perahu Layar Nusantara (Jawa Timur & Madura)” di CCCL, akan dipamerkan perahu ‘Yole de Bantry’ dari Indonesia buatan Tim Maritime Challenge - ITS, yang telah berulangkali memenangkan kompetisi Maritime Challenge, untuk kembali berlomba pada « Maritime Challenge » 2010 di Kanada.

‘Yole de Bantry’ merupakan perahu kayu yang secara prinsip bermanuver dengan dayung dan layar. Perahu asal Prancis ini digunakan saat perang pada era Napoleón oleh armada laut Prancis dan Inggris. Pada 1986, Lance Lee asal Amerika dan Français Bernard Cadoret asal Prancis, memutuskan untuk mempopulerkannya dan menyelenggarakan kompetisi persahabatan bagi para pemuda.

Sejumlah mahasiswa dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang tergabung dalam tim “Maritime Challenge” telah menjadi perwakilan Indonesia pada 4 kompetisi internasional terakhir.

Menilik Lagi Jembatan Penyeberangan

Bayu Indra

Mungkin setiap orang dari kita pernah melihat jembatan penyebrangan? Ya, jembatan penyebrangan dibuat bertujuan untuk memberikan rasa aman bagi para pejalan kaki yang hendak menyebrang jalan raya, selain kemudian difungsikan oleh pemerintah sebagai tempat pemasangan papan iklan.

Namun, fakta berbicara lain. Coba lihat kembali jembatan penyeberangan. Jarang ada pejalan kaki yang memanfaatkan jembatan penyebrangan, sebagian besar lebih suka
menyeberang di bawah jembatan. Alasannya bermacam macam, tetapi sebagian besar mengaku mengunakan jembatan penyebrangan terlalu lama, butuh tenaga ekstra dan memakan waktu lama alias tidak efisien waktu. Satu hal yang terbaikan: resikonya lebih besar.

Sebuah pertanyaan pun muncul, apakah benar jembatan dibuat hanya sebagai "pemanis" dan tempat pemasangan papan reklame semata? Apakah uang anggaran yang pemerintah keluarkan untuk membangun jembatan atau fasilitas publik lainnya saat ini tidak terlalu berguna atau tidak butuhkan lagi oleh masyarakat? Bahkan mungkin, lebih tidak dimanfaatkan semaksimalnya oleh masyarakat?

Sebaiknya pemerintah saat ini harus mempertimbangkan lagi, mana yang lebih prioritas dan berguna bagi masyrakat. Mungkin dengan menyubsidi minyak tanah atau BBM mungkin? Daripada harus mmbuat jembatan penyebrangan baru yang hanya akan menjadi pajangan
di tengah kota tanpa dimanfaatkan dgn maksimal.

Bahtsul MasaiLINUX Bersama Pesantren Open Source – Madrasah Open Source (POS-MOS)

Press Release

Dukungan terhadap kampanye penggunaan perangkat lunak legal berbasis open source di Indonesia, "memaksa" Yayasan Ponpes SPMAA Turi Lamongan mengadakan sosialisasi dan pelatihan bertajuk “Bahtsul MasaiLINUX Bersama POS-MOS (Pesantren Open Source – Madrasah Open Source): Dasar-dasar Desktop Ubuntu dan Web Berbasis CMS”.

Menempati Aula Masjid Ruhullah Yayasan Ponpes SPMAA, kegiatan diikuti 30 peserta yang terdiri dari pengelola madrasah dan pesantren, murid/santri, serta komunitas pegiat opensource yang ada di Kabupaten Lamongan. Pelatihan ini dibuka bersama oleh Direktur Yayasan Ponpes SPMAA, Gus H. Khosyi'in Kocoworo Brenggolo, S.Ag., dan Kepala Kantor PDE Kabupaten Lamongan, Drs. Hurip Tjahjono, M.Hum., Senin pagi (11/1/2010).

Selama sepuluh hari, peserta akan belajar dasar-dasar penggunaan sistem operasi dan paket aplikasi komputer berbasis opensource. Distro Ubuntu Muslim Edition atau yang lebih dikenal dengan Sabily sengaja dipilih untuk menyesuaikan komunitas dan lingkungan pesantren. Pelatihan yang didampingi fasilitator dari Yayasan Air Putih ini juga mengajari peserta praktik pengelolaan web berbasis CMS (content management system).

Dalam sambutannya, Direktur Yayasan Ponpes SPMAA, Gus Khosyi'in mengharapkan kegiatan ini bisa menjadi gerakan alternatif dalam upaya menekan angka pembajakan dan pemakaian perangkat lunak illegal di tanah air. Lebih lanjut, Gus Khosy'iin juga menjelaskan bahwa filosofi dan semangat open source telah lama diterapkan di pondok pesantren SPMAA. “Sejak awal dirintis oleh Bapa Guru MA. Muchtar tahun 1961, proses pembelajaran di pesantren dan madrasah SPMAA menganut sistem terbuka. Sumber belajar dan peserta bisa datang dari mana saja, sehingga istilah opensource bagi kami bukan hanya berlaku pada isu teknologi komputer semata, tapi juga pada falsafah proses pengajarannya” kata Gus Khosyi'in.

Sementara itu Kepala Kantor PDE Kabupaten Lamongan, Drs. Hurip Tjahjono, M.Hum., menyampaikan apresiasi dan komitmennya untuk mendukung keberlanjutan dari kegiatan POS-MOS ini. “Kami mewakili institusi pemerintah siap bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat dan komunitas agar kampanye opensource ini semakin meluas sehingga target tahun 2011 sebagai tenggat akhir migrasi penggunaan opensource bisa tercapai,” jelasnya.

Pesantren Open Source – Madrasah Open Source (POS MOS) merupakan program inisiatif Yayasan Ponpes SPMAA yang dideklarasikan pada tanggal 20 Agustus 2009. Program yang menyasar pesantren dan madrasah se-Indonesia ini bertujuan membantu pemerintah dalam kampanye Indonesia Go Open Source (IGOS).

Selain berfungsi sebagai wadah komunitas pesantren/madrasah pengguna open source, program POS-MOS juga mengemban misi pengembangan pesantren dan madrasah terutama dalam pemanfaatan sumber daya. Penggunaan istilah POS-MOS merujuk pada filosofi, semangat dan gerakan opensource: Ilmu, pengetahuan, teknologi terbuka dan boleh dinikmati siapa saja untuk sebesar-besarnya kemakmuran umat dunia akhirat. Secara umum visi POS-MOS adalah “Menjadikan Pesantren dan Madrasah Sebagai Institusi Pendidikan Terbuka, Mudah, Murah, Mardhatillah, dan Menjangkau Semua”.

Hingga saat ini kegiatan yang telah digelar POS-MOS a.l: sosialisasi ke pesantren/madrasah melalui event rutin “Bahtsul MasaiLINUX Bersama POS-MOS”, silaturahmi antar komunitas opensource, advokasi ke pemerintah, penggalangan dukungan lewat group di facebook dan juga hibah komputer bagi sekolah melalui kampanye “Satu Komputer Untuk Ma'had & Madrasah” atau disingkat SERUMAH.