Iman D. Nugroho | source Detikcom
Prita Mulyasari can hold her tears. Woman, who was facing court because of her complain email to Omni International Hospital, made prostration a moment after she heard judges of Tangerang Court decide her free, this Tuesday, December 29, 2009. “Thank God, Prita is free!” some people express their feeling on court room.
Pritas cases have become one of the big cases in Indonesia. The struggle of woman with two children against Omni International Hospital, who’s sued her for her email, created solidarity among Indonesian people, which increased people to collect coin donation to help her. “We called it Koin Keadilan (Coin for Justice),” Yusro M. Santoso, one of the founders of koinkeadilan.com, an online community supporting Prita.
These cases also become a symbol for unfair Indonesia law system. Especially, in term of Indonesia online regulation, which are manifested trough Information and Electronic Transaction Law or ITE Law. Article 27 of ITE Law has mentioned “Anyone who’s initially or without their right to distribute and/or transmitted and/or makes the document is carrying defamation.”
Some NGO, which concern on freedom to expression in Indonesia, has tried to do Judicial Review of ITE Law trough Indonesia Constitutional Court or MK. But, they lost it. MK has decided ITE Law as right law and can be implemented in Indonesia. The last case, which used ITE Law, is Luna Maya, one of Indonesia famous artist. Some journalists, who are the members on The Association of Indonesian Journalists or PWI, sued Luna for her Twitter status.
29 Desember 2009
28 Desember 2009
Bertemu Ani Yudhoyono [bagian ke-2]
Iman D. Nugroho | Sebuah Cerpen
*Baca dulu bagian pertama, klik di sini
Bu Ani memicingkan mata. Aku merasa bersalah. "Penjelasan itu benar semua," kataku sambil "mengunci" mulutku dengan suapan soto daging. Tidak ada pembicaraan selama beberapa saat. Di kepalaku, masih menggantung tanya,"Mengapa Ani Yudhoyono menemuiku?" Tapi, sudahlah. Mungkin ini keberuntunganku. Insting jurnalistikku bekerja. "Bu Ani, apakah Ibu keberatan kalau saya wawancara untuk dimuat?" tanyaku. Dia melirikku. "Lalu, menurutmu, untuk apa aku sengaja menyapamu,.." katanya.
Wah, kesempatan emas!
Secepat Si Buta Dari Gua Hantu, kuraih ransel yang teronggok di dekat kakiku, kurogoh dan sejurus kemudian, sebuah MP3 recorder bermerk Sony sudah di tangan. "Saya rekam ya bu," kataku sambil menyorongkan MP3 hitam itu ke lebih dekat pada perempuan bernama asli Kristiani Herawati itu. Dia mengangguk. Mulutnya mengunyah pelan.
"Pertanyaan standart, apa yang membuat ibu ke pasar Tanah Abang?" tanyaku. "Saya habis ketemu Tommy,.." katanya pendek. "Tommy? Tommy Winata?" Aku meyakinkan. Dia mengangguk. Ani menjelaskan, Tommy dan dirinya adalah kawan lama. Waktu SBY "belum jadi apa-apa", Tommy dan dirinya sudah pernah berbisnis. "Waktu itu saya bisnis nener, tahukan, itu anak ikan bandeng," jelas perempuan yang menikah dengan SBY pada 30 Juli 1976 ini. Aku menggangguk.
Persahabatan itu terus berjalan, meski Ani sudah meninggalkan bisnis nener, karena SBY menjadi Presiden RI. Nah, dua hari lalu, Tommy menelepon, dan mengabarkan tentang bisnis multy level marketing (MLM). "Ah, masa orang sekata Tommy masih bermain MLM?" tanyaku. Sebuah gigitan krupuk menutup pertanyaan itu. Kresss!! Ani sedikit tertawa, sembari mengusap bibirnya dengan tisu. "Ini bukan MLM biasa, kita akan MLM helikopter, sudah lah, kalau saya omongkan semua, bisa-bisa akan muncul banyak saingan, bisa ganti topik?" katanya.
Meski ingin tahu lebih jauh, Aku memilih menghormati keinginan Ani. Dan melanjutkan wawancara? "Ini soal buku Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro, komentar ibu?" Ibu Ani memandangku dengan tajam. "George itu kurang ajar!" katanya. Menurutnya, isi buku yang belakangan heboh itu jelas-jelas sebuah penghinaan bagi keluarganya.
Alasanya sederhana, kalau memang SBY mau, mengapa cuma Rp.6,7 trilyun. "Pokoknya, kalau saya ketemu George, akan saya potong rambutnya yang gaya penyanyi dangdut itu!" katanya. "Lho, bukankah buku harus dibalas buku?" aku penasaran. "Eh, urusanku dong,..mau aku bayar joget kek,..potong rambut kek,..itu urusanku," Bu Ani ketus. Es teh manis yang tersisa separuh pun ditenggaknya sampai habis. "Ada bir-nggak?"
###
Hampir setengah jam sudah Aku dan Bu Ani menikmati soto dan es tawar itu. Keinginannya minum bir, aku ganti dengan es kelapa muda. Dia tidak menolak. Bahkan, menikmatinya. Kadang, dinikmatinya lonjoran kepala muda itu dengan atraktif. "Aku bisa makan kelapa muda ini lewat hidung," katanya. Dengan cekatan, dimasukkanya selonjor daging kelapa muda itu ke lubang hidung, dan sreeeeepppp! Huek!!!
"Bu,..omong-omong, katanya mau mencalonkan diri jadi Presiden RI ya,..kaya Hillary?" tanyaku. Bu Ani terbatuk-batuk. Bukan karena pertanyaanku, tapi, lonjoran daging kelapa muda itu tersangkut di kerongkongannya. Dengan terpaksa, kupukul tengkuknya. Belum ada reaksi. Dia tetap terbatuk-batuk. Kali ini, ku-jegug (ini bahasa Jawa. Artinya, kurang lebih, memukul dengan menggunakan kepalan tangan. Aku tidak menemukannya dalam bahasa Indonesia). Sebuah serpihan kelapa muda keluar dari mulutnya,..
Entah mengapa, aku gantian tersedak. Sesuatu tersangkut di tenggorokanmu. Aku terbatuk beberapa kali,..terbangun dari tidur. Kulihat seekor cicak dengan tubuh basah tergeletak di atas kasur,...jijik!!!
*Baca dulu bagian pertama, klik di sini
Bu Ani memicingkan mata. Aku merasa bersalah. "Penjelasan itu benar semua," kataku sambil "mengunci" mulutku dengan suapan soto daging. Tidak ada pembicaraan selama beberapa saat. Di kepalaku, masih menggantung tanya,"Mengapa Ani Yudhoyono menemuiku?" Tapi, sudahlah. Mungkin ini keberuntunganku. Insting jurnalistikku bekerja. "Bu Ani, apakah Ibu keberatan kalau saya wawancara untuk dimuat?" tanyaku. Dia melirikku. "Lalu, menurutmu, untuk apa aku sengaja menyapamu,.." katanya.
Wah, kesempatan emas!
Secepat Si Buta Dari Gua Hantu, kuraih ransel yang teronggok di dekat kakiku, kurogoh dan sejurus kemudian, sebuah MP3 recorder bermerk Sony sudah di tangan. "Saya rekam ya bu," kataku sambil menyorongkan MP3 hitam itu ke lebih dekat pada perempuan bernama asli Kristiani Herawati itu. Dia mengangguk. Mulutnya mengunyah pelan.
"Pertanyaan standart, apa yang membuat ibu ke pasar Tanah Abang?" tanyaku. "Saya habis ketemu Tommy,.." katanya pendek. "Tommy? Tommy Winata?" Aku meyakinkan. Dia mengangguk. Ani menjelaskan, Tommy dan dirinya adalah kawan lama. Waktu SBY "belum jadi apa-apa", Tommy dan dirinya sudah pernah berbisnis. "Waktu itu saya bisnis nener, tahukan, itu anak ikan bandeng," jelas perempuan yang menikah dengan SBY pada 30 Juli 1976 ini. Aku menggangguk.
Persahabatan itu terus berjalan, meski Ani sudah meninggalkan bisnis nener, karena SBY menjadi Presiden RI. Nah, dua hari lalu, Tommy menelepon, dan mengabarkan tentang bisnis multy level marketing (MLM). "Ah, masa orang sekata Tommy masih bermain MLM?" tanyaku. Sebuah gigitan krupuk menutup pertanyaan itu. Kresss!! Ani sedikit tertawa, sembari mengusap bibirnya dengan tisu. "Ini bukan MLM biasa, kita akan MLM helikopter, sudah lah, kalau saya omongkan semua, bisa-bisa akan muncul banyak saingan, bisa ganti topik?" katanya.
Meski ingin tahu lebih jauh, Aku memilih menghormati keinginan Ani. Dan melanjutkan wawancara? "Ini soal buku Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro, komentar ibu?" Ibu Ani memandangku dengan tajam. "George itu kurang ajar!" katanya. Menurutnya, isi buku yang belakangan heboh itu jelas-jelas sebuah penghinaan bagi keluarganya.
Alasanya sederhana, kalau memang SBY mau, mengapa cuma Rp.6,7 trilyun. "Pokoknya, kalau saya ketemu George, akan saya potong rambutnya yang gaya penyanyi dangdut itu!" katanya. "Lho, bukankah buku harus dibalas buku?" aku penasaran. "Eh, urusanku dong,..mau aku bayar joget kek,..potong rambut kek,..itu urusanku," Bu Ani ketus. Es teh manis yang tersisa separuh pun ditenggaknya sampai habis. "Ada bir-nggak?"
###
Hampir setengah jam sudah Aku dan Bu Ani menikmati soto dan es tawar itu. Keinginannya minum bir, aku ganti dengan es kelapa muda. Dia tidak menolak. Bahkan, menikmatinya. Kadang, dinikmatinya lonjoran kepala muda itu dengan atraktif. "Aku bisa makan kelapa muda ini lewat hidung," katanya. Dengan cekatan, dimasukkanya selonjor daging kelapa muda itu ke lubang hidung, dan sreeeeepppp! Huek!!!
"Bu,..omong-omong, katanya mau mencalonkan diri jadi Presiden RI ya,..kaya Hillary?" tanyaku. Bu Ani terbatuk-batuk. Bukan karena pertanyaanku, tapi, lonjoran daging kelapa muda itu tersangkut di kerongkongannya. Dengan terpaksa, kupukul tengkuknya. Belum ada reaksi. Dia tetap terbatuk-batuk. Kali ini, ku-jegug (ini bahasa Jawa. Artinya, kurang lebih, memukul dengan menggunakan kepalan tangan. Aku tidak menemukannya dalam bahasa Indonesia). Sebuah serpihan kelapa muda keluar dari mulutnya,..
Entah mengapa, aku gantian tersedak. Sesuatu tersangkut di tenggorokanmu. Aku terbatuk beberapa kali,..terbangun dari tidur. Kulihat seekor cicak dengan tubuh basah tergeletak di atas kasur,...jijik!!!
Bertemu Ani Yudhoyono
Iman D. Nugroho | Sebuah Cerpen
Pasar Tanah Abang, Jakarta suatu hari. Entah bagaimana, tiba-tiba motor yang lagi asyik kukendarai, terseok-seok. "Bocor,.." Yup. Seperti sebuah ritual, motor tua yang aku miliki [dengan kebanggaan karena uangnya bukan hasil korupsi], bocor lagi roda belakangnya. Sebuah angkot yang berada tepat di belakangku, membanting stirnya ke arah kanan, sambil menyalakan klaksonnya keras-keras. "Anjing lu!" teriak sopirnya.
Aku pura-pura nggak mendengar. Kalau aku sopirnya, pasti juga akan melakukan hal yang sama. Maklumlah, panas dan macet, sering membuat orang gampang emosi. Tak ada pilihan selain menuntun [serius, aku tidak menemukan kata "menuntun", dalam bahasa Indonesia]. Itu tuh,.berjalan di samping motor, sambil berpegang ada dua stir motornya. Seperti yang dilakukan orang-orang untuk mencari tambal ban. You know what I mean?
"Mas Iman ya?" Tiba-tiba seorang peremuan menyapaku. Aku terkejut. Bagaimana bisa, seorang ibu-ibu tua, yang berdiri di trotoar jalan sendirian, menyapaku. Kutepis kagetku, sambil kupandangai wajahnya. "Ibu siapa? tanyaku. Ia hanya tersenyum. Dari senyumnya, aku sempat menebak dia adalah Luna Maya, tapi kok agak gendut. Atau Miyabi? Nggak ah. Miyabi kan orang Jepang, nggak mungkin bisa bahasa Indonesia.
"Jangan kaget, saya Ibu Ani," katanya. Glodak!!! "Nggak usah pake glodak, saya memang memang Ani Yudhoyono, istrinya pak SBY," jelasnya. Aku hanya terpana. Mana mungkin, Bu Ani sendirian di tepi jalan yang panas di Tanah Abang. Sendirian lagi. "Ah, ibu bercanda," kataku pendek. Ia tersenyum. "Kok nggak ada pengawalan?" aku penasaran. "Siapa bilang saya sendirian, kamu lihat dua orang di sana itu, atau yang di sana?" katanya sambil menunjuk dua orang berjaket dan kacamata hitam di seberang jalan. "Mereka adalah Paspampres yang menjaga saya," katanya.
Aku masih tidak percaya. Kuamati wajahnya. "Iya,..memang mirip Ani Yudhoyono," kataku dalam hati. "Memang aku Bu Ani," katanya seperti mampu menebak hatiku.
###
"Ini sotonya, dan ini es teh tawarnya," kata pemilik warung sambil menyodorkan soto daging dan es teh tawar. Pertemuan dengan Bu Ani Yudhoyono di depan Pasar Tanah Abang itu mengantarkan kami ke warung Soto Daging di belakang Plaza Indonesia. "Sudah, kita makan dulu, biar Paspampres yang menunggui tukang tambal ban, menambal roda belakang sepeda motormu," katanya.
Memang, tak lama setelah Bu Ani memperkenalkan diri, seorang pria berbadan kekar mendatangi kami, dan nawarkan diri membantuku menambal ban. Bu Ani, mengajakku naik taksi ke warung soto ini. "Kalau memang anda Ani Yudhoyono, tolong ceritakan sedikit soal sosok Anii Yudhoyono?" tanyaku menguji. Dia tersenyum. Kalau dia berbohong, aku pasti tahu. Belum lama ini, aku googling sosok Ani Yudhoyono di internet, dan menemukan banyak data tentangnya.
"Oke. Saya lahir di Jogjakarta pada 6 Juli 1952. Artinya, umur saya 57. Suami saya, Susilo Bambang Yudhoyono, presidenmu itu [Aku tersenyum], dan punya anak dua. si Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono, yang sering kamu olok-olok di internet [aku tersenyum lagi, kali ini senyum sinis]. Saya pernah kuliah di UKI [Universitas Kristen Indonesia], tai tidak selesai, dan melanjutkan di Universitas Universitas Merdeka samai tamat,..trusss,.." katanya.
"Sudah-sudah,.." aku menyela.
*bersambung bagian kedua, klik di sini.
Pasar Tanah Abang, Jakarta suatu hari. Entah bagaimana, tiba-tiba motor yang lagi asyik kukendarai, terseok-seok. "Bocor,.." Yup. Seperti sebuah ritual, motor tua yang aku miliki [dengan kebanggaan karena uangnya bukan hasil korupsi], bocor lagi roda belakangnya. Sebuah angkot yang berada tepat di belakangku, membanting stirnya ke arah kanan, sambil menyalakan klaksonnya keras-keras. "Anjing lu!" teriak sopirnya.
Aku pura-pura nggak mendengar. Kalau aku sopirnya, pasti juga akan melakukan hal yang sama. Maklumlah, panas dan macet, sering membuat orang gampang emosi. Tak ada pilihan selain menuntun [serius, aku tidak menemukan kata "menuntun", dalam bahasa Indonesia]. Itu tuh,.berjalan di samping motor, sambil berpegang ada dua stir motornya. Seperti yang dilakukan orang-orang untuk mencari tambal ban. You know what I mean?
"Mas Iman ya?" Tiba-tiba seorang peremuan menyapaku. Aku terkejut. Bagaimana bisa, seorang ibu-ibu tua, yang berdiri di trotoar jalan sendirian, menyapaku. Kutepis kagetku, sambil kupandangai wajahnya. "Ibu siapa? tanyaku. Ia hanya tersenyum. Dari senyumnya, aku sempat menebak dia adalah Luna Maya, tapi kok agak gendut. Atau Miyabi? Nggak ah. Miyabi kan orang Jepang, nggak mungkin bisa bahasa Indonesia.
"Jangan kaget, saya Ibu Ani," katanya. Glodak!!! "Nggak usah pake glodak, saya memang memang Ani Yudhoyono, istrinya pak SBY," jelasnya. Aku hanya terpana. Mana mungkin, Bu Ani sendirian di tepi jalan yang panas di Tanah Abang. Sendirian lagi. "Ah, ibu bercanda," kataku pendek. Ia tersenyum. "Kok nggak ada pengawalan?" aku penasaran. "Siapa bilang saya sendirian, kamu lihat dua orang di sana itu, atau yang di sana?" katanya sambil menunjuk dua orang berjaket dan kacamata hitam di seberang jalan. "Mereka adalah Paspampres yang menjaga saya," katanya.
Aku masih tidak percaya. Kuamati wajahnya. "Iya,..memang mirip Ani Yudhoyono," kataku dalam hati. "Memang aku Bu Ani," katanya seperti mampu menebak hatiku.
###
"Ini sotonya, dan ini es teh tawarnya," kata pemilik warung sambil menyodorkan soto daging dan es teh tawar. Pertemuan dengan Bu Ani Yudhoyono di depan Pasar Tanah Abang itu mengantarkan kami ke warung Soto Daging di belakang Plaza Indonesia. "Sudah, kita makan dulu, biar Paspampres yang menunggui tukang tambal ban, menambal roda belakang sepeda motormu," katanya.
Memang, tak lama setelah Bu Ani memperkenalkan diri, seorang pria berbadan kekar mendatangi kami, dan nawarkan diri membantuku menambal ban. Bu Ani, mengajakku naik taksi ke warung soto ini. "Kalau memang anda Ani Yudhoyono, tolong ceritakan sedikit soal sosok Anii Yudhoyono?" tanyaku menguji. Dia tersenyum. Kalau dia berbohong, aku pasti tahu. Belum lama ini, aku googling sosok Ani Yudhoyono di internet, dan menemukan banyak data tentangnya.
"Oke. Saya lahir di Jogjakarta pada 6 Juli 1952. Artinya, umur saya 57. Suami saya, Susilo Bambang Yudhoyono, presidenmu itu [Aku tersenyum], dan punya anak dua. si Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono, yang sering kamu olok-olok di internet [aku tersenyum lagi, kali ini senyum sinis]. Saya pernah kuliah di UKI [Universitas Kristen Indonesia], tai tidak selesai, dan melanjutkan di Universitas Universitas Merdeka samai tamat,..trusss,.." katanya.
"Sudah-sudah,.." aku menyela.
*bersambung bagian kedua, klik di sini.