Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

08 Desember 2009

Tari Padang Pasir di Sudut Kemang

Iman D. Nugroho

Pekan lalu, tari perut “menggoyang” salah satu sudut Jakarta. Di sebuah kafe di wilayah Kemang, Jakarta Selatanlah pertunjukan tari perut itu digelar. Goyang dan gemulai penari dengan perut terbuka yang merupakan tari khas negeri arab itu, seakan mengantar pengunjung ke negeri di mana tokoh film Alladin berasal. “Meski sulit pada awalnya, tapi tarian saya menjadi lebih bermakna pada akhirnya,” kata Kamal Al Bayaty, sang koreografer.

Bila Anda hadir di Kafe Shisha Kemang malam itu, bisa jadi Anda akan merasa “terbang” ke Negeri Padang Pasir. Entah, Saudi Arabia, Iran, Arab atau bahkan Afghanistan. Karena memang seperti itu adanya. Di kafe yang menyajikan makanan-makanan timur tengah itu menyajikan pula Classical Arabian Dance dengan Fashion Show. Tentu saja, fashion show dengan “rasa” yang sama: Arabian Taste.

Desain panggung itu sebenarnya sederhana. Hal yang menampakkan kesan Arab, adalah background reruntuhan bangunan tua, dengan gunung pasir di belakangnya. Lembaran kain transparan yang menaungi memunculkan kesan pertunjukan itu dilakukan di dalam tenda khas padang pasir. Juga lighting warna-warni dari lampu yang juga berdisain senada.

Penari dari Sahara Dance dan kelompok balet Sumber Cipta dipilih sebagai penyaji karya Kamal. Kepiawaian mereka mengolah tubuh dan ballet, merupakan “bahan baku” yang bisa diolah sesuai besutan koreografer asal Irak itu. Empat penari membuka pagelaran itu adalah Veil Dance (tari cadar). Goyangan pinggul yang menjadi ciri khas tarian itu, berpadu apik dengan gerak bahu yang tak henti mengikuti irama padang pasir. Selendang transparan yang digunakan sebagai dari asesoris kostum semakin membuat tarian pembuka ini lebih kental nuansa Timur Tengah-nya.

Sebuah tarian berjudul Sufi, menjadi kekuatan pagelaran ini. Lima penari, yang satu di antaranya adalah laki-laki memberikan kesan berbeda. Belum lagi kekuatan ekspresi wajah yang dimiliki Sicko, sang penari laki-laki, begitu menonjol dari seluruh penari perempuan yang “menghiasi” tarian dengan kecantikan dan gemulai mereka. Kostum Sicko yang sederhana, hanya kaos dan celana pendek hitam plus selendang transparan yang juga berwarna hitam sebagai penutup pinggul hingga lutut, membuatnya lebih menonjol.

Kekuatan ballet dan tari perut kental terasa dalam tarian berjudul Still Ways to Live yang dimainkan oleh Yuni, salah satu anggota Sumber Cipta. Gemulai tubuh Yuni dalam tarian itu kental dengan gerakan-gerakan ballet yang sulit. Apalagi, ritme musik yang turun naik membuat gerakan ballet dalam tarian itu menjadi lebih hidup. Applause panjang menjadi penutup tarian ini. Juga ketika Suzi dan Sicko membawakan tarian berjudul Final.

Dua penari ini seakan “menenggelamkan” penonton dalam romantisme gaya Arabian dan Eropa dalam satu waktu. Suzi yang mengenakan pakaian serba putih, bagai angsa yang menari di oase di tengah gurun. Sementara Sicko coba menggodanya dengan gerakan-gerakan tegas dan lugas. “Saya ingin mengubah image tarian arab yang sering diidentikkan dengan tarian sex menjadi tarian yang lebih memiliki nilai seni tinggi,” kata Kemal.

Classical Arabian Dance dengan Fashion Show kali ini adalah pesta perpisahan Kamal Al Bayaty yang akan pindah ke San Paulo, Brazil, setelah 3,5 tahun mengajar tari di Jakarta. “Saya tidak mau meninggalkan Indonesia tanpa meninggalkan ilmu yang saya miliki, dan tarian malam inilah jawabannya,” kata bapak beranak dua ini. Untuk itulah, 30 penari yang disiapkan Kamal dalam event ini diharapkan bisa menjadi guru bagi penari lain

Kamal mengungkapkan, tidak mudah baginya mengajarkan Tari Perut kepada penari Indonesia. Terutama membiasakan sang penari untuk bisa bergerak bebas. Khususnya, gerakan bebas dari bagian tubuh dada hingga pundak. Penari Indonesia kebanyakan merasa risih menggerakkan dada dan pundaknya. “Mereka, seperti lebih senang membungkuk, untuk tidak menonjolkan bagian dadanya,” kata Kamal. Bisa jadi, tambah Kemal. Ketidakbebasan penari untuk menggerakkan dada hingga pundak itu terjadi karena pengaruh lingkungan.

Dalam budaya timur, perempuan seperti “diwajibkan” untuk melindungi atau menutupi bagian dadanya. Hal itu, jelas Kamal, membuat penari memilih untuk tidak terlalu mengeksplorasi bagian-bagian itu. Padahal, dalam tari perut, gerakan bagian dada dan pundak menjadi sesuatu yang penting. “Karena itulah, hal pertama yang saya perkenalkan kepada para penari ini adalah bagaimana “membebaskan” bagian tubuh dada dan pudak agar lebih bebas bergerak,” jelasnya.

Kebebasan gerak itu, menurut Kamal merupakan elemen terpenting dalam creasi tari miliknya. Semua gerakan tari yang diciptakan untuk pertunjukan kali ini, memadukan tari perut dan tari klasik Indonesia dan Eropa. “Biarkan gerakan, music dan busana yang dikenakan “berbicara” sendiri kepada penonton,” kata Kamal yang juga seorang desainer ini.

Meski awalnya sedikit memiliki kesulitan, tapi perlahan-lahan ke-30 penari itu mulai bisa lebih bebas bergerak. Dalam 12 pagelaran tari dan peragaan busana yang dilakukan malam itu, para penari seakan tak ragu lain menggerakkan seluruh tubuhnya dalam lagu rancak irama padang pasir. Dalam tarian berjudul Wardah With Solo Drum misalnya. Enam penari, Lia, Emma, Tata, Tina, Yulia dan Jenny menyajikannya dengan sangat apik.

Kamal sendiri menunjukkan keahliannya malam itu dengan membawakan tarian berjudul Goodbye Dear. Tarian yang mengekspresikan kesedihan karena harus meninggalkan Keindahan di Indonesia itu termanifestasi dalam gerakannya. “Terima kasih kawan-kawan di Indonesia, saya akan melanjutkan kehidupan di San Paulo Brazil dengan mengajar tari di sana.” Katanya.

07 Desember 2009

AJI Jakarta Diskusikan Film Balibo

Iman D. Nugroho

AJI Jakarta mengadakan pemutaran film secara gratis dan diskusi film kontroversial Balibo. Acara yang rencananya akan dilaksanakan di Theater 21 (Art Cinema) Taman Ismail Marzuki, Senin, 7 Desember 2009 ini menghadirkan Ezki Suyanto (AJI Indonesia), Asvi Warman Adam (Sejarahwan), Muchlis Paeni, Ketua LSF (dalam konfirmasi) dan Letjen (Purn) Agus Widjojo ( Komisi Kebenaran dan Persahabatan antara RI dan Timor Leste).

Karena membludaknya peminat dalam pemutaran film ini untuk pertama kali di Teater Utan Kayu Jakarta beberapa waktu lalu, AJI Jakarta menerapkan aturan yang lebih ketat dengan membagikan tiket. Yakni, dengan mengambil tiket secara gratis di Kantor AJI Jakarta beberapa jam sebelum pemutaran dan diskusi dilakukan.

Film fiksi BALIBO berasal dari kisah nyata yang terjadi di Kabupaten Balibo, Timor Leste pada tahun 1975. Ada dugaan, saat itu terjadi kebrutalan tentara Indonesia terhadap lima wartawan Australia, Gary Cunningham, 27 (cameramen ), Malcolm Rennie, 28 (reporter), Greg Shackleton, 27 (audioman), Tony Stewart, 21 (audioman) dan Brian Peters, 29 (cameraman). Lima jurnalis dari Channel 7 dan Channel 9 Australia terjebak saat militer Indonesia memasuki benteng Balibo di utara Timor Leste. Dan tewas!

Film yang disutradarai Robert Connolly ini dibuat oleh perusahaan Transmission dan FootPrint Film di Australia, dengan David Williamson sebagai penulis skenario. Film ini didasarkan pada penelusuran Jolliffe, wartawan Australia yang bertemu dengan saksi mata sebelum Roger East (wartawan AAP Australia) dibunuh.

Sebelum sempat diputar, pemerintah Indonesia menyatakan film yang dibintangi Anthony La Paglia ini bersifat ofensif. Atas desakan TNI dan pemerintah, LSF akhirnya melarang peredaran film tersebut, karena dianggap akan memunculkan luka lama disertai dengan muatan politis yang akan merendahkan citra Indonesia sebagai pelanggar HAM.

Bagi jurnalis, penayangan film ini sangat berguna untuk mengingatkan semua pihak agar menghormati hak-hak jurnalis saat meliput. Pasalnya, jurnalis bertugas mencari fakta yang mendekati kebenaran. Film ini juga memberi peringatan bahwa pembunuhan terhadap jurnalis harus diusut tuntas. Para pelakunya harus diadili.

Rencananya, film Balibo akan ditayangkan di Jakarta Internasional Film Festival (Jiffest) ke 11 pada 4-12 Desember 2009. Di Australia sendiri, pemutaran film tersebut sudah dirilis pada bulan Juli lalu. Tapi, diakhir cerita, pemutaran itu menuai kontroversi karena Lembaga Sensor Film (LSF) tidak memberikan izin lolos sensor atas film ini. Pemutaran itu pun gagal dilakukan.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan protes atas keputusan Lembaga Sensor Film (LSF) terkait larangan peredaran film “Balibo”. Pelarangan film tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi, kebebasan berapresiasi dan tidak menghormati hak masyarakat untuk tahu.

05 Desember 2009

Media, Perempuan dan Jurnalis

Iman D. Nugroho

Persoalan perempuan kembali dibicarakan dalam workshop bertema Media, Perempuan dan Jurnalis di GG House, Bogor, Sabtu-Minggu (5-6/12/09). Dalam forum yang diprakarsasi AJI Jakarta dan Development and Peace ini menghadirkan aktivis dari LSM Perempuan Kalyanamitra dan Yayasan Jurnal Perempuan.