Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

01 Desember 2009

Mengapa Film Balibo Dicekal di Indonesia?



Iman D. Nugroho | Trailer by Youtube

Kebebasan berekspresi kembali dipangkas. Sebuah film berjudul Balibo, yang akan diputar di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta, Selasa (1/12/2009) malam, atas prakarsa Jakarta Foreign Correspondents Club (JFCC), dibatalkan. Alasannya Lembaga Sensor Film (LSF) menyatakan film itu tidak lolos sensor.

Apa yang sebenarnya disajikan film Balibo? Film itu adalah film semi dokumenter yang terkisah tentang tewasnya lima wartawan Australia di tahun 1975. Bersamaan dengan masuknya pasukan Indonesia pertama kali ke Timor Timur pada tahun yang sama. Proses investigasi seorang jurnalis yang juga investigator peristiwa pembunuhan itu, Roger East, menjadi inti cerita film yang menguak lembaran hitam Timor Timur itu.

Apa yang terjadi dalam peristiwa Balibo memang mengerikan. Sebuah grup jurnalis Australian dari Seven Network dan Nine Network, Greg Shackleton (27), Tony Stewart (21), Gary Cunningham (27), Brian Peters (29) dan Malcolm Rennie (28) tewas pada 16 Oktober 1975. Kematiannya kelima jurnalis itu memunculkan kontroversi. Apalagi tubuh kelimanya ditemukan dalam keadaan terbakar.

Pihak militer Indonesia percaya kematian lima jurnalis Australia itu terjadi karena mereka hadir saat konflik bersenjata antara pihak Indonesia dan pasukan Pemerintah Portugal pecah. Tapi di sisi lain, berangkat dari fakta di lapangan menyebutkan, kematian kelima jurnalis itu adalah sebuah kesengajaan untuk menutup kejadian mengerikan yang terjadi ketika pasukan Indonesia masuk ke Timor Leste yang berhasil direkam oleh lima jurnalis itu.

Di tahun yang sama, Roger East, jurnalis AAP dan Reuters di Australia berinisiatif melakukan investigasi atas peristiwa itu. Namun, belum juga peristiwa pembunuhan lima wartawan Australia terungkap, kejadian tragis kembali terjadi. Roger East ditemukan tewas di sebuah pantai di Dili. Berdasarkan pengakuan saksi mata, Roger East dieksekusi oleh segerombolan anggota militer Indonesia pada 8 Desember 1975.

Meski demikian, beberapa laporan Roger East masih bisa ditelusuri dan diubah menjadi naskah film yang digarap pada tahun 2009. Penjelasan dari Jill Jolliffe, jurnalis Aurtralia lain yang sempat bertemu dengan dua jurnalis yang juga ikut tewas, menguatkan skenario yang dibuat oleh David Williamson dan disutradarai oleh Robert Connolly itu. Meskipun, ketika film ini di rilis di Australia, tetap saja munculkan kontroversi lain karena dianggap tidak mempedulikan perasaan keluarga korban.

Meski demikian, film ini mendapat sambutan yang luar biasa. Tak kurang, Presiden Australia Ramos Hormat memberikan sambutan dalam the Melbourne International Film Festival pada 24 Juli 2009. "Film ini seperti memberikan prespektif kepada kita, tentang bagaimana kejadian 34 tahun lalu itu." Tapi, mengapa di Indonesia harus dicekal?

*dari berbagai sumber.

Mahasiswa Tuntut Maling Century Diadili

Iman D. Nugroho

Mahasiswa dari berbagai elemen kampus di Jakarta menggelar demonstrasi besar di depan gedung DPR/MPR di Jakarta, Selasa (1/12/09) ini. Mereka menuntut kasus Bank Century yang diduga melibatkan Wapres Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani segera diusut tuntas.

30 November 2009

Setelah Bibit-Chandra Bebas Lalu Apa?

Iman D. Nugroho | Foto dokumentasi

Naga-naganya, Bibit S, Rianto dan Chandra M. Hamzah akan dibebaskan. Kalau memang iya, hampir pasti akan menjadi klimaks perseteruan Cicak dan Buaya. Lalu apa? Ketidakadilan hukum kembali dimaklumi? Korupsi kembali dilihat sebagai budaya? Atau sebaliknya, persatuan para Cicak akan diteruskan dan menjadi gelombang kesadaran penghapusan korupsi secara terus menerus?

Kisah perseteruan Cicak dan Buaya, sepertinya akan sampai pada titik klimaks. Ketika para Cicak menuai kemenangan [untuk kesekian kalinya] dengan dibebaskannya Bibit-Chandra dari seluruh tuduhan. Ada kelegaan, ada rasa haru. Dugaan adanya penyimpangan dalam kasus penahanan Bibit-Chandra, ternyata bukan hanya isapan jempol belaka. Semangat yang membawa di dunia maya (baca: facebook) memunculkan solidaritas nasional. Dan ternyata benar!

Tapi di balik semua rasa itu, ada kekhawatiran. Semangat dan kesadaran untuk terus melawan "Buaya" dengan mengumpulkan energi Cicak, perlahan-lahan akan hilang. Para Cicak akan kembali ke sarangnya, dengan membawa senyum dan rasa bangga. Proses pengganyangan korupsi akan kembali dikerjakan oleh Cicak-Cicak "kecil" yang ada di KPK. Tak ada lagi talkshow di TV, tak ada lagi aksi solidaritas di Bundaran HI,...

Penulis meyakini, kondisi pada alinea di atas ini, yang akan terjadi. Dan Buaya akan bisa bernapas lega. Diam-diam, mereka akan menyiapkan strategi baru untuk menggerogoti hukum di Indonesia. Memainkannya di bawah meja, Dan yang paling parah, bila suatu saat para Cicak sudah lengah, Buaya akan menerkam! Menggigit tepat dijantung Cicak. Dan dengan seringainya, Buaya akan menyaksikan para Cicak meregang nyawa,..

Jelas, selain Buaya dan teman-temannya, tidak ada keinginan di dalam diri kita yang membiarkan hal itu terjadi. Karena itu harus disusun strategi khusus untuk men-Cicak-kan semua orang. Tidak hanya generasi saat ini, mungkin juga generasi yang akan datang. Cicak, bukan hanya Cinta Indonesia Cinta KPK, tapi harus berarti Cinta Indonesia Cincang Korupsi!

Sekali lagi: CINTA INDONESIA CINCANG KORUPSI! CICAK!!