Nama besar Proklamator RI Ir. Soekarno tidak bisa dilepaskan dari Jawa Timur. Provinsi tempat Ia lahir, kenal dengan dunia politik untuk pertama kali, dan sekaligus menjadi tempatnya bersemayam ini menyimpan banyak kenangan atas Soekarno. Berikut ini penelusuran
Iman D. Nugroho di beberapa lokasi yang pernah ditinggali sosok yang mendapatkan julukan Putra Sang Fajar itu.
Sekilas, rumah di Jl. Pandean IV no. 48 Surabaya itu memang tidak istimewa. Ruang tamunya berbatasan langsung dengan gang seluas empat meter. Tembok depannya kusam, cat mengelupas di beberapa bagian. Rembesan air menciptakan bekas di plafon, berpadu dengan kusen pintu dan jendela yang berbeda warna. Namun, rumah berukuran 18x7 meter itulah disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Proklamator RI Soekarno pada 6 Juni 1901.
Lokasi kelahiran Soekarno di Jl. Pandean Surabaya memang bukan hal baru. Setidaknya, dua buku biografi terkemuka tentang Soekarno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adam dan Putra Sang Fajar karangan Shohirin menyebut Surabaya sebagai tempat kelahiran tokoh yang pada awalnya bernama Koesno itu, dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai.
“Buku itu hadir saat Soekarno masih hidup, dan Soekarno tidak membantahnya, bisa jadi hal itu adalah kebenaran,” kata Budi Kastowo, Penjaga Museum dan Perpustakaan Soekarno di Blitar. Ketidakjelasan masyarakat pada tempat lahir Soekarno dikarenakan Soekarno tidak lama tinggal di Surabaya. Pada usia 2 tahun, Koesno mengikuti kepindahan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai ke Mojokerto.
Tidak pasti benar lokasi rumah ke-2 ini. Hanya disebutkan, rumah Koesno seringkali terkena banjir bandang dari Sungai Brantas yang melintas di Mojokerto. Besar kemungkinan, rumah itu berada di bantaran Sungai Brantas. Saat itu, Koesno kecil sering sakit-sakitan. Kebudayaan Jawa menyebutkan, salah satu upaya penyembuhan yang bisa dilakukan pada Koesno kecil adalah dengan ditirah atau dititipkan.
Rumah sang kakek Raden Hardjodikromo di Tulungagung menjadi pilihan. Di rumah yang terletak di kawasan Kepatihan Tulungagung (kini Jl. Mayjend Surapto, Kota Tulungagung) itulah Koesno kecil mendapatkan perawatan. Yakni dengan pengobatan tradisional tirah Jawa. Caranya, Raden Hardjodikromo tidur di lantai, sementara Koesno di atas ranjang.
Hal itu dilakukan tiap malam. Hingga akhirnya Hardjodikromo mendapatkan wangsit untuk mengubah nama Koesno dengan nama Karno atau Soekarno. Sejak saat itu, kondisi Soekarno kecil mulai membaik, dan bersekolah di Inlander School hingga umur 11 tahun. Europe Lagere School (ELS) di Mojokerto menjadi pilihan Soekarno kemudian. Empat tahun kemudian, atau pada 1915, Soekarno yang sudah beranjak dewasa melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya.
Saat itulah, Soekarno berkenalan dengan Haji Oemar Said Tokroaminoto (HOS) Tjokroaminoto, bapak kos yang juga ketua Syarikat Islam (SI). Tjokroaminoto memperkenalkan Soekarno dengan wacana-wacana kebangsaan dan semangat perlawanan kepada penjajah Belanda. Semaun, Moeso, Darsono dan Alimin yang juga menuntut ilmu di HBS menjadi teman diskusi. Hingga tahun 1926, Soekarno melanjutkan pendidikannya di sekolah teknis THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi), cikal bakal Institut Teknologi Bandung-ITB dan lulus tahun 1926, serta berkiprah di dunia politik nasional.
Jejak-jejak Soekarno di Jawa Timur memang tidak sebanding dengan kiprah politik setelah dia dewasa, hingga menjadi Presiden Pertama RI 1945-1966. Ketika kecil, Koesno atau Soekarno memang bukan “siapa-siapa”. Hanya anak kecil biasa yang sakit-sakitan. Bahkan, kelahiran Soekarno di Surabaya pun tidak banyak yang tahu. “Kalau tidak salah lahirnya di Blitarkan?” tanya Ashari, 75. Ashari adalah penduduk asli Jl. Pandean, Surabaya. Kepada The Jakarta Post ia mengaku pernah mendapatkan cerita dari Ibunya, Almarhum Asyiah tentang sosok Soekarno. “Seingat saya, memang ibu pernah bercerita tentang Bung Karno, dulu dia tinggal di Pandean bersama Ibu Inggit (istri ke-2 Soekarno),” katanya.
Saat Soekarno tinggal di Pandean, kenang Ashari, tetangga bagian depan ditempati sebagai sekretariat Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). KBI adalah organisasi pemuda di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI), partai politik yang didirikan Soekarno. Berbagai aktivitas politik dilakukan di tempat itu. “Sejauh itu yang saya ingat, soal kelahiran Bung Karno, saya sama sekali tidak mengetahui,” kata Ashari yang tinggal enam rumah di sebelah timur tempat kelahiran Soekarno itu.
Cerita tentang Soekarno itu berhenti, saat Aisyiah meninggal dunia. Apalagi, ketika rumah kelahiran Soekarno itu dijual. Saat ini, rumah itu milik Jamila, yang merupakan “tangan ke empat”. Perempuan yang tinggal bersama suami dan kakaknya itu sama sekali tidak memiliki hubungan saudara dengan Soekarno. Saat The Post mengunjungi rumah itu, Jamila sedang tidak ada di rumah.
Tempat kos Soekarno saat bersekolah di HBS yang juga (HOS) Tjokroaminoto masih berdiri di Jl. Peneleh gang VII Surabaya. Rumah sederhana berbentuk joglo khas Jawa Timur itu saat ini dikelola oleh Pemkot Surabaya dan ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya. Warna dinding, tembok dan pagar yang masih bagus menandakan rumah tempat Soekarno mengenal politik untuk pertama kalinya itu masih dijaga.
Jejak Soekarno juga “menghilang” di Mojokerto, yang berjarak sekitar 30 Km dari Surabaya. Hingga saat ini, tidak ada yang tahu lokasi tempat tinggal Soekarno di daerah yang dikenal sebagai lokasi Kerajaan Majapahit itu. Yang masih tersisa hanya tempat tinggal ke-3 Soekarno di Tulungagung, rumah Raden Hardjodikromo.
Rumah yang kini terletak di Jl. Mayjend Surapto, Kota Tulungagung itu kosong, tidak berpenghuni. Penduduk sekitar rumah itu mengenal rumah itu sebagai rumah Eyang Hardjo. “Itu memang rumah eyang (Hardjo-RED), yang juga kakek Bung Karno,” kata Joko, penduduk setempat. Joko mengingat, rumah itu sudah lama kosong dan dalam kondisi dijual. “Kata orang-orang, keluarga eyang sudah tidak ada,” kata Joko pada The Post.
Selain rumah, yang masih tersisa dari jejak Soekarno di Tulungagung adalah makam Raden Hardjodikromo di pemakaman Kepatihan, 1 Km dari rumahnya. Di makam itu, Raden Hardjodikromo “berkumpul” dengan kerabatnya, dalam satu komplek makam berjumlah 14 buah. “Makam ini jarang sekali dikunjungi, hanya beberapa tahun lalu saja keluarga Soekarno datang untuk berziarah,” kata Sabar, juru kunci makam Raden Hardjodikromo.
Budi Kastowo, Penjaga Museum dan Perpustakaan Soekarno di Blitar mengatakan, rasa memiliki Soekarnolah yang membuat “jejak-jejak” Proklamator itu masih dirasakan kental di Jawa Timur. Meskipun secara fisik, terkadang rumah, sekolah atau tempat-tempat yang pernah didiami Soekarno tidak lagi ada, namun semangat tokoh kelahiran 6 Juni itu masih terasa.
Salah satu contohnya adalah Istana Gebang di Blitar. Menurut sejarahnya, Soekarno tidak pernah lama tinggal di rumah itu. “Memang, kedua orang tua Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai tinggal di situ, namun, Soekarno tidak,” katanya. Rumah yang kemudian dihuni oleh Soekarmini, kakak Soekarno, itu diidentikkan dengan sosok Bung Karno. Pada bulan Juni, Kota Blitar selalu semarak dengan acara Haul (Hari Ulang Tahun) Soekarno. Istana Gebang menjadi sentra kegiatan.
Di Istana Gebanglah, pernah-pernik berbau Soekarno disimpan. Mulai foto Soekarno dengan ayah-ibu dan kakaknya, foto semasa muda, patung hingga kamar yang lengkap dengan perabotan asli milik bapak delapan anak itu. Karena alasan itu jugalah, banyak pihak “berteriak”, ketika Istana Gebang berencana dijual.
Padahal, kata Budi, kota yang membesarkan Soekarno itu adalah Surabaya dan Bandung. Di Surabayalah, Soekarno mulai berpolitik. Dan di Bandung, sosok yang dikenal memiliki sembilan istri itu mematangkan pengetahuan politik dan mulai membangun jaringan bersama kaum seperjuangan lainnya. Pada akhirnya, mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927, merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 dan bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. “Bung Karno kembali “tinggal” di Blitar, usai meninggal dunia 21 Juni 1970,” kata Budi (***).