02 May 2011

Kematian yang ditunggu selama 10 tahun itu,..

Tidak terbayangkan, masyarakat bisa begitu gembira saat mendengar kabar kematian Osama Bin Laden. Sayangnya, sorak sorai itu tidak memastikan terorisme akan terhapus di kemudian hari.

01 May 2011

Buruh itu kita, kita itu buruh

Penjara AJI Jakarta, May Day 2011
Kali ini di tahun 2011, May Day kembali diperingati. Untuk kesekian kalinya, jutaan buruh di seluruh dunia turun ke jalan, meneriakkan kenyataan-kenyataan nasib yang belum berubah, tekanan-tekanan yang mereka alami, tidak adanya perhatian dari pemerintah, dan berbagai persoalan lain. Namun sesudahnya, kosong,..

17 March 2011

PKS digoyang 'PKS' dan bom Utan Kayu

Partai Keadilan Sejahtera digoyang 'PKS'. PKS yang kedua ini adalah Perkara Kyai Supendi atau Yusuf Supendi, salah satu dari 52 orang pendiri Partai Keadilan (PK) yang kemudian berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tidak tanggung-tanggung, 'PKS' ini langsung menohok pada Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq. Bagian dari operasi hukuman bagi partai koalisi yang nakal?

26 February 2011

Pertarungan Dua Pendekar Bugis

Dunia persilatan olahraga Indonesia dalam minggu-minggu ini sedang ramai diwarnai pertarungan dua pendekar asal Bugis. Sebut saja dua pendekar itu yakni, Nurdin Kolot dan Andi Kumis (maaf bukan nama sebenarnya). Kedua pendekar ini saling beradu kesaktian mengeluarkan jurus andalan mereka masing-masing untuk membenahi tanah persilatan Sepakbola Indonesia yang sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap sosok pemimpin.

15 February 2011

Wujudkan UU Perlindungan PRT, segera!

Ketika banyak orang, pemimpin, penyelenggara negara, para tokoh bicara keadilan, kesetaraan, demokrasi, bicara hak asasi manusia, orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa menikmati demokrasi dan hak asasi tetapi bisa membuat banyak orang tersebut bicara keadilan, kesetaraan, demokrasi dan hak asasi


Ketika banyak orang, pemimpin, penyelenggara negara, para tokoh bicara kesejahteraan, orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa hidup sehat, sejahtera tetapi bisa membuat banyak orang tersebut bicara kesejateraan dan bisa hidup sejahtera.

Ketika banyak orang, pemimpin, penyelenggara negara, para tokoh bicara pendidikan, orang lupa pada satu kelompok yang tidak bisa mengakses pendidikan tetapi bisa membuat banyak orang tersebut bicara pendidikan dan bisa menikmati pendidikan.

Sekian banyak pemimpin, penyelenggara negara, tokoh, dan sebagian kalayak masyarakat, majikan yang lupa, bahwa ada ”Tokoh di belakang kayar” yaitu pekerja rumah tangga (PRT) yang memungkinkan mereka bisa bekerja.

Berbicara banyak tentang demokrasi, keadilan, kesejahteraan, HAM, perubahan iklim, kesehatan, atas nama rakyat, bekerja dengan profesional, memiliki kesuksesan karir, memiliki keahlian di bidangnya, hidup sejahtera dan juga untuk keluarganya.

Mereka bisa berbicara, berperan, menyelenggarakan segala aktivitas dan aspek kehidupan publik segala sektor penyelenggaraan negara, pendidikan, pengembangan iptek, usaha: industri barang, jasa, hiburan, karena kontribusi besar ekonomi, sosial, waktu dari PRT,

Ironis

Namun demikian, situasi Pekerja Rumah (PRT) Tangga sungguh berbeda, jauh dengan situasi bertema kesetaraan, keadilan, HAM, kesejahteraan. Realitas menunjukkan pelanggaran HAM kerap terjadi pada kawan-kawan yang bekerja sebagai PRT - yang mayoritas adalah perempuan dan anak.

Dimensi pelanggarannya adalah pelanggaran atas hak anak, hak pendidikan, kekerasan dalam berbagai bentuk. PRT ini rentan berbagai kekerasan dari fisik, psikis, ekonomi, sosial. PRT berada dalam situasi hidup dan kerja yang tidak layak, situasi perbudakan.

PRT mengalami pelanggaran hak-haknya: upah yang sangat rendah ataupun tidak dibayar; ditunda pembayarannya; pemotongan semena-mena; tidak ada batasan beban kerja yang jelas dan layak. Semua beban kerja domestik bisa ditimpakan kepada PRT, jam kerja yang panjang: rata-rata di atas 12-16 jam kerja yang beresiko tinggi terhadap kesehatan, nasib tergantung pada kebaikan majikan.

Tidak ada hari libur mingguan, cuti; minim akses bersosialisasi - terisolasi di rumah majikan, rentan akan eksploitasi agen - korban trafficking, tidak ada jaminan sosial, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan, dan PRT migran berada dalam situasi kekuasaan negara lain.

PRT tidak diakui sebagai pekerja, karena pekerjaan rumah tangga tidak dianggap sebagai pekerjaan yang sesungguhnya dan mengalami diskriminasi terhadap mereka sebagai perempuan, pekerja rumah tangga dan anak-anak. Dikotomi antara PRT dengan buruh pada sektor yang lain sering mengakibatkan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif bagi PRT.

Hari PRT

Pada tanggal 15 Februari 2011 ini, Indonesia memperingati Hari PRT yang ke-5, sejak Hari PRT ini dilaunching pada tahun 2007. Hari PRT ini dilatarbelakangi oleh peristiwa penganiyaan terhadap PRT Anak bernama Sunarsih usia 14 tahun yang dianiaya oleh majikannya hingga meninggal pada tahun 2001 di kota Surabaya, dan majikannya berkali 4 melakukan penganiayaan terhadap PRT berbeda-beda pada tahun 1999, 2000, 2001, 2005, namun tak pernah dihukum.

Peringatan ke-5 ini artinya 10 tahun sejak peristiwa Sunarsih, dan di negara kita belum terjadi perubahan apapun dalam perlindungan PRT di Indonesia dan juga PRT Migran. Sebagaimana kita ketahui Indonesia adalah salah negara dengan jumlah PRT terbesar dengan 10 juta PRT lokal dan 6 juta PRT migran.

Selama 10 tahun masih terjadi terus terjadi dan bahkan semakin betambah jumlahnya atas “Sunarsih-Sunarsih” yang lain. 5 tahun dari 2007 sampai dengan 2011, tercatat 726 kasus kekerasan berat terhadap PRT di Indonesia, yang mana 536 kasus upah tak dibayar, 348 diantaranya terjadi pada PRTA, 617 kasus penyekapan, penganiayaan hingga luka berat, dan bahkan meninggal.

Berbagai kasus bisa diketahui setelah ada proses pendampingan, sebagian diketahui dan dilaporkan oleh masyarakat setelah PRT mengalami luka parah. Kasus kekerasan yang terjadi ini adalah kasus kekerasan di samping pelanggaran hak-hak mereka sebagai pekerja, seperti tidakadanya libur mingguan, larangan bersosialisasi, berkumpul, tidak ada kesepakatan yanng jelas, sehingga majikan bisa ingkar janji.

Untuk itu kami:
1. Mendesak DPR, Presiden, Menakertrans untuk segera membahas dan mewujudkan UU PRT di tahun 2011.
2. Mendesak Pemerintah untuk mendukung konvensi kerja layak PRT yang disahkan pada sesi ke-100 sidang perburuhan internasional pada Juni 2011.
3. Mendesak penetapan Hari PRT pada 15 Pebruari dan hari libur PRT.
4. Mendesak pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang perlindungan hak buruh migran dan keluarganya.
5. Mendesak revisi UU no.39 tahun 2004 tentang Penempatan Perlindungan TKI Luar Negeri berdasar Konvensi PBB tahun 1990.

15 Pebruari 2011,

Komite Aksi Pekerja Rumah Tangga
*Pernyataan sikap bersama

10 February 2011

Laporkan kasus "Jarum Suntik Rame-Rame" ke Menkes

Iman D. Nugroho

Kasus jarum suntik rame-rame untuk anak SD, memunculkan kepedulian dari berbagai pihak. Salah satu masukannya adalah melaporkan kejadian itu ke polisi, Dinas Kesehatan Daerah, Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional.


Masukan yang tertuang pada comment link berita Jarum Suntik Rame-rame | klik di sini | di status Facebook penulis itu kebanyakan dari jurnalis dan public relation yang peduli dengan persoalan kesehatan. "Harus diteruskan kepada Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Daerah, dan Departemen Pendidikan Nasional!," tulis LIZ, salah satu kawan penulis.

LIZ bahkan meminta untuk memforward tulisan asli yang dikirim ke penulis untuk diteruskan kepada bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Kementrian Kesehatan RI. Sementara rekan lain, HDL, mengusulkan untuk melaporkan peristiwa ini ke polisi. Selain itu, dia juga mengingatkan filter alat cuci darah yang tidak jelas regulasinya.

"Atau layanan opsional untuk darah yang mau ditransfusikan ke pasien? Sekali lagi, isu menyebalkan. Sehat hanya hak yang berekonomi kuat!" tulisnya.

Senada, rekan DA asal Medan memperkirakan, banyak sekolah yang selama ini telah menjalin kerjasama dengan laboratorium dengan alasan memeriksa sample darah anak-anak sekolah, juga perlu dicermati. "Padahal tujuannya belum tentu jelas untuk apa," katanya sekaligus menduga modus serupa terjadi di Medan, Sumatera Utara.

Satu jarum, rame-rame untuk anak SD?

Tulisan kiriman kawan berinisial NO ini pantas untuk disimak. Dengan terbuka, NO menceritakan tentang adanya beberapa laboratorium di Gresik Jawa Timur yang bersikukuh untuk menggunakan satu jarum suntik untuk lima orang. Ironisnya, jarum suntik itu digunakan untuk mengambil darah anak-anak SD dalam sebuah proses kerjasama pemeriksaan golongan darah.


"Ini ada laboratorium di daerah Gresik yang menawarkan kerjasama dengan sekolah, untuk pemeriksaan golongan darah, namun prosedurnya, pengambilan darah menggunakan satu jarum untuk dipakai sampai lima orang," tulisnya.

Info itu, menurut NO diperoleh setelah dirinya menelepon laboratorium yang dimaksud. NO penasaran. Karena sejauh yang dia tahu, satu jarum suntik hanya diperuntukkan bagi satu orang. Secara terbuka NO juga memberikan nama dokter dan laboratorium itu lengkap dengan alamatnya di Gresik, Jawa Timur.

NO sudah berusaha untuk menyampaikan hal tentang 1 jarum suntik perorang pada laboratorium yang dimaksud, namun justru dibalas dengan makian dan olok-olok. "Dia bahkan mengancam akan memperkarakan ini ke polisi," tulisnya.

NO mendorong siapa saja yang peduli dengan dunia kesehatan untuk melakukan investigasi. Juga kepada Dinas Kesehatan setempat untuk kembali menertibkan penggunaan jarum suntik. Bagaimana dengan dokter anda? Apakah menggunakan jarum suntik dengan cara massal?

Berita terkait:
Usulan dilaporkan ke polisi.

08 February 2011

Benarkan massa penyerangan Ahmadiyah dibayar?

Apakah benar Ahmadiyah melakukan provokasi, sebelum diserang? Apa benar massa dibayar? Berikut ini adalah penuturan salah satu saksi mata dan korban berinisial YA. Kesaksian ini banyak beredar di pesan pendek.


Assalamualaikum. Pertama-tama, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para syuhada. Semoga kalian semua tenang di alam sana. Mohon maaf saya tidak bisa menyelamatkan kalian.

Minggu dini hari, sekitar jam 02.30, kami berangkat dari Serang menuju Pandeglang. Perjalanan cukup jauh, melewati jalanan yang rusak. Saya naik mobil APV, yang disetiri oleh Alm. Chandra, salah satu korban.

Kami tiba di lokasi sekitar pukul 07.00 wib, kami rebahan (di rumah yang diserang) dan disuguhi sarapan. Tiba-tiba sekitar jam 09.30 wib, awalnya banyak polisi yang datang. Setelah itu pergi lagi.

Sekitar pukul 10.00 wib, datanglah massa, entah dari mana. Mereka langsung menyerang. Tidak ada dialog atau mediasi. Mereka mengacungkan senjata tajam dan melempari dengan batu.

Kami coba meredam, tapi serangan dan lemparan terus berlangsung. Kami pun melawan dengan peralatan seadanya. Saya pun ikut. Sampai akhirnya kami mundur. Saya terkena lemparan batu 3 kali lemparan baru. Kepala dan kaki kanan.

Saya bersembunyi di kali, di pinggir semak-semak. Di sana saya mendengar suara saudara kita sedang merintih. Dihajar beberapa orang. Ada salah satu saudara kita yang mencoba menolong, tapi musuh dengan ganasnya terus menghajar dengan kata-kata ,"Modar dia ku aing."

Saudara kita yang lain disuruh berenang, tapi sepertinya tidak bisa berenang. Akhirnya ditarik ke tengah sungai, diselamatkan. Anggota kami yang tidak melawan pun terus jadi amukan.

BAYARAN

Massa yang menyerang dan ternyata bayaran. Penyandang dana nya dari _________ (menyebut pejabat) yang berjanji untuk memberantas Ahmadiyah jika terpilih. Pengumpul massanya adalah _________ (lagi, menyebut pejabat) yang sangat benci pada Ahmadiyah. Menurut warga, selain massa, polisi pun dapat bayaran, supaya mereka tidak menghalangi serangan.

Setelah saya keluar dari persembunyian, saya istirahat di gubuk tengah sawah. Tiba-tiba ada seorang pemuda. Alhamdulillah, ternyata Khudham Cikeusik bernama Mulyadi selamat.

Setelah Mulyadi pergi, saya dibawa oleh seorang athfal bernama Arif ke rumahnya yang terletak di seberang rumah kejadian. Dari rumah itu, saya melihat dengan mata dan kepala sendiri, orang-orang yang menyerang baru pulang dari rumah _________ (menyebut pejabat) sambil membawa amplop cokelat. Mereka salaman dengan polisi sambil tersenyum-senyum.

Pagi-pagi sekali saya pulang ke Serang naik angkutan umum. Di angkutan tersebut, penumpang lain membicarakan tentang penyerangan dan fitnah yang ditujukan pada kita (Ahmadiyah). Kondektur di mobil umum jenis ELF itu mengatakan, kalau dirinya diajak menyerang jemaat, tapi dia nggak ikut.

Penumpang lain menimpali, memukul jemaat akan mendapatkan Rp. 1 juta. Itu juga yang mungkin menjadi pemicu massa untuk membunuh. Sekian dulu, mohon maaf bagi semua anggota jemaat. Mohon do'a juga, masih banyak anggota yang blm diketahui keberadaanya.

07 February 2011

Silakan saling serang, silakan saling bunuh

Oleh: Iman D. Nugroho

Apa yang terjadi di Pandeglang, Banten, Minggu (6/2) adalah sebuah penegasan kondisi termutakhir di Indonesia. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi orang untuk saling serang dan saling membunuh. Silakan,..


Karena keadaan di Indonesia memang sudah tidak lagi bisa dikendalikan. Tidak ada lagi kepastian atas jaminan keamanan di hampir semua bidang kehidupan. Masyarakat seakan hidup di jaman ketika tidak ada aparat keamanan, bahkan tidak ada pemerintahan.

Mari kita tarik kembali hal paling dasar dalam hidup dan berkehidupan di Indonesia. Apa yang menjadi prasyarat utama roda kehidupan di negeri ini. Meski membosankan, Pancasila dan UUD 1945 (dengan empat kali revisinya) terus harus diingatkan.

Dalam konteks kehidupan beragama, sangat mudah menemukan sandaran kehidupan beragama dalam kedua kitab berbangsa itu. Agama apapun, asalkan mengakui ber-Tuhan satu, bebas hidup di Indonesia. Itu jelas termaktub dalam konstitusi kita.

Karena itulah, sangat mengherankan bila Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang justru mengaku mengakui Pancasila dan UUD 45, mengkotak-kotakkan agama. Bodohnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri yang juga mengakui Pancasila dan UUD 45 pun melakukan hal yang sama.

Memang, SKB yang banyak diberitakan dalam konteks ini adalah SKB untuk Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JMI). Secara kenegaraan, SKB dan keputusan MUI yang membuat publik seakan menjadi 'sah' untuk melihat Ahmadiyah dengan lebih rendah.

Baiklah. Negara yang secara tidak langsung menyuruh kita untuk saling serang dan saling bunuh. Di mata saya, justru MUI dan SKB dua menteri itu yang menyesatkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Negara membuka ruang untuk saling serang dan saling bunuh.

06 February 2011

Ayo siap-siap untuk mati mendadak,..

Oleh: Iman D. Nugroho

Apa yang dialami Adjie Massaid, meninggal mendadak, jelas bisa menimpa siapa saja. Umur, adalah sesuatu yang misterius. Sudah siapkah kita meninggal mendadak?


Secara pribadi, kita harus berpikir untuk mati kapan saja, di mana saja, dalam situasi apa saja. Coba kita lihat lagi, apa yang membuat kita tidak bisa mati kapan saja. Rumah tempat kita hidup, berada di tanah Indonesia yang terletak di ring of fire gunung berapi.

Jajaran gunung berapi itu membentang, dan memutari kita dari Aceh sampai Papua. Dan secara geografis, kita juga berada di patahan bumi. Bila patahan itu bergeser, akan menyebabkan tsunami. Ingat tsunami Aceh yang menyebabkan 150 ribu orang meninggal dunia.

Untuk yang hidup di kota besar, kemungkinan untuk mati mendadak sangat besar. Kecelakaan kendaraan bermotor menjadi salah satu penyebab terbesar. Taruhlah kata, anda pemakai kendaraan umum. Angkutan kota, bus umum, ojek dll. Apakah tidak ada kemungkinan kecelakaan? Dengan budaya berkendara yang ada di Indonesia?

Kalau kita berhati-hati, dala mengendarai kendaraan pribadi, bagaimana dengan orang lain? Apakah mereka berhati-hati juga? Belum lagi soal serangan jantung.

Nah, tidak ada salahnya kita mempersiapkan diri bila kita mati mendadak. Bagi saya, yang paling utama adalah mempersiapkan orang terdekat kita. Keluarga, pasangan, teman-teman dll. Janganlah tabu membicarakan kemungkinan mati mendadak dengan mereka.

Kata kuncinya hanya satu, orang-orang terdekat itu sudah siap bila kita tinggal sewaktu-waktu (baca: mendadak). Secara psikologi dan ekonomi. Dua hal itu paling penting. Setidaknya, ketika kita mati mendadak, orang terdekat sudah siap menghadapinya.

Setelah itu, mereka masih bisa "hidup". Tidak untuk selamanya, tentu, namun untuk mempersiapkan mereka bangkit kembali secara ekonomi, dan melanjutkan hidup mereka.

Satu lagi. Ini sangat personal. Yakni, kehidupan setelah kita mati. Untuk anda yang beragama, dan yakin dengan agama anda, tak ada salahnya untuk well,..mengingat lagi jalan hidup yang diajarkan agama anda.

Dan untuk yang tidak beragama, setidaknya, tetap punya ukuran-ukuran menjadi orang baik.

Selamat "bersiap-siap"!

18 January 2011

Mengapa tidak boleh beritakan sakitnya Menkes?

Oleh: Iman D. Nugroho

Sakit kanker paru-paru Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih tiba-tiba menjadi penting. Dengan alasan etika, pengungkapan sakitnya Menkes oleh media massa, justru menempatkan media sebagai pihak yang bersalah. Mengapa ini tidak berlaku untuk orang lain?


Ketika mantan Presiden RI alm. Soeharto sakit misalnya. Koran Tempo menuliskan dalam laporannya | Silahkan klik di sini | Sama halnya dengan Kompas yang menyajikan sakitnya Soeharto sebagai pemberitaan pada 6 Januari 2008. Seingat saya, mayoritas orang menganggap pemberitaan itu hal yang wajar. Orang yang mengingatkan media untuk tidak mempolitisasi sakitnya soeharto, justru dipandang miring dan dicibir sebagai kroni.

Berangkat dari pemberitaan sakitnya Soeharto itulah, orang kemudian membanding-bandingkan penanganan Soeharto dan Soekarno dalam keadaan sakit. Ada aroma ketidakadilan. Mengapa Soeharto bisa diperlakukan istimewa di RSPP, Jakarta, dengan keluarganya mengelilingi, sementara Soekarno dibiarkan sendiri. Pihak keluarga yang ingin mendekat pun tidak boleh.

Komentar tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja di Kompas.com menarik untuk disimak. Atma justru memandang pemberitaan sakitnya Soeharto adalah hal yang baik dalam hal pemenuhan informasi masyarakat. Apalagi, saat Soekarno sakit pada bulan Juni 1970, media sangat susah mendapatkan keterangan.

Harian Indonesia Raya, kenang Atma, memberitakan tentang sakit Soekarno pada edisi 18 Juni 1970, dengan judul "Soekarno Sakit Keras." Pemberitaan terus dilakukan hingga Soekarno wafat pada tanggal 22 Juni 1970.

ETIKA DOKTER

Dalam sebuah wawancara dengan Menkes Endang, tertangkap kesan penyayangan pengungkapan penyakitnya. Apalagi, tanpa persetujuan darinya. Sikap ini mengingatkan kembali Pasal 12 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang tertulis: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. | Kode Etik selengkapnya |

Memang, dalam pasal itu, dokter yang disebut-sebut telah 'membocorkan' penyakit Menkes Endang, bisa dinilai bersalah. Tapi, jangan lupakan Pasal 8 dalam kode etik yang sama. Tertulis: Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Nah! Bagaimana bila kepentingan masyarakat (yang lebih luas) yang menjadi dasar pembocoran penyakit itu. Karena dalam sengketa pembocoran penyakit Menkes Endang, ada kepentingan masyarakat yang sudah tercederai. Coba search di internat perihal pemberitaan sakitnya Menkes Endang.

Disebutkan, kanker paru-paru Menkes Endang tidak terdeteksi saat pertama kali diperiksa dokter saat pencalonannya sebagai Menteri Kesehatan. Benarkah? Hanya Menkes Endang dan dokter pemeriksanya yang tahu. Yang pasti, ketika penyakit itu dinilai sudah semakin 'mengganggu', proses penyembuhan sudah dilakukan. Sampai harus ke China untuk mencari pengobatan.

Apakah ada pengakuan dari Menkes Endang sendiri soal sakitnya? Tidak. Boleh-boleh saja dia tidak mengungkapkan. Apalagi, dia merasa mampu terus beraktivitas sebagai Menteri Kesehatan RI. Tapi jangan lupa, itu adalah keputusan subyektif Menkes Endang. Namun sebagai pertanggungjawaban moralnya pada masyarakat yang mempercayakan persoalan kesehatan padanya, apakah tidak lebih pas bila Menkes Endang mengungkapkannya.

Jadi siapa yang lebih memiliki 'bobot' kesalahan. Dokter yang merasa bertanggungjawab pada masyarakat, atau Menkes Endang yang menutupinya dari masyarakat?

14 January 2011

SBY ke Sidoarjo tapi tidak ke Porong

OLeh: Iman D. Nugroho

Geli rasanya membaca berita Presiden SBY yang akan mencanangkan Gerakan Nasional Menghadapi Anomali Perubahan Iklim Indonesia di Sidoarjo, Jawa Timur. SBY sepertinya lupa, di kabupaten yang sama, ada semburan lumpur Lapindo yang belum tuntas diselesaikan.


Semoga saja, bila SBY mendatangi lokasi pencanangan, Jumat (14/1) ini dengan menggunakan helikopter, maka dia akan ingat kejadian beberapa tahun lalu, ketika melintas di atas main hole lumpur Lapindo. Ketika itu, masyarakat yang sudah menunggunya di lokasi semburan harus kecewa, karena SBY tidak turun ke lokasi lumpur.

Bahaya? Mungkin saja lokasi semburan itu berbahaya bagi seorang presiden. Bagaimana dengan masyarakat yang berkehidupan di sekitar lokasi semburan? Apakah SBY tidak pernah berpikir bahwa ribuan orang itu juga diambang bahaya? Jelasnya, tidak. Kalau SBY berpikir, hausnya persoalan semburan Lumpur Lapindo diselesaikan segera.

Kalah di MA

Seorang kawan memberi tahu, kasus lumpur Lapindo sudah "berakhir" kasusnya, ketika MA menyatakan gugatan hukum NGO lingkungan Walhi dkk kalah di Mahkamah Agung (MA). Itu sangat menyakitkan. Akibatnya, perjuangan dari sisi hukum patahlah sudah. Lalu apa yang harus dilakukan?

Pemerintah, bila memang mau, masih bisa kembali menempatkan kasus lumpur Lapindo sebagai prioritas, selama lumpur itu masih menyembur. Dengan tanpa henti mengupayakan secara maksimal proses teknis penutupannya. Tapi yang terjadi tidak demikian. Lumpur Lapindo dibiarkan saja, sampai waktu melupakannya.

Pemerintah yang abai, tidak harus membuat masyarakat abai juga. Mari terus mengingatkan kasus lumpur Lapindo masih ada. Jutaan kubik lumpur masih menyembur dari sumur yang digali oleh Lapindo Brantas Inc.

12 January 2011

Karena pemerintah memang tak ingin BPJS ada

Oleh: Iman D. Nugroho

Dalam sebuah wawancara dengan anggota Panitia Khusus (Pansus) Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) dari FPDIP Surya Chandra untuk Jurnalparlemen.com, sempat terungkap bahwa Menkeu Keuangan Agus Marto memang tidak ingin merealisasikan RUU BPJS.


Kepada peneliti NGO GTZ Menkeu mengatakan, secara hitung-hitungan fikalnya, tidak memungkinkan BPJS direalisasikan. Uniknya, dalam pembicaraan Pansus BPJS dengan empat ahli hukum dan ketatanegaraan pun, muncul kesimpulan yang sama: pemerintah tidak rela BPJS ini ada. The big question is WHY?

Dalam sebuah rapat dengat pendapat dengan beberapa ahli, salah satunya Anggito Abimanyu, alasan fiskal itu tidak beralasan. Coba buka link ini. Artinya, Anggito yang juga mantan Wakil Menteri Keuangan itu justru tidak habis pikir, mengapa sampai urusan fiskal dipersoalkan pemerintah.

Padahal, BPJS yang bila terealisasi akan sangat membantu masyarakat karena bisa menjadi asuransi kesehatan hingga pensiun untuk seluruh rakyat Indonesia, adalah badan yang menguntungkan dan tidak membebani pemerintah.

Ujungnya Duit

Saya menduga, seperti biasanya, ujung-ujung dari persoalan ini adalah duit. Ketidakmauan itu didasari oleh kemungkinan hilangnya pendapatan pemerintah dari empat BUMN Asuransi, Jamsostek, Askes, Taspen dan Asabri. Sampai saat ini, uang yang ngendon di tiga BUMN ini trilyunan rupiah.

Baik pengelola empat BUMN itu, atau pun orang-orang lingkaran tertentu yang terpercik dananya, tidak rela bila benefit dari BUMN itu berhenti begitu saja. Apalagi selama ini, pengelolaan dana itu tidak betul-betul transparan. Lihat saja, setidaknya lebih dari Rp.40 triliun dana Jamsostek yang seharusnya dikembalikan ke pekerja (nasabah Jamsostek) yang tidak dibayarkan ke pekerja.

Saya juga menilai, penolakan terkait dengan gelombang isu international yang menilai BPJS sebagai produk berwarna "kekiri-kirian" yang tidak senapas dengan Pemerintah RI yang katanya Pancasilais dan "bukan kiri". Penolakan yang sama juga ditunjukkan masyarakat AS ketika Presiden Obama ingin menambah anggaran asuransi kesehatan di AS.

Karena itulah, lembaga keuangan international seperti World Bank atau IMF, tidak pernah menjadikan BPJS sebagai salah satu hal yang harus diprioritaskan. Keuntungan BPJS memang untuk rakyat, bukan untuk lembaga funding itu. Sayang, Pemerintah RI lebih tunduk pada agenda lembaga funding internasional, ketimbang menyejahterakan rakyat.

Fakta, masih tidak ada keadilan

Oleh Welhelmus Poek.

“Kalau ada masyarakat pencuri telur ayam, biar tidak ada bukti, asalkan sudah dilaporkan polisi, pasti dibekuk dan ditahan. Tapi kalau ‘orang besar’ korupsi uang Negara, biar sudah ada banyak bukti masih putar sana putar sini cari jalan agar kasusnya mengendap,”


Pikiran semacam itu masih ada di masyarakat. Karena memang benar, saat ini, hampir semua warung kopi dijajani menu tambahan; ‘debat kusir’ peliknya persoalan hukum. Sebenarnya apa yang terjadi dengan system penyelengaraan pemerintahan kita?

Bukankah Pemerintah memiliki kewajiban utama dalam memenuhi hak-hak warganya dengan menciptakan sebuah system pemerintahan yang baik? Tapi mengapa sampai saat ini masih ada ketidakpuasan? Apa yang dilakukan pemerintah saat ini belum memenuhi fungsinya.

Sangat rumit mengungkap satu persatu masalah yang ada, apalagi memastikan siapa yang salah siapa yang benar. Atau siapa yang diam siapa yang bekerja, siapa yang diatur siapa yang mengatur, siapa yang ‘diamankan' siapa yang 'mengamankan’. Termasuk siapa yang diprioritaskan siapa yang dikesampingkan dan lain sebagainya.

Fakta sudah berkata demikian. Alih-alih mengklaim menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, padahal ada juga niat membuat masyarakat yang tidak berdaya menjadi lebih sekarat.

Perubahan

Kepada siapa dan apa yang harus kita tuntut untuk sebuah perubahan? Hukum yang berlaku di Negara ini jelas-jelas sudah menekankan bahwa Pemerintah bertanggungjawab penuh dan memiliki kepentingan sebagai pemangku kewajiban utama dalam memenuhi hak-hak warganya. Artinya, jelas bahwa siapa yang kita tuntut adalah Penyelenggara Negara dalam hal ini pemerintah.

Ketidakharmonisan instrument hukum yang ada di Negara kita, menjadi salah satu penyebab peliknya persoalan yang kita hadapi. Banyak fakta di lapangan yang bisa kita pertanggungjawabkan atas gagalnya instrument hukum yang pro rakyat. Terutama rakyat kecil.

Saya tidak menyangkal bahwa ada penyelenggara Negara yang juga menjadi bagian dari ‘penegasan’ pemberlakuan hukum yang ada. Mereka ditahan, dipecat dan sebagainya. Ada pula yang ditahan tidak lama kemudian dibebaskan.

Hal ini tidak sebanding dengan yang menjadi ‘korban’ masyarakat ‘kecil’ yang bukan berkuasa. Sekali masuk dalam jeratan hukum, tuntutan tertinggi dari aturan yang berlaku menjadi santapan umum mereka, tidak dibela malah ditindas.

Staf Dikorbankan

Persoalan lain yang agak aneh penegakkan hukumnya, adalah ketika seorang staf diduga menyalahgunakan wewenangnya dan menyebabkan kerugian baik materi maupun non materi, akan dituntut dan diproses. Tapi tidak berlaku bagi seorang pejabat yang akan selalu dilindungi perbuatannya. Staf tersebut dikorbankan.

Tidak heran jika, istilah cicak buaya, ikan teri ikan kakap, ikan paus, ikan hiu dan istilah-istilah lainnya menjadi cermin bagi kita bahwa hukum kita masih memihak pada orang yang berkuasa, apalagi pejabat Negara.

Saya sebagai bagian dari masyarakat yang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya, merasa pesimis dengan tata kelola pemerintahan yang ada, jika tidak ditunjang dengan upaya pemerintah melakukan harmonisasi UU agar memenuhi kewajibannya, memenuhi hak-hak warga Negara dan menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik.

11 January 2011

Gayus dan gedung baru DPR yang paling porno

Oleh Iman D. Nugroho

Tulisan ini terilhami twit bos Detikcom @budionodarsono. Dalam ocehannya, Budiono mempertanyakan hal yang membuat rakyat sengsara. Apakah pornografi, atau korupsi. Entah mengapa, tiba-tiba terbayang sosok koruptor pajak Gayus Tambunan dan gedung baru DPR.


Bagiku, Gayus dan gedung baru DPR itu adalah dua hal paling porno belakangan ini. Karena, dalam dua kasus itu terpampang dengan jelas hal yang paling memalukan untuk negeri ini. Simak saja.

Kalau Gayus adalah pejabat pajak yang korup dan suka memainkan pajak perusahaan besar, semua orang sudah tahu. Eh, orang yang sama ini juga yang secara terang-terangan menyuap polisi dan bisa melenggang ke Bali dan Makau. Bila hukum adalah "alat vital" Indonesia, justru hal itu tidak dihormati oleh gayus. Kevitalannya tidak dihargai.

Dilecehkan, dipermainkan dan ditunjukkan keburukannya. Apa sebutan paling pas untuk orang yang tidak menghargai "alat vital", selain porno? Yup! Apa yang dilakukan Gayus adalah kepornoan.

Partner porno Gayus salah satunya ya polisi. Tidak semuakan? Jelas! Seperti juga bintang porno lain, Gayus pun hanya mengajak orang tertentu untuk berporno ria. Tidak hanya polisi, pengusaha yang enggan membayar pajak juga partner kepornoannya.

Dewan Porno, Rek!
Nah, yang kedua, gedung baru DPR, juga tidak kalah porno. Ini gedung akan dibangun ketika rakyat sedang susah. Susah cari makan, harga cabe Rp.100 ribu/kg, premium akan dilarang untuk motor, sekolah mahal, dll. Soal biaya, porno banget! Untuk konsultan pembangunan gedungnya saja, memakan biaya Rp. 1,8 miliar.

Kata Ketua DPR dari Partai Demokrat Marzuki Alie dan wakilnya dari PKS, Anis Matta, seluruh fraksi di DPR sudah setuju dengan rencana pembangunan gedung 37 lantai itu. Konon, katanya ada kolam renang dan sauna, meski belakangan hal itu dibantah habis. Hebatnya, pemerintah juga ikut-ikutan berpornoria dengan menyetujui anggaran pembangunan gedung porno itu.

Kembali ke pertanyaan Budiono Darsono. Jawaban saya ketika itu: Prilaku koruptif yang porno!

08 January 2011

Istri Pram dan jalan hidup yang sepi

Oleh: Iman D. Nugroho

Meninggalnya istri pujangga Pramoedya Ananta Toer, Hj Muthmainah Thamrin, Sabtu (8/1) ini di usia 82, mengingatkan kembali tentang kehebatnya sosok seorang istri. Apalagi, istri dari suami yang memilih untuk konsisten di jalan sunyi, jalan seorang pejuang.


Siapa tak kenal Pramudya Ananta Toer? Penulis puluhan buku yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa itu memang tidak hanya dikenal di Indonesia, melainkan juga di luar negeri. Sosoknya menjadi salah satu tokoh gerakan kiri dunia, setelah keterlibatannya dalam Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), underbow dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tapi, orang-orang yang mengenal Pram, mungkin tidak semua mengenal Muthmainah Thamrin, istrinya. Bukan hal yang aneh, karena Muthmainah yang meninggal Sabtu ini, bukanlah orang yang ikut dalam aktivitas politik dan kesenian Pram. Atau, mungkin saja Muthmainah terlibat secara tidak langsung, namun sejarah tidak pernah mencatatnya.

Bagaimana pun peran Maemunah semasa hidup, namun sosoknya terbukti mewarnai kehidupan pujangga besar itu. Meski tidak banyak juga yang bisa menceritakan sosoknya. Situs Ensiklopedia Bebas Wikipedia dalam halaman Pram pun, yang biasanya lengkap dengan data-data pribadi, hanya memajang foto Muthmainah, tanpa menjelaskan lebih detail soal itu.

Sandaran

Coba baca lagi kehidupan Pram, yang pernah melampaui tiga tahun masa penahanan di masa kolonial, 1 tahun di masa Orde Lama dan 14 tahun di masa Orde Baru. Apakah kita bisa membayangkan, bagaimana kehidupan keluarga Pram selama itu?

Apakah mereka happy-happy? Bisa berbisnis dan jadi jutawan? Naik haji setiap tahun? Berpendidikan dengan mudah karena uang berlimpah? Dll? Tidak. Keluarga Pram sepertinya lebih tepat disebut menengah yang cenderung ke bawah. Itu bila urusan ekonomi.

Bagaimana dengan urusan sosial politik keluarganya. Bukan hal baru, untuk keluarga narapidana politik (Napol), hidup mereka sengat sengsara. Tidak hanya bicara soal keinginan jadi ABRI/TNI atau PNS, cita-cita tinggi lainnya pun begitu susah diraih. Lalu, apa yang dirasakan istrinya?

Melihat sang suami dipenjara, anak-anaknya dikucilkan oleh kehidupan sosial dan bayangan muram masa depan. Hanya perempuan-perempuan berhati baja yang bisa hidup dalam keadaan seperti itu. Memperkaya hatinya selama hidup, dan diam dikagumi ketika sudah meninggal dunia. Meski sejarah tidak pernah hingar bingar mencatat namanya.

Tuhan pasti sedang mendekapnya, kini,..

05 January 2011

Untuk Bu Ani yang (katanya) Nyapres

Iman D. Nugroho | Bu Ani, penting rasanya bagi saya untuk berkirim surat secara terbuka, untuk berbicara tentang kabar yang menyebutkan sampeyan akan dicalonpresidenkan. Surat ini tidak penting, tapi mungkin sampeyan perlukan, bila benar-benar setuju dengan usulan pencalonan itu. Monggo dibaca, bu,..


Bu Kristiani Herrawati atau Bu Ani, kita beberapa kali sempat "berdekatan", ketika kebetulan saya ada di lokasi saat sampeyan ada di samping Pak SBY, atau sendirian melakukan kunjungan. Yang terakhir, waktu di Stadion Maguwoharjo, saat sampeyan mengunjungi pengungsi Gunung Merapi.

Jauh ke belakang, ketika suami sampeyan akan kampanye Partai Demokrat pertama kali di Banyuwangi, Jawa Timur, saya juga ada di sana. Juga ketika sampeyan mengunjungi rumah Ibu Tiri SBY di Blitar, Jawa Timur. Saya terhimpit-himpit ribuan orang di pintu masuk. Ingat? Jelas tidak. Memang saya tidak segitu penting untuk diingat.

Calon Presiden

Tapi its fine (meniru suami sampeyan yang suka mengutip bahasa Inggris). Langsung soal usulan pencalonan sampeyan jadi presiden. Sampeyan jelas tahu soal itu. Kalau tidak salah, salah satu fungsionaris Partai Demokrat Ruhut Sitompul yang mengatakan itu pertama kali. Memang, usulan itu hak, dan hak sampeyan juga kalau menyetujuinya.

Tapi, nggak tahu ya bu, sepertinya usulan itu kok gimanaaa,.. gitu. Ada yang tidak pas. Kalau orang Jawa Timur bilang, seperti menggung-gung. Sulit untuk mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia atau Cinglish (Cikeas English)-nya. Saya yakin, sampeyan tahu apa yang saya maksud.

Ini bukan meremehkan, atau menghina. Untuk perempuan dewasa yang lahir di Yogyakarta,
6 Juli 1952 lalu, sampeyan pasti bisa merasakannya. Apalagi, sampeyan juga cukup mendapatkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI), meski nggak lulus. Dan lanjut ke Universitas Merdeka dan jadi sarjana ilmu politik. Pasti paham apa yang saya katakan.

Nah, karena digung-gung itu, saya khawatir sampeyan justru akan menemukan kesulitan- kesulitan baru bila benar-benar maju sebagai calon Presiden RI. Apakah sampeyan pernah berpikir, usulan pencalonan itu justru upaya pembunuhan karakter?

Usul

Nah, usul saja. Pertama, bilang sama orang yang mengusulkan sampeyan jadi calon presiden itu agar tidak melanjutkan berkoar-koar. Karena efek ke depannya, bisa sangat menyakitkan. Bayangkan, bila sampeyan maju, habis uang banyak (meski bukan uang sendiri), bangun jaringan, dll, tapi akhirnya gagal! Sampeyan akan kehilangan kesempatan lagi.

Kedua, kalau memang benar-benar ingin jadi presiden, dari sekarang, tunjukkan pada rakyat kalau sampeyan bisa. Berkegiatanlah! Bukan cuma ikut suami sampeyan dan memanfaatkan fasilitasnya, namun, bangunlah civil society melalui LSM, NGO atau organisasi-organisasi lain.

Ketiga, sering-seringlah bercermin. Dan melihat kenyataan busuk di sekitar sampeyan. Misalnya soal korupsi Bank Century. Bisakah sampeyan mendorong suami sampeyan untuk serius tangani kasus itu? Atau soal lumpur Lapindo. Dorong dong penyelesaiannya! Bila dua hal itu bisa ditangani, saya yang akan mendeklarasikan diri menjadi pendukung pencapresan sampeyan.

Saya tunggu responnya,..

*foto ibukitakartini.com

31 December 2010

Tidak perlu catatan akhir tahun

Iman D. Nugroho | Sungguh, negeri ini tidak memerlukan catatan akhir tahun. Semua tetap sama. Masih ada korupsi, masih wartawan mati, masih ada orang miskin, masih ada pelarangan beribadah dan berjuta kesedihan yang bisa diungkapkan. Catatan yang sama setiap tahun berganti.


Lalu, untuk apa bertahun baru? Agar bisa memperbaiki, katanya.Itulah pokok persoalannya, namun tetap saja tidak bisa (atau tidak mau?) mengubahnya. Cobalah search harapan pergantian tahun yang terjadi saat Soekarno berkuasa. Atau ketika Soeharto mencengkeramkan kuku Orde Barunya.

Lirik juga jaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan tentu saja, Susilo Bambang Yudhoyono. Hampir pasti, harapan tumpah ruah dalam pergantian tahun. Tapi, siapa saja bisa berharap dan bagaimana mewujudkan harapan itu, menjadi tanya yang tidak terjawab.

Si miskin ingin memperbaiki nasibnya, tapi si kaya menghalangi. Penganut agama minoritas ingin bisa bebas beribadah, tapi yang mayoritas kerap kali menekannya. Korban pelanggaran HAM ingin keadilan ditegakkan, tapi pemangku keadilan menepisnya. Semua seperti berulang dan kembali diharapkan dari tahun ke tahun.

Lalu, untuk apa bertahun baru? Apatis. Tentu saja tidak. Tulisan ini bukan sikap apatisme. Namun sebuah dorongan untuk evaluasi dan menemukan solusi cerdas akan semuanya. Tentu saja, tidak mudah. Karena memang kemudahan sepertinya dihapus dari jalan hidup orang-orang kalah. Sayangnya, orang-orang kalah itu bukan 'kita'.

Kita tidak butuh catatan akhir tahun. Kita butuh solusi di setiap tahun.

23 December 2010

Bagaimana bila Indonesia kalah?

Febe Oktriviana | Antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola, memang sangat luar biasa. Terbukti, dari kapasitas Gelora Bung Karno yang hanya 88.000 penonton, membeludak hingga ratusan ribu orang. Bahkan banyak di antara mereka yang sampai tidak kebagian tiket. Bagaimana bila tim Indonesia kalah?


Persepakbolaan Indonesia sedang terpuruk. Itulah kalimat yang pernah kita dengar beberapa waktu yang lalu. Saat di mana persepakbolaan Indonesia hanya dipandang sebelah mata, karena banyaknya kasus yang melibatkan pelaku-pelaku persepakbolaan Indonesia. Bahkan banyak klub sepakbola di Indonesia, sempat mengalami degradasi karena “salah asuhan”.

Tidak hanya itu, klub sepak bola Indonesia sepertinya porak poranda tercoreng aksi pendukungnya yang anarkis. Padahal tidak semuanya seperti itu. Hanya beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab, yang menyebutkan dirinya para Bonekmania yang disebut-sebut sering berbuah ulah.

Dan parahnya lagi, beberapa media seringkali menayangkan dan memberitakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan buruknya dunia persepekbolaan Indonesia di samping beberapa prestasi yang diukir oleh beberapa klubnya.

Tak ayal, kaum awam memandang persepakbolaan Indonesia, sarat dengan kekerasan dan tidak memiliki nilai sportifitas tinggi seperti yang dilakukan di negeri orang.

TIBA-TIBA JAGOAN

Keadaan berbalik. Persepakbolaan Indonesia melesat ke puncak, setelah timnas Indonesia berhasil mengalahkan beberapa negara seberang. Thailand dilibas 2-1, Malaysia ditekuk 5-1 dan Filipina, dikandaskan di semifinal dengan skor 1-0.

Hal ini rupanya menumbuhkan kebanggaan dan antusiasme di setiap lapisan masyarakat Indonesia. Terbukti, pada malam sebelum semifinal antara Indonesia dan Filipina, media massa seolah berlomba memberitakan tentang massa yang mengamuk karena tiket habis.

Bahkan, dalam program Liputan 6 SCTV, salah seorang pendukung timnas Indonesia sempat menyatakan kekecewaannya karena ia datang jauh dari Surabaya hanya demi memperoleh tiket itu, tapi ternyata tiketnya sudah habis.

Pertanyaannya, bagaimana bila seandainya Indonesia kalah menghadapi Malaysia? Apakah rasa nasionalisme itu masih ada?

22 December 2010

Yesus, Natal dan ketidakwajiban merayakannya

oleh Iman D. Nugroho | Sore yang sempurna. Tiba-tiba, seorang kawan baik bersedia diajak bicara soal Natal. Hari Raya umat Kristiani yang sebentar lagi, kebanyakan, dirayakan pada 25 Desember. "Tapi di al Kitab, justru momentum kelahiran itu tidak wajib dirayakan," kata kawan yang juga Kristiani ini. Kok?


Memang seperti itu. Al Kitab, tepatnya dalam ayat Perjamuan Kudus tertulis, kewajiban untuk mengenang hari kematian dan kebangkitan Yesus. Meski pun, dalam al Kitab, kelahiran sosok yang dipercaya sebagai "Juru Selamat" itu dijelaskan di tiga kitab besar, Kitab Matius, Markus dan Lukas.

Begitu juga di Kitab Kejadian sampai Kitab Maliaki. "Namun, dalam hal pengistimewaan dan kewajiban untuk mengenang, kematian dan kebangkitan lebih diistimewakan," kata kawan ini. Bisa jadi, hal 'kapan' Yesus dilahirkan pun, beragam pemahamannya.

Pertama, adalah kemunculan tanggal 25 Desember. Benarkah Yesus lahir di tanggal itu? Bukankah kelahiran Yesus itu menjadi awal dimulainya penanggalan Masehi?

Ada umat Kristiani yang percaya, kemunculan tanggal 25 Desember tidak lepas dari budaya umat Yahudi, yang mengabarkan kelahiran seorang anak, tujuh hari setelah dia dilahirkan. Karena itulah, Yusuf, ayah Yesus, mengabarkan secara "resmi" kelahiran Yesus, tujuh hari setelah 25 Desember. Tanggal 1 bulan 1 tahun 1.

Ada juga yang menilai, 25 Desember itu muncul, bersamaan ketika Kaisar Romawi, Kaisar Agustus melakukan sensus. "Dan itu dilakukan pada bulan Desember," kata kawan ini. Tapi, ada juga yang meyakini, kelahiran itu pada bulan Januari. Uniknya, ada keyakinan lain yang berkembang.

"Kelahiran Yesus dipercaya terjadi pada bulan April. Konon, teori ini berkembang setelah menghitung mundur hitungan tahun Masehi, berdasarkan penghitungan Matahari."

Bagaimana dengan Natal yang kebarat-baratan? Secara logika, Yesus lahir di Jerusalem. Dan itu jelas tidak bersalju. Perkembangan Kristen di barat, tidak bisa dilepaskan sebagai sebabnya. Menarik lagi perjalanan Kristen ke belakang, justru murid Yesus, tidak hanya ke-12 muridnya, tapi juga murid-murid "turunan" ke-12 orang itu, ditolah di Romawi.

Lihat saja, gereja pertama ada di Antiokia, sebuah tempat di Asia Kecil, dekat dengan Yunani. Hingga pada puncaknya, Kaisar Romawi, Kaisar Octavianus, menjadi Kristen. Dan terus berkembang di negara barat. Dan, negara barat pun menciptakan produk-produk Natal versi mereka.

"Hanya salib dan bintang, dua hal yang dijelaskan di al Kitab. Selebihnya itu tidak ada. Di Afrika saja, Yesus-nya orang Afrika"

Tulisan Natal Iddaily.net.
1. Gereja Bahasa Madura
2. Damai Natal lumpur Lapindo


*punya tulisan/foto/video Natal, kirim untuk dimuat ke iddaily@yahoo.com.