10 October 2009

[Sebuah Cerpen] Kangen

Senja Medinah

Aku memperhatikan gerak-gerik perempuan berusia 50 tahun itu. Berjarak 30 meter dari tempatnya berdiri saat ini. Ia mematung di bawah pohon akasia yang terletak di depan sebuah universitas swasta, kota pendidikan. Rambutnya yang telah berwarna kelabu menari mengikuti arah angin yang menyapu wajahnya dari arah kiri. Diikuti guguran dedaun dari pucuk-pucuk pohon yang bergoyang-goyang searah. Ia merapatkan tais di ujung lehernya. Sebuah angkot berwarna biru sempat menghalangi pandangku.


Udara memang sangat dingin saat memasuki musim peralihan seperti saat ini. Angin bahkan lebih kencang berhembus akibat elnino, di bulan ini. Setidaknya, begitu yang dikatakan tivi dan beberapa media massa yang kubaca belakangan. Ah, tak sampai hati melihatnya yang sama sekali tak memakai baju rangkap. Ingin sekali aku menghampirinya dan menyorongkan jaket yang kukenakan. Saat kulihat kembali, seorang mahasiswi berpenampilan eksentris tak sengaja menyenggol pundaknya. Ia tak peduli.

Harusnya aku menangkapnya. Memasukkannya ke dalam mobil ambulance yang kubawa dan mengembalikannya ke kamar pengap zal RSJ. Penjara kesadaran yang telah ditinggalinya selama 22 tahun lebih. Tapi aku tak hendak melakukannya, meski aku terancam dipecat jika ketahuan melakukannya. Akan diberi catatan hitam tentang pelanggaran kode etik dan beberapa hukuman lainnya. Ah, aku tak peduli. Sebab aku merasa, tempatnya memang bukan di zal batu itu.

Ia tetap memandang sebuah hotel mewah yang terletak persis di seberang jalan tempatnya berdiri. Hotel asri yang dikelilingi banyak pohon palm di depannya. Tak jelas benar bergaya apa bangunan itu. Ia hanya serupa bangunan megah yang berdiri angkuh menantang gedung universitas berkubah serupa masjid. Mata senjanya begitu sayu. Sedikit berair ku kira. Beberapa kali ku lihat ia mengerjap. Entah apa yang akan dilakukannya. Sedikit kekhawatiran muncul, ia akan melakukan tindakan lebih dari 22 tahun yang lalu. Tindakan yang membuatnya harus terkungkung di penjara kesadaran.

Ia adalah pasien pertamaku. Saat menjadi dokter muda, 22 tahun yang lalu. Pasien pertama yang membuatku iba untuk tidak membiarkannya sendiri. Pasien pertama yang membuatku ingin tetap memperhatikan perkembangannya. Pasien pertama yang membuatku jatuh cinta pada ilmu kejiwaan. Pasien pertama yang membuatku berfikir ulang tentang keberatanku ditempatkan di rumah sakit kecil kota kedua propinsi ini. Sekaligus pasien pertama yang membuatku mengerti perbedaan antara pura-pura gila, pura-pura waras dan pura-pura lainya. Di satu titik, analisaku mengatakan jika Ia adalah orang waras yang hanya ingin menumpahkan kemarahannya secara berlebihan.

Lebih dari 22 tahun yang lalu. Aku mendapatinya dikerangkeng di ruang gelap. Tersungkur mencium lutut di sudut ruangan tanpa penerangan dan sedikit ventilasi. Dua kali tiga yang begitu dibenci oleh penghuni zal. Pengasingan di mana beberapa tahun kemudian justru menjadi tempat favoritnya saat ia ingin “menenangkan” diri.

Aku melihat catatan kesehatannya, secara fisik maupun kejiwaan. Dan alasan mengapa ia dibawa ke tempat untuk jiwa-jiwa yang sakit ini. Mencengangkan. Ia membakar sebuah hotel. Bangunan yang telah kembali berdiri megah dan terletak persis di hadapannya, kini. Sebelumnya, ia ditangani oleh aparat. Tinggal di dalam sel tahanan selama beberapa waktu. Sampai pada suatu percakapan dengan penyidik.

“Apakah saudari dalam kondisi sehat?” seorang penyidik mengawali pertanyaan formal. Sesekali melirik wajah cantiknya. Berkali-kali sebelas jarinya salah memecet huruf dan angka pada tuts keyboard.

“Sedikit capek,” Jawabnya pendek dan percaya diri.

“Apakah saudari dalam kondisi sadar?” Tanya petugas, lagi. Sebuah ballpoint terjatuh menggelinding ke sudut meja, karena terdesak oleh tuts keyboard yang bergerak-gerak ke kanan.

“seratus persen,” Jawabnya tegas tanpa ragu. Sambil meletakkan ballpoint bertinta hitam itu kembali ke tempat semula. Pertanyaanpun berlanjut pada pertanyaan identitas dan kronologis peristiwa. Sejauh ini, semua lancar. Sehingga sang penyidik bersyukur tugasnya menjadi lebih ringan.

“Lalu, mengapa saudari melakukan pembakaran hotel pada malam itu?” Ada jeda yang panjang. Perempuan yang belum melewati separuh masa usia ukuran normal orang hidup di dunia itu mengerjap-ngerjapkan mata. Menahan buncahan air mata yang segera meluncur di pipinya. Ia tampak kesulitan menahan emosi yang meletup-letup mendengar pertanyaan tadi.

“Saya tidak bisa mengatakannya. Karena itu urusan saya pribadi. Terima kasih untuk tidak bertanya masalah itu,” Jawabnya tetap pendek. Jawaban ala artis dari perempuan itu membuat petugas berusia awal 40an itu keruh. Wajahnya semakin rusuh manakala teringat jawaban yang dianggapnya lelucon itu, sementara ia belum pulang setelah semalam begadang karena piket.

“Anda jangan main-main dengan petugas,” Hardik penyidik tadi berusaha memperlihatkan taringnya.

“Tidakkah cukup bagi anda untuk cukup mengetahui kronologinya. Tokh saya juga tidak akan lari untuk tidak bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan,” Jawabnya ketus, tanpa peduli pada kumis tebal sang petugas.

“Tentu saja saya harus tahu kenapa anda melakukan pembakaran itu. Karena ini berkaitan dengan motif. Apakah anda terkait dengan urusan terorisme misalnya. Karena teroris jaman sekarang kan bentuknya tidak lagi bercelana cekak, atau memakai burqa, untuk menutupi kebejatannya. Noordin M Top saja ditemukan bekas sodomi pada duburnya, jadi kan bukan tidak mungkin anda sebagai pelaku terorisme,” Omelan penyidik yang menekan papan nama bertuliskan Brigpol Santoso itu, di luar dugaan, justru membuat perempuan itu mengamuk. Ia mengeluarkan sumpah serapah yang lebih panjang dan lantang, sehingga petugas tadi menamparnya. Tamparan yang telak di pipi perempuan itu tak membuatnya terdiam. Ia justru menggebrak-gebrak meja dengan mengatakan bahwa ia bersumpah tak akan mengatakan apapun tentang mengapa ia membakar hotel itu.

Keterangan saksi mata, keluarga dan sahabatnya pun tak ada yang mengetahui mengapa ia melakukan pembakaran terhadap hotel itu. Catatan kegiatannya sejak SMA hingga kuliah dan saat bekerjapun relative bersih.

Ini juga terjadi ketika ia di hadapan persidangan. Tiga hakim yang memimpin sidang dibuatnya pusing tujuh keliling atas sikapnya yang tak terkendali. Menjerit-jerit dan bersumpah tidak akan mengatakan apapun tentang motifnya, hanya karena ia memiliki alasan pribadi yang tak perlu orang lain tahu.

Hal ini pula yang menyebabkan tim majelis hakim tidak mengirimnya ke lembaga pemasyarakatan, tapi justru ke penjara kesadaran. Saat itu ia menjerit-jerit tak tentu arah dengan memastikan bahwa dirinya masih waras dan melakukan pembakaran hotel itu dalam kondisi waras.

Ia berteriak bukan orang gila. Hal yang sering dilakukan oleh para orang gila baru yang dikirim. Ia juga tidak jarang mengamuk setelah kedapatan melamun dan menangis sesenggukan. Saat itulah obat penenang sering kali disuntikkan ke pembuluh darahnya. Saat melihat jarum suntik mengarah kepadanya, dengan berlutut nyaris menyembah, ia memohon untuk tidak disuntikkan cairan itu. Saat itulah, ia akan langsung tenang.

Saat itulah aku mulai mendekatinya. Bertanya apa yang dia inginkan. Ia meminta buku dan ballpoint. Tak seorangpun yang menganggapnya serius, sehingga seorang perawat hanya memberinya kertas Koran dan meminjamkan sebuah pensil.

“Buku, suster! Bukan Koran,” Hardiknya pada suster tadi. Kalau saja tak ada aku di tempat itu, mungkin sang suster telah menamparnya. Hal yang sering terjadi jika para dokter tidak sedang bertugas. Banyak sekali suster-suster yang sering menumpahkan kemarahan dan masalahnya di rumah pada pasien-pasien tidak waras ini.

Aku menyorongkan sebuah notebook yang kebetulan ku bawa. Ia memandangku menyorotkan terima kasih. Meski tak mengucapkan sepatah katapun. Dan sejak saat itu, ia memang jarang bicara. Hanya tenggelam dalam catatannya. Hanya tenggelam dalam dunia tulis yang dilakukannya sepanjang waktu. Bahkan, sapaanku setiap pagi untuk memeriksa kondisinya hanya diacuhkan saja, kecuali ia meminta buku tulis lagi.

Saat aku merasa ia mulai jinak dan terkendali, aku memilih mengijinkannya mengunjungiku di ruang kerjaku. Hal yang seharusnya tak boleh dilakukan. Tapi entah mengapa aku mempercayainya tak akan membahayakanku. Tak banyak yang berubah. Ia memang suka menungguiku di dalam kantor, sambil terus menulis. Ia hanya ‘mencuri’ ballpoint yang terletak di meja, kalau itu dianggap kesalahan. Ia hanya merampok kertas-kertas kosong yang tergeletak dekat printer jika itu dianggap suatu pelanggaran. Selain itu, ia lebih suka melakukan terapinya di taman, tanpa menjawab satupun pertanyaanku, dan terus tenggelam dalam tulisannya.

Sesekali, ia pernah memintaku mengirimnya ke ruang isolasi. Saat dengan tiba-tiba ia menahan air mata dengan wajah yang teramat menyedihkan. Kalau sudah begini, aku lebih melihatnya sebagai seorang yang telah terserang candu narkoba yang berharap mendapatkan asupan gizi dari putau. Menangis, menggelepar-gelepar. Memegang kepala yang dan menjambak-jambak rambutnya sendiri. Tak jelas benar apa yang iya rapalkan, saat ku kuping ucapannya di ruang gelap itu. Ku kira itu semacam doa. Karena lamat-lamat ku dengar berbahasa arab, ku kira.

Hingga lima tahun pertama, pemandangan semacam itu masih sering ku lihat. Berangsur berkurang pada lima tahun berikutnya. Ia kembali terusik saat aku mengatakan bahwa kondisinya mulai membaik. Di luar dugaanku, ia justru menangis sejadi-jadinya. Meratap dan memintaku tidak mengirimnya kembali keluar.

“Saya tahu, saya bisa kembali membakar hotel itu jika saya ada di luar sana. Biarlah saya menjalani hukuman di RSJ ini,” Jawabnya sambil menyeka air mata.

Aku terkesima. Analisaku tak mungkin salah, bahwa ia mengingat dengan baik peristiwa pembakaran yang dilakukannya. Ia dengan sadar khawatir melakukan tindakan di luar kendalinya kembali. Ia dengan sadar mengaku tak ingin melakukan kesalahan lagi. Tak mungkin ini dilakukannya hanya karena takut pada ancaman penjara. Kasus ini bahkan mungkin polisi, jaksa dan majelis hakimnya telah renta dan memasuki masa pensiun atau bahkan telah mati. Ia bahkan telah mengabiskan hampir dari sepertiga hidupnya di RSJ ini.

Berhari-hari aku tak mendapatkan jawaban, sampai akhirnya aku berhasil mencuri notebook pertama yang pernah ku berikan kepadanya. Di halaman pertama, isinya hanya bertuliskan bahasa dan huruf arab tanpa harakat dengan found yang begitu besar, hampir memenuhi halaman. Aku tak tahu benar apa artinya, karena nilai mengajiku juga sampai juz amma. Aku hanya mengenal huruf-furuf yang tertulis adalah ‘Mim’ yang diganden dengan ‘Ra’, ‘Ya’, ‘Dal’, ‘Wau’ dan ‘Nun’. Ada jeda seperti untuk spasi sebelum akhirnya terdapat sejumlah huruf lain bertuliskan ‘Qof’ yang digandeng dengan ‘Lam’, ‘Ba’, dan ‘Ya’. Halaman selanjutnya, adalah tulisan berbahasa arab murni, tanpa harakat. Aku pusing dibuatnya. Kalaupun ini tidak ditulis dalam bahasa arab, pasti tulisan itu adalah tulisan pegon.

Tulisan itu begitu rapi. Ia bahkan menulisnya dengan huruf-huruf yang kecil-kecil, seolah sengaja menghemat space yang ada. Melihat tulisan yang tertata, aku menjadi ragu atas ketidakwarasannya. Aku memutar otak. Tak mungkin bagiku memintanya bercerita. Karena aku telah sangat gagal melakukannya. Nasibku bahkan tidak lebih baik dari pada Brigpol Santoso. Tidak mungkin pula bagiku untuk mencuri notebook itu dan mencari tahu isinya. Tindakan itu hanya membuatnya semakin jauh dari ku. Hal ini ku ketahui setelah ia mengamuk sejadi-jadinya pada salah satu pasien yang berusaha merampas buku yang sedang ditulisnya.

Aku berspekulasi. Aku meminjaminya laptop, ketika ia hendak memulai ritualnya untuk menulis di dekat jendela, tempat favoritnya. Di luar dugaanku, ia begitu suka menerimanya. Langsung membuka program MS Word dan mulai menulis. Tanpa lelah, ia terus menulis meskipun hari telah lewat siang. Ia bahkan tak hendak meninggalkan ruang kerjaku, kalau saja aku tak mengatakan sudah saatnya aku pulang. Ku janjikan untuk meminjaminya lagi esok hari, dan begitupun seterusnya.

Sialnya, saat aku berusaha mencari folder yang ditulisnya, ia dengan sangat lihai membuatnya tersembunyi. Bahkan, ketika folder tadi ku temukan, ia masih sempat memberikan passwords yang membuatku hampir angkat tangan. Aku bahkan harus mencari seseorang yang pandai membuka passwords untuk mengetahui isinya. Dan, saat passwords itu terbuka, ia tetap menulis dalam bahasa arab. Sial! Layanan internet yang ku pasang pada netbook itu membantunya menulis melalui google.

Begitu seterusnya, sampai pada tulisan hari ke 73 di laptopku, ia menulis semacam cerpen. Pendek. Hanya 2 halaman. Berbahasa Indonesia dan bertulis alphabet Tapi dengan membacanya aku justru mengetahui kedalam hatinya. Ia bahkan tak secuek yang ditampakkannya. Entah untuk siapa cerpen itu tercipta, tapi kalau aku boleh GR pada orang gila satu ini, ia menulis tentang aku dan kegiatanku sebagai dokter.

Diksi yang sangat terpilih. Alur yang begitu rapi. Emosi yang begitu dalam. Anehnya, ia menuliskan nama penulis yang bukan namanya. Ingin menuntaskan penasaran, akupun berusaha mencari nama yang tertulis di bawah karangan pendek itu di sebuah situs internet. Hasilnya, aku baru menyadari jika ia adalah seorang penulis cerpen. Beberapa tulisannya bahkan dimuat di media nasional.

Aku semakin curiga dengan tulisan berbahasa arab itu. Dengan mencari seorang translater di tempat kursus bahasa asing, aku meminta terjemahan beberapa tulisan yang tersimpan di laptopku.

“Apakah ini sebuah novel atau sebuah diary?” Tanya seorang translater saat aku menjemput hasil terjemahan yang aku pesan. Aku menggeleng, dan tak tahu harus memberikan penjelasan apa.

“Tulisan ini sepertinya lanjutan dari tulisan sebelumnya,” Tambahnya lagi seraya menyerahkan flashdisk penyimpan tulisan pasien gilaku itu. Dan, saat aku mulai membaca tulisan terjemahan dari tulisannya, aku tertegun. Menyadari kedalaman hatinya. Menyadari ketertekanannya. Ketertekanan mengatasi rasa cinta yang mengungkungnya hingga kini. Ketertekanan saat cinta itu tak memilihnya karena salah waktu atau salah orang. Ketertekanan karena rasa kangen yang mengurungnya hingga kini. Ketertekanan yang membatnya tak bisa menerima ingatan-ingatan indah, yang justru membuatnya bersedih dan berontak. Ketertekanan yang membuatnya membakar sebuah hotel di depan universitas, tempat pertemuan pertama kali dengan seseorang yang begitu dicintainya. Tempat mencurahkan segala cinta tak terlupakan. Serta tempat pertemuan terakhir yang membuatnya kehilangan.

Di satu tulisan, ia bahkan menulis tentang puisi WS Rendra yang juga diterjemahkan dalam bahasa arab. Aku mengetahuinya dari sebuah terjemahan yang tertulis pengarangnya. Judul yang sama tertulis dalam notebook halaman pertama yang pernah aku temukan. Saat aku berusaha mencari puisi itu, aku tak menemukanya. Mungkinkan penerjemah tadi salah mengartikannya? Ataukah ia yang tak menemukan padanan kata dalam bahasa arab?

Dan hari ini, aku membiarkannya diam-diam keluar dari zal RSJ. Sebab hari ini adalah hari bersejarah baginya. Berdasarkan sebuah tulisan yang juga ditulis dalam bahasa arab. Aku bahkan mengetahui arah pelariannya. Di depan hotel itu.

Ia masih berdiri di posisinya saat sore berganti senja. Ragu untuk bergerak. Tetapi, berdetik kemudian, ia beringsut dengan menoleh kanan dan kiri untuk menyeberang. Seketika aku panik, saat mengetahui arahnya. Aku berusaha tetap tenang. Meski mulai tergesa pula untuk masuk ke dalam hotel itu, tanpa peduli ia mengetahui keberadaanku. Ku putuskan untuk tidak menghubungi siapapun terlebih dahulu. Meski aku tak pernah tahu apa yang akan dilakukannya di dalam, tapi aku yakin ia tidak akan kembali melakukan kebodohannya 22 tahun yang lalu.

Ia tampak sedikit takut dan canggung. Mungkin, ia khawatir kembali dikenali. Tapi, ia terus maju dan segera masuk ke sebuah restoran bernuansa etnik yang ada di lantai dasar. Memilih sebuah kusri di pojok kiri yang sedikit terlindung.

Aku memilih kursi berjarak tiga meja darinya, posisi yang ku anggap strategis jika ia berbuat sesuatu di luar prediksiku. Ketika aku sibuk memesan minuman, ia justru maju ke depan, menghampiri penyanyi kafe yang mengundang pengunjung untuk bernyanyi. Ia berbicara sejenak, sebelum akhirnya group band yang bertugas menghibur pada malam itu memberikan gitar akustik. Ia langsung mencari kursi yang diletakkannya pada posisi persis di depan mic yang diletakkan pada sebatang stand. Sekali lagi aku terkesima dibuatnya.

“Saya tidak ingin menyanyi. Atau setidaknya, nanti saja saya menyanyi,” Ucapnya lebih pada diri sendiri, bahkan seolah acuh pada pengunjung yang ada di sana. “Tapi saya akan membawakan sebuah puisi yang membuat saya hidup hingga hari ini. Yang mengobati saat rindu menyerang saya,” Ia mulai memetik dawai. Satu persatu.

“Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta,” Bait pertama dibacakannya tanpa gesa. Suasana haru dari petika gitar yang halus mulai mencuri pengunjung yang hadir untuk sekedar melihatnya.

“Kau tak akan mengerti segala lukaku kerena luka telah sembunyikan pisaunya,” Bait kedua dibacakannya dengan kata yang mulai bergetar.

“Membayangkan wajahmu adalah siksa. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan,” Bait ini, air matanya mulai membuncah di ujung selasar matanya yang indah.

“Engkau telah menjadi racun bagi darahku,” Bait ini kemarahan tanpa daya ditunjukkan wajahnya yang tetap menunjukkan gurat-gurat kecantikan, menurutku.

“Apabila aku dalam kangen dan sepi, itulah berarti aku tungku tanpa api,” Bait terkahir ini mengantarkan air mata ke pipi dan gitar yang sedang dipetiknya. Di bait terakhir ini pulalah, petikan dawai satu-satu berubah membentak indah menuju ke sebuah reff lagu yang tak kalah mendayu,…

… I thought we’d be sexy together, Thought we’d be evolving together, I thought we’d have children together, I thought we’d be family together, But I was sadly mistaken,…

Saat selesai menyanyikan lagu itu, ia segera menghampiriku dan berkata, “Saya siap kembali ke Zal batu itu,” Sambil tersenyum. Tapi entah kenapa, aku lebih suka membawanya ke penerbit dari pada membawanya pulang k RSJ.

09 September 2009

[Cerita Pendek] Di Puing Ramadhan

Senja Madinah

Aku mendengar sayup-sayup rapal al Quran, di antara suara musik dangdut dari radio pangkalan Ojek, tak jauh dari dasaran Nik Tija, penjual sayur-mayur. Aku tertawa. Mendengar semua harmoni yang menjadi satu. Tartil al Quran yang dibaca dengan indah dengan lekuk-lekuk suara kearab-araban, beradu lagu genit lagu dangdut yang renyah, rupa-rupa. Satu hal yang menyamakan dua harmoni berbeda ini, mereka saling bergantian untuk mengaji atau pun menyanyi.


Ya, hanya di malam-malam Ramadhan seperti inilah terdengar suara orang mengaji di pasar tradisional di kota ini. Selebihnya, mereka memilih musik dangdut mengiringi hidup mereka. Kendati kedatangan mereka berganti-ganti antara para pedagang pagi dan malam, tetapi, pasar terbesar yang tak jauh dari pondok pesantren ini tak pernah berhenti. Kehidupan di pasar ini, 24 jam penuh! Kuli-kuli itu, penjual-penjual miskin itu, selalu datang silih berganti mengisi sudut-sudut pasar. Hanya untuk satu hal; kesempatan. Kesempatan mengais rejeki. Rejeki untuk satu hal; melanjutkan kehidupan. Melanjutkan roda yang terus berputar. Tapi aneh, mereka tak pernah di atas. Saat roda kehidupan itu menanjak 30 derajat, roda kehidupan itu melesat ke bawah kembali. Seolah tak punya tenaga untuk lebih tinggi lagi.

Dan di pasar yang didatangi oleh orang berupa-rupa ini pula, hanya aku yang tak pernah berganti. Di sudut kegelapan ini, di sebuah toko bahan baku milik Haji Fauzan ini, aku selalu memperhatikan mereka. Gerak-gerik mereka. Keluhan mereka, guyonan murahan mereka, tawa lepas mereka, persaingan dan perseteruan mereka. Tak luput pula ku perhatikan tingkah Zulaiha yang telah bertransformasi menjadi Julie. Entah ke mana ia jika bulan ramadhan begini. Aku akan merindukan tingkah dan triknya saat menarik perhatian pelanggan, sumber rejekinya.

Ah, di pasar yang merupakan tempat berkumpulnya berbagai macam manusia dan bangsa ini, segala macam hal dijual. Mulai dari hasil jarahan bumi, pembunuhan hewan hingga jualan yang paling mandiri dan paling orisinil, jasmani. Di tempat silaturrahmi itu, juga beraneka warna pembeli, sesuai dengan kebutuhan. Di tempat pertemuan ini, mereka saling mengadu kecakapan dan kelihaian lidah untuk saling mengalahkan. Hanya demi satu kata; ekonomi. Si pembeli, tanpa urat malu menawar harga dagangan hingga harga yang tak masuk akal, minta bonus dan gratisan. Melihat gelagat pembelinya, si penjual pun tak mau kalah, dengan menaikkan harga lebih dari dua kali lipat sebelum menjualnya, kembali disertai bonus yang disukai para pelanggan. Hasilnya? Inilah yang membuat pasar ini tetap ramai, tempat di mana sebagian merasa puas dengan kelihaiannya dan harapan agar esok bisa bertransaksi lebih ekonomis lagi. Karena telah terjadi equilibrium antara kebutuhan yang saling melengkapi. Yang perlu diingat, seberapa pun mereka menaikkan harga jual, atau seberapa pun mereka menawar hingga ke dasar jurang, transaksi yang terjadi tetaplah prinsip ekonomi yang sempurna, tidak seperti di mall atau supermarket, di mana tidak ada demokrasi, tawar-menawar, diterapkan.

“Julie, kenapa baru keluar sekarang?” Aku mendengar suara Sugondo, tukang ojek yang tergila-gila pada Julie, berteriak kegirangan. Tangannya mencari-cari kesempata ke tempat-tempat kosong yang dapat terjangkau.

“Najis! Bulan puasa, Ndo. Bukan muhrim kok pegang-pegang,” Tangan Julie menepis tangan nakal Sugondo, ketus. Berdetik kemudian, tertawa cekikikan.

Aku berjalan mendekat, ingin mendengar pembicaraan mereka lebih dekat. Melihat kelakuan dua insan keturunan Adam itu. Aku menyelinap di antara karung-karung beras, gula, dan tepung. Terselip di sela-sela sirap-sirap kayu toko. Menghindari terang yang sangat membahayakanku. Berhenti di balik bangku usang tempat Sugondo melepas penat saat menunggu penumpang.

“Waduh, kena demam Ramadhan juga to? Terus ngapain ke sini?” Sugondo tak mau kehilangan kesempatan memuaskan lapar birahinya. Memandangi molek tubuh pengusaha independen itu dengan kotor.

“Ya Kerja to, Ndo. Fredy makan apa?” Jawabnya tetap ketus sambil mengibaskan rambutnya yang telah berubah warna kemerahan.

“Wah, nggak takut diciduk satpol PP atau polisi to? Puasa-puasa gini kok tetep jualan,” Sergah Sugondo, mengulur waktu.

“Nggak mungkin. Kan kita udah bayar uang keamanan?” Jawabnya genit.

Aku tertawa mendengar percakapan mereka. Julieku kembali. Hanya saja, jadwal kedatangannya lebih malam. Ba’dah tarawih, dia bilang.

“Ya shalat tarawih dulu lah. Gimana pun, aku kan takut masuk neraka.” Jawabnya menanggapi pertanyaan Sugondo yang tak kunjung usai.

Julie beranjak, tak lagi memperdulikan pertanyaan Sugondo yang bertubi-tubi.

“Paket Spesial Ramadhan dan lebaran, Ndo, ngobrol sama aku juga harus bayar,” Tukasnya tanpa menoleh, tanpa perasaan.

Aku tertawa mendengarnya. Sembari kembali ke rumahku, di kegelapan.

Ah, di Pasar tradisional ini,… sebejat apapun kelakuan mereka, tak satupun dari mereka yang melewatkan puasa. Kau tahu kenapa? Karena mereka memang berpuasa sepanjang tahun. Kemiskinan yang membuat mereka harus tetap mengencangkan ikat pinggang untuk tetap bertahan hidup. Bahkan, mereka nyaris tak pernah mengkonsumsi dagangan mereka sendiri, khawatir rugi. Hidup tak hanya urusan makan. Tapi hidup juga melarang mereka sakit. Jadi lupakan tentang pengobatan gratis!

Hahaha,… Kau tahu, hanya aku yang selalu banyak makanan di ujung gelap toko milik Haji Fauzan ini. Hanya aku yang bisa tidur dengan tenang, kecuali ajal menjemput melalui tangan-tangan yang menganggapku di ciptakan tanpa guna. Ini sekali gus menjawab pertanyaan dari kalian semua yang meragukan kenapa Tuhan menciptakanku.

“Assalamualaikum, Ji.” Sapaan khas Julie, tiba-tiba nongol di depan toko, keesokan paginya. Haji Fauzan menatapnya sekilas, lalu larut dalam pekerjaannya membereskan pembukuan yang dibuat dengan berantakan.

“Ah, kamu. Bikin aku sial aja hari ini.” Gerutu Haji Fauzan mengingatkan beberapa hutang yang belum dibayar oleh salah satu pelanggannya ini. Perempuan bertubuh seksi dengan rambut yang awut-awutan itu ditinggalan begitu saja.

“Maaf Ji, minggu kemarin kan anak ku sakit. Jadi uangnya aku pakai dulu untuk berobat,” Ucap Julie memelas sambil mengikutinya dari belakang.

“Ini mau lebaran. Kalau kamu nggak bayar cash aku dapat untung apa? Mana barang-barang kulakan pada naik semua dari distributor.” Sergah Haji Fauzan, beralih tempat memeriksa stok beras dan memperhatikan kinerja Sholeh yang sedang menurunkan telur ayam dari Chevrolet cokelat. Teriakan cempreng penyiar radio menambah kebisingan yang terjadi. Sementara pembeli yang lain mulai berdatangan, memandangi perempuan itu tak senang.

Julie merogoh kantongnya, menyerahkan uang dua puluh ribuan lecek 2 lembar, ditambah dengan uang sepuluh ribuan 2 lembar. Uang lima ribu tiga lembar yang tersisa dimasukkan kembali di saku.

“Ji, beri aku apa saja. Nanti, hutangnku ku bayar kalau sudah ada rejeki, Ji.” Inilah senjata terakhir perempuan yang tampak lebih tua dari umurnya itu. Melihat uang tadi, Haji Fauzan langsung menyerahkan pada asistennya. Memberikan sejumlah barang kebutuhan seperti sekarung beras kualitas rendah ukuran 3 kg, setengah karung gula ukuran seperempat, tepung terigu, minyak goreng setengah liter, dan sejumlah kebutuhan lainnya yang diberikan dengan ukuran serba mini. Selepas itu, Sholeh menyerahkan pada Julie yang terbelalak kaget.

“Ji, kok cuma segini, Ji?” Ia menahan emosi.

“Heh, Jul, sekarang barang-barang kan sudah pada naik. Gula aja sekarang Rp. 10.000 perkilogram. Itu dari distributor. Kamu mau aku jual berapa? Belum barang-barang lainnya juga ikut naik. Bawang putih juga Rp. 12.000 perkilo. Kalau mau protes, bilang sana ke pemerintah. Kenapa ada harga gula yang sampe Rp. 10.000,” Sergahnya tanpa tedeng aling-aling menahan amarah. Julie hanya bisa menggaruk-garuk kepala.

Aku menyaksikan semua drama ini, hampir setiap hari. Kesedihan Julie, juga kolega lainnya yang juga kulakan di toko haji Fauzan. Kesedihan para pembeli yang hanya mampu gigit jari tanpa mampu mewujudkan angan-angan dalam dirinya untuk membeli sekerat daging yang harganya juga mulai melambung.

“Tidakkah ini bulan puasa, Ji?” ucapan Julie lebih mirip untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Yang puasa kan Cuma makan siang, Jul. Orang-orang ya tambah buas kalau udah buka,” Bantah Haji Fauzan lebih mirip ketakpedulian. Tetap mencatat semua barang yang baru saja dikeluarkannya. Julie pun segera berlalu dari hadapan pria tak ramah pemilik toko tempatku bernaung.

“Jangan lupa segera bayar hutangnya! Sekali-sekali bayar hutangnya itu pake uang halal,” Sindiran dengan suara keras itu mengalir begitu saja dari mulut Haji Fauzan yang diikuti dengan bisikan-bisikan dari sejumlah pembeli. Jenang kemudian Julie berbalik.

“Saya tidak korupsi, Ji. Saya tidak mencuri uang sampeyan yang dibayarkan melalui pajak. Saya tidak menjual tetangga saya ke luar negeri. Saya juga tidak mencuri timbangan,” Sindiran dua kalimat terakhir tadi telah bersarang di jantung haji Fauzan yang juga memiliki usaha PJTKI illegal dikelola istrinya dan sering mengurangi berat timbangan para pembeli.

Haha, baru kali ini aku melihat wajah Haji Fauzan seperti kepiting rebus tersulut kepedasan kata Julie ku yang manis.

“Ji, beli beras yang paling bagus ya. Jangan seperti biasanya Ji, yang lebih bagus. Gula, minyak goreng yang kemasan Ji,” Seorang ibu berusia 40 tahunan, dengan pakaian compang-camping.

“Ji, sebentar ya, saya mau beli daging dulu,.. Suami saya minta dibuatkan steak,” Juhariyah, yang bekerja dengan menadahkan tangan di depan toko departemen store itu, bikin Steak? Oh my God,… Please deh?

“Gaya amat, memang dapat togel?” Cibir Haji Fauzan.

“Nggak, Ji. Tapi, kalau ramadhan gini kan musim panen, Ji.” Terang Juhariyah tanpa malu.

Kondisi itu ibu-ibu tadi sebetulnya tidak telalu menyedihkan. Ia terlampau gemuk untuk dikatakan sebagai orang miskin. Ia juga masih terlihat kuat untuk membuat orang iba kepadanya. Sejenak ku perhatikan apa yang membuat orang menjadi iba padanya, sampai aku melihat sesosok balita yang menyembul dari balik roknya, menggelendot di tangan kanan Juhariyah. Tampang balita sekitar 3 tahun itu tak kalah dekil dibanding ibunya. Lendir flu turun malu-malu mengikuti irama nafas yang dihembuskan hidung peseknya. Akupun mahfum. Balita itulah yang digunakan sebagai alat dalam bisnis rasa kasihan ini.

Aku menggeleng. Melihat mereka, rasanya aku bisa memahami fatwa MUI yang mengharamkan memberikan santunan bagi pengemis. Walaupun, sekali lagi, fatwa tadi tampak sangat bodoh kalau tidak ingin dibilang tolol, karena kemiskinan structural yang terjadi adalah persoalan ketiadaan lapangan pekerjaan yang kalau dikembalikan lagi, menjadi tanggung jawab pemerintah.

Aku kembali menggeleng. Tiba-tiba otak nakalku bekerja saat kelebat bayang Julie tertangkap. Mempertanyakan sikap Tuhan terhadap dua makhluk yang sama-sama ingin bertahan hidup ini. Kira-kira Tuhan lebih sayang yang mana ya, antara keduanya? Juhariyah yang hanya memangku tangannya untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain, mengeksploitasi anak menjadi salah satu alat produksinya mencari kenyamanan dan kemakmuran, ataukah pada Julie-ku sayang, yang menjadikan reproduksinya menjadi alat produksi andalan mempertahankan hidup. Julie, tidak sedang merugikan orang lain, tidak sedang mengeksploitasi alam semesta dan hanya mengeksplorasi yang ada pada dirinya. Juhariyah yang memberikan kerja lembur bagi anaknya saat musim puasa dan Julie yang rela mengurangi jadwal prakteknya untuk menghormati puasa.

Ah, manusia,… makhluk unik yang diciptakan dengan segala kelebihan tetapi justru terpuruk dengan kelebihan yang dimilikinya. Tak saling melengkapi, justru saling mengurangi. Tak saling menguatkan justru saling menghancurkan.

Belum selesai aku memaknai kehidupan yang sedang berlangsung di depan mataku, segerombolan laki-laki berseragam biru dongker datang dengan membawa pentungan. Sirine dan peluit beradu kekuatan, memekakkan telinga.

Gerombolan yang bagai kesetanan itu menghancurkan lapak-lapak milik puluhan pedagang beraneka sayur, daging ayam, hingga pakaian dalam. Tanpa melihat jenis dagangannya, mereka langsung melempar ke dalam truk yang mereka bawa. Jerit tangis dan kemarahan para pedagangpun bersahut-sahutan dengan suara lantang para petugas yang mengaku mendapatkan kuasa.

Para pengemis tak luput dari serangan mereka. Anak-anak, orang tua, laki-laki, perempuan ditangkap dan dimasukkan ke dalam truk berbeda yang lebih tertutup. Hanya Juhariyah dan anaknya yang absent dari garukan tadi. Pemain sinetron kawakan itu diuntungkan dengan kedatangannya membawa barang belanjaan, sehingga tidak ditangkap meskipun mempunyai cirri-ciri sama dengan pengemis yang lain.

Oh, tidak. Ia menuju ke sebuah tempat. Oh, tidak, Oh, my God! Mereka menyeret Julie-ku dari sebuah bangunan sederhana tempat Julie hidup bersama anak laki-lakinya selama ini. perempuan yang tampak lebih manis tanpa riasa make up itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

“Pak, saya salah apa, pak?” Tanya Julie ketus sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan petugas bertubuh tambun.

“Ikut, kamu perek kan?” Sergah petugas tadi dengan suara geram.

“Tapi kan saya tidak sedang praktek, pak? Saya sedang menyiapkan buka puasa untuk anak saya,” Balas Julie membentak laki-laki tadi.

“Heh, operasi ini dilakukan bagi mereka yang menjadi sampah masyarakat dan mereka yang melanggar peraturan. Ya PSK, ya pengemis, ya penjual yang nggak punya ijin usaha di sini,” Jelasnya sambil menyeret Julie masuk ke dalam truk.

“Tapi saya tidak sedang menerima pelanggan pak,” Suara geram Julie semakin meraung saat petugas tadi dengan sengaja memukul pantat Julie.

“Heh, aturannya yang ditangkap itu PSK, sampah masyarakat seperti kamu, nggak peduli sedang praktek atau nggak! Kan semua orang bisa jadi saksi kalau kamu itu memang PSK! Nah kalau nggak ingin ditangkap ya, ganti profesi dong!” Petugas bertahilalat besar di hidungnya itu kewalahan mengatasi Julie yang terus meronta. Otak dangkalnya jutru memanggil empat kawannya menggotong tubuh Julie untuk dilempar ke dalam truk.

Rasa penasaranku tak terbendung. Aku tahu, sebentar lagi truk tadi akan berjalan. Dengan berhati-hati, aku berusaha melompat ke dalam truk tempat Julie dilempar tadi. Secepat kilat aku keluar dari persembunyian di kegelapan sela-sela karung-karung beras, menuju ke karung gula, melompat ke drum minyak goring, sedikit berbelok ke drum minyak tanah, bergerak ke atas disela-sela siku atap toko yang dipenuhi dengan jejaring laba-laba. Saat ku lihat pintu truk petugas itu akan ditutup, dengan sekuat tenaga aku menerjang. Tapi, belum sempat aku berhasil masuk ke dalam truk dan menemukan tempat yang aman untuk bersembunyi,

Auuucchhh…!!!

Pentungan petugas menghentikan langkah sekaligus nyawaku.

“Lihat, hanya Coro yang berempati pada kalian para sampah masyarakat,” aku mendengar Petugas tambun itu menghardik para pengemis dan PSK yang tertangkap seraya mengangkat tubuhku, sebelum aku meregang nyawa. Tersungkur…

13 August 2009

Di Ujung Sakaratul Maut

Senja Madinah

Aku berjalan. Terus berjalan ke arah barat. Menjauhi terbitnya matahari. Menyusuri aliran sungai yang kini tak menyisakan setetespun air untuk ku, juga istriku. Padahal, kami sangat membutuhkannya. Hanya demi melepas rasa haus yang mencekik tenggorokan, sedari kemarin. Perjalanan kami semakin berat karena istriku sedang sakit. Sebuah peluru tajam tersarang di salah satu kakinya. Ulah para pemburu yang sering masuk rumah kami dan mengganggu ketentraman. Menghadirkan ketakutan, mencekam. Beruntung saat itu, istriku menemukan tempat persembunyian yang tak terjamah oleh predator yang lebih buas daripada raja hutan itu.


“Suamiku, berjalanlah terus. Tinggalkan aku di sini,” Aku tertegun mendengar ucapan istriku. Suaranya bergetar, menahan sakit. Saat aku menoleh ke arahnya, wajahnya juga semakin pucat. Mungkin karena luka yang belum mengering dan justru membusuk.

“Tidak sayang, aku akan menunggumu. Kita akan menemukan sumber air bersama,” Jawabku menenangkan. Aku memperlambat langkahku. Menjejerinya.

Kami kembali berjalan. Beriringan. Perlahan… sementara, matahari semakin tinggi. Meskipun kami telah berjalan sejak subuh tadi, kami belum menemukan setetes air pun. Juga makanan yang semakin sulit kami dapatkan, saat memasuki musim kemarau seperti saat ini.

Perjalanan kami semakin terasa berat saat matahari memasuki 60 derajat dari arah timur. Kulit kami yang legam semakin mempercepat pembakaran kalori dalam tubuh kami. Keringat menetes satu persatu.

Dalam perjalanan yang berat ini, kami bahkan tak lagi bisa membedakan hutan atau ladang. Sebab rumah kami, pohon kami, akar-akar penyimpan air kami, terenggut oleh para pembalak liar, pelaku illegal logging atau juga perambah. Hutan kami gundul. Kami bahkan harus hanyut terbawa air bah saat musim hujan. Sementara di musim kering seperti ini, kami harus mencari air hingga jauh, di perbatasan hutan dan perkampungan.

Tuhan, apa yang kau sisakan pada kami? Kami bahkan tak pernah mengganggu kehidupan mereka. Tetapi, secara fisik kami di buru. Hanya demi sebuah kata perkasa. Rumah kami juga tergusur oleh mesin-mesin censo yang berdering setiap hari, sungguh memekakkan telinga.

“Suamiku, aku tak kuat lagi. Tahukah kau bahwa aku sedang hamil? Dalam perutku ini, ada anak kita. Kalau saja aku dalam kondisi yang lebih baik, mungkin aku masih sanggup mendampingimu,” Suara istriku semakin bergetar menahan rasa sakit.

“Tidak sayang, justru karena kau dalam kondisi hamil, aku akan terus mendampingimu. Kau sedang mengandung keturunanku. Calon pemimpin kelompok kita. Tenanglah, aku akan bersamamu, tak akan meninggalkanmu,” Aku bersikeras. Ia menggeleng.

“Tidak suamiku, berjalanlah terus, tinggalkan diriku. Aku berjanji akan baik-baik saja di sini. Aku hanya akan beristirahat sambil mengobati luka di kakiku. Sementara kau, carilah aliran air. Jika kau menemukannya, minumlah sepuasnya, dan kau akan menjemputku di sini,” Erangnya, tertahan. Ia menghentikan langkah.

Di tengah rasa sakit yang kurasa sangat menyiksanya, ia tetap menjadi oase bagiku. Yang menyejukkan jiwaku. Karena itulah aku tak banyak kawin dengan perempuan lain. Karena ia memang begitu memmesona. Perempuan yang tegar. Aku teringat persaingan dengan sejumlah pejantan yang juga menginginkannya di kelompok kami. Tetapi, ia memilihku. Entah mengapa, mungkin karena aku anak dari pimpinan kelompok kami. Atau mungkin juga karena alasan lain. Aku tak tahu. Sebab yang ku tahu, ayahku sendiri sangat marah, karena sikapku yang dipandang terlalu lunak. Tidak mau kawin dengan banyak betina, sebagaimana tradisi kelompok kami, agar bisa menjadi pemimpin, selain karena kekuatan dan keturunan.

Tidak, ku kira, memang bening, sebening embun. Sebab, jika ia hanya memilihku karena statusku yang lebih tinggi, pasti ia tidak bersamaku kini. Ketika mahkota pemimpin jatuh pada adikku. Ketika aku mengalah, atau kalah jika kau menganggapku berdalih, dalam sebuah pertaruan penentuan pemimpin kelompok. Ia tetap bersamaku, menemaniku, saat koloni kami mengusirku, sebuah tradisi belantara, ketika tak bisa menjadi yang terbaik.

Ya, perjalanan kami kali ini, adalah sebuah pelarian. Untuk menemukan atau membuat koloni baru. Ah, aku tak peduli. Yang ku tahu, sejak bertemu dengannya, aku telah berikrar menjaga kelaminku hanya untuknya. Menjaga hatiku, juga untuknya. Akan menjaga anak-anak yang dilahirkannya, bersama,…

“Tidak sayang, kau ada di sini, karena aku. Menemani kesendirianku yang telah diusir koloni kita. Karena itu, jangan pernah memintaku meninggalkanmu, karena aku tak kan pernah melakukannya,” Aku terus berkeras sambil bersusah payah menahan air mata yang telah membuncah di ujung mataku.

“Ayolah, suamiku, kita akan mati sia-sia jika tetap berdua seperti saat ini. Seharusnya kita tidak saling membebani, bukan? Kita akan saling menguatkan. Karena itu, jika kau menemukan aliran air, kabari aku segera. Dan tinggalkanlah jejak di setiap langkahmu. Jika kondisiku membaik aku akan menyusulmu,” Suaranya istriku tampak lebih tenang dari sebelumnya. Aku memandangnya, air mataku hampir meluncur bebas.

“Tidak suamiku, kau tak boleh menangis. Karena cinta kita akan saling menguatkan. Tidak melemahkan,” Ucapannya justru membuat air mataku benar-benar luruh di pipiku. Aku melangkah ragu, setelah sebelumnya mencium keningnya. Dan berjalan menjauh.

Kembali ku susuri aliran sungai yang telah kering ini. menuju ke arah barat. Sedikit berbelok 30 derajat ke kanan. Sementara matahari terus meninggi, hampir di atas kepala. Lambaian dedaunan rumpun bambu dan jerit suara angin dari gesekan batangnya tak membuat gerahku hilang. Sementara, batu-batu kali yang juga menyimpan bara karena ditimpa terik matahari langsung, semakin menyakiti kakiku.

Setelah sekitar 2 jam aku berjalan sendiri, aku menemukan gemericik air di sela-sela hamparan batu yang tak tertata rapi. Aku berteriak girang. Saat air itu mulai menggenangi kakiku yang penuh debu. Sambil membasahi kerongkonganku dengan air tadi, aku terus berjalan mencari air lebih banyak lagi. Aku hanya ingin merendam badanku yang terbakar terik ini sejenak.

“Banteng, banteng,…” Teriakan manusia dari samping kanan mengagetkan ku yang sedang mandi. Seketika aku terkesiap. Tuhan, rupanya aku terlalu jauh berjalan. Sungai ini batas wilayah milik manusia.

Seketika aku panik. Pikiranku semakin kacau. Saat melihat jumlah manusia semakin bertambah banyak dari arah depan dan kananku. Sambil berpikir keras, aku berlari tergesa ke arah kiri. Tapi, gerombolan predator itu semakin banyak dan berteriak-teriak memekakan telinga.

“Tolong jangan sakiti aku, aku hanya menumpang minum dan mandi,” Rintihku, meminta pengertian mereka. Tetapi, kerumunan yang mungkin tak mengerti bahasaku itu justru semakin berteriak, “Banteng, Banteng,…”

Aku terjepit. Aku tak mungkin menyerang mereka, karena jumlah yang sangat banyak. Ratusan, atau entah ratusan. Mereka bahkan memegang beberapa benda yang dilemparkan ke arahku. Beberapa malah berusaha menghalauku dengan kayu. Beberapa yang lain memegang senjata api, senjata yang sama yang membuat kaki istriku terluka.

“Tolong maafkan aku, aku tak sengaja memasuki wilayah kalian,” Teriakku berusaha meminta pengertian mereka. Tapi mereka malah menghalauku dan semakin mendekat padaku. Aku tak merasakan hawa persahabatan dari mereka. Bahkan

“Tolong biarkan aku pergi, istriku sedang sakit di sana. Aku tak ingin mengganggu kalian. Aku bahkan tak akan membuat perhitungan dengan kalian yang telah melukai istriku. Tolong biarkan kami hidup tenang,” Ucapku semakin tak karuan. Bahkan lengkingan terakhirku yang disertai dengan oktaf tinggi semakin membuat kerumunan manusia itu panik. Ku lihat seseorang yang memegang senjata berusaha mengarahkan moncongnya ke arahku. Dadaku semakin berdegub. Aku tak punya pilihan lain. Dengan mengumpulkan semua sisa-sisa kekuatan yang ku punya, aku berlari sekencang mungkin, menuju ke arah pemuda yang memegang senjata api tadi. Aku hanya berharap ia panic dan berlari menjauhiku. Hup! Berhasil. Ia lari pontang panting, saat aku berusaha menyeruduk mereka.

“Tidak, tidak seperti ini yang aku ingin. Aku hanya ingin bebas, kembali ke hutan. Menemani detik-detik kematian bersama istriku yang sedang sakit,” Rintihku, tetap tak mereka pahami.

Aku kehilangan banyak kalori. Kehilangan banyak energi. Diantara keletihan dan keputusasaan yang mendera, Aku menutup mata dengan pasrah pada nasib, sebelum akhirnya ku lihat secercah harapan. Aku berlari sekencang mungkin ke arah kiri. Menerobos pagar bambu. Ku harap ini tempat yang aman,…

Tapi Tuhan, aku salah. Aku justru terperangkap. Bau khas daun tembakau menyengat hidungku. Semakin membuatku pusing. Tuhan, apakah yang kan terjadi selanjutnya? Aku teringat istriku yang ku tinggalkan sendiri di hutan. Pikirku semakin kacau saat ku ingat kondisinya yang sedang mengandung. Juga luka di kakinya. Istriku, apa kabarmu, kini?

Aku semakin panik saat ku rasa hari semakin gelap. Sementara, mereka, species menusia itu semakin banyak, berkerumun dan beregombol. Beberapa orang ada yang berpakaian serupa. Entah apa yang dilakukannya, tetapi, ia menghalau manusia lain yang sedari tadi membuatku takut. Yang sedari tadi menyorongkan benda silau ke arahku.

Aku semakin tak tenang ketika dua pintu gerbang besar gudang tempatku terperangkap ditutup. Gelap yang biasa memyergapku di hutan, tak seperti d ruang dua puluh kali sepuluh meter ini. Tak ada bintang yang biasa kulihat bersama istriku, sesaat sebelum kami bercinta. Tak ada bayang pohon yang ditimpa cahaya bulan dan bergoyang-goyang diterpa angin seperti tampuk hatiku yang birahi kala itu. Tapi aku tak punya pilihan lain, selain menunggu dengan pasrah pada takdir sang Khalik atas umurku.

“Selamat malam, istriku.Semoga mimpi indah menyertaimu,…” gumamku dalam hati, sambil menutup mata.

23 July 2009

I will miss our miscommunications,..

Iman D. Nugroho
Sebuah cerita sangat pendek [di sela delay di Ngurah Rai Denpasar]

Cerita ini berawal dari telepon antara Mumung dan Nurhayati, siang tadi. Bukan sebuah percakapan yang mesra, lebih mirip cerita berbuah aliran air mata. Kekeke,..memang seperti itu. Apa yang dialami Mumung sore ini, seperti sebuah ujung dari semua cerita indah antara Mumung dan Nurhayati. "Tapi aku nggak mau berakhir," kata Mumung di ujung percakapannya. "Nggak bisa, ini sudah menjadi kesimpulanku," Nurhayati sengit. "Tapi.." Mumung terpenggal. "Sapi!, kamu memanggil aku sapi!" Nurhayati meradang.


Mumung kelimpungan. Keinginannya merajuk, berbuah salah pesepsi yang sangat gawat: mengatai sapi!, seperti yang dituduhkan Nurhayati. "Inilah yang sering membuat kita masuk dalam pertengkaran, kamu tidak pernah mencerna apa yang aku katakan," Mumung bertahan. Mirip Elias Pical, petinju Indonesia tahun 80-an saat mendapat serangan. "Sering aku omong apa, eh, nangkapnya apa," Mumung coba tenang. Seperti Kali Ciliwung, saat nggak ada airnya. "Buat apa aku panggil kamu sapi?! Memangnya aku mau binatang itu jadi istriku!" nadanya naik satu oktaf.

Nurhayati bergeming. Perempuan berponi gaya Adi Bing Slamet saat kecil itu diam sejuta bahasa. Jujurnya, Nurhayati ingin tertawa.Tapi sudah terlanjung pasang muka marah. Gengsi dong! Jadinya dia cekikikan tidak terdengar. "Halo-halo,.." Mumung memanggil. "Apa?!" Mumung makin keki. Bingung. Dasarnya, Mumung memang suka bingung kalau Nurhayati marah. Bukan apa-apa sih, cewek yang kalau tertawa sering membuat orang salah sangka ini (maksud lu?") kalau sudah marah jelek banget. Semua hal menjadi salah. Moody,..kata orang bule. Nah, Mumung yang terpaksa merayu untuk mencairkan hal itu.

Tidak selalu berhasil. Malah yang sering, telepon terbanting dengan sengaja. Sudah tak terhitung lagi, berapa kali Mumung memporak porandakan telepon genggam miliknya. Tembok kamar menjadi sasaran paling sering. Sesekali, hape itu mendarat di pohon mangga milik pak Rudy,..eh,..pohon mangga apa punggung pak Rudy ya? Kayaknya pohon mangga deh. Juga mendarat di permukaan air danau di depan kampusnya. Hanya beberapa saat, sebelum blukutuk-blukutuk tenggelam. Karena itu juga, Mumung lebih suka memilih hape murahan. Tak lebih dari Rp.100 ribu. Agar tidak terlalu dalam penyesalan yang datang, setelah hape itu terbelah menjadi beberapa bagian.

Siang ini, sudah tak tahan lagi Mumung untuk membanting hape hitam itu. Eits,..uang Rp.1,2 juta segera melintas. Mumung mengurungkan niat. "Jangan dibanting lagi" teriak Nurhayati. Nah, angin perdamaian neh. "Ayolah burung daraku,..dengarkan dulu penjelasanku," Mumung beraksi. Rayuan gaya Satria Bergitar itu pun meluncur manis. "Apa?!! Bendahara?! Emangnya aku ini pegawai koperasi unit desa, yang ada bendaharanya! Kamu itu ya,...." Nurhayati menahan jengkel. Mumung melongo. Semua ucapannya menjadi disalaharti.

Prakkk!!!

Hape itu terbelah.

11 July 2009

Cerita Cita-Cita di tepi Asa

Senja Madinah

Mataku mengerjap. Saat udara dingin menelusup kulit keringku. Udara lembab menusuk-nusuk tulang yang hanya dibungkus dengan daging sekelumit. Baju rangkap yang ku kenakan tak membuat gigilku hilang. Bulan ini masuk musim angin. Aku bahkan tak berani menyentuh air laut yang biasanya hangat. Kalau memasuki musim angin begini, air laut bahkan di bawah 0 derajat celcius.


Pandangku berpendar. Sekelebat terlukis bangunan-bangunan bersemen kokoh. Beratap biru. Daratan masih sekitar 100 meter dari tempatku berdiri di perahu kecil ini. Tak sampai sepuluh menit lagi aku akan sampai di pelabuhan Kalabahi. Pelabuhan terbesar di kepulauan Alor, tempat aku tinggal selama ini.

Tidak, aku tidak tinggal di sana, di pulau Alor besar. Meski pulauku masih bagian dari Kabupaten Alor. Aku hanya mengunjungi pusat kabupaten itu setidaknya sebulan sekali, saat mengantarkan mutiara-mutiara nan indah, hasil kami menyelam. Mutiara-mutiara asli, bukan hasil budidaya seperti yang dilakukan di Teluk Mutiara.

Hidupku lebih banyak di perairan dekat pulau Pura Tereweng, berpuluh-puluh mil dari Alor Besar. Bersama laut yang indah, dengan segala biotanya. Bersama lumba-lumba. Bersama alam yang masih perawan, dengan pohon kelapa yang menjulang. Bersama udara yang masih pekat, begitu segar. Bersama bagan keramba ikan. Bersama senja yang magis. Bersama bulan dan ribuan bintang, kala malam. Bersama ayah, ibu dan 4 saudara. Bersama paman dan bibi, serta kerabat hasil mereka beranak pinak. Juga seorang kakek, sahabatku bercerita, tempatku mendengar.

Kami, para lelaki adalah penyelam yang handal. Pencari mutiara. Sementara, perempuan kami bekerja sebagai penumbuk kemiri atau biji kacang. Tak satupun dari kami yang bersantai. Demi sebuah hidup yang entah seperti apa nantinya.

Pekat kabut yang menyelimuti Alor besar dan teluk mutiara mulai tersingkap seiring mendekatnya perahuku ke pelabuhan. Di tempatku berdiri, aku melihat banyak orang-orang berbeda dengan ku. Yang biasanya datang menggunakan kapal veri. Kapal yang jauh lebih besar daripada sampan kami. Tapi, mereka lebih banyak mengunakan pesawat perintis yang mendarat di Mali. Konon, kapal itu membawa mereka dari Kupang, hingga sampai ke Alor. Sebelum dari Kupang, entahlah…

Mereka, yang datang ke pulau ini, orang-orang bertubuh tinggi menjulang. Dari belahan barat, jika Indonesia disebut timur. Dari belahan utara, jika Indonesia disebut selatan. Merekalah yang lebih banyak membeli mutiara-mutiara kami. Tapi, tentu saja, kami tak langsung menjualnya kepada mereka. Karena telah ada majikan yang menunggu hasil mutiara yang kami bawa. Entahlah berapa uang yang kami dapatkan.

Orang bertubuh tinggi menjulang itu, dengan wajah yang tirus dan warna rambut kuning keemasan. Sangat kontras dengan kulit kami yang mendekati legam. Biasanya kami hanya melempar senyum. Karena kami tak pernah mengerti bahasa yang mereka gunakan. Ah, mungkin merekapun tak mengerti yang kami ucapkan. Mereka begitu suka menyorongkan benda berwarna hitam berbentuk kotak pada badannya dan berbentuk tabung pada bagian depan, ke arah kami. Bunyinyapun sangat aneh, cekrek… cekrekkk… Mereka menamainya kamera. Belakangan ada yang digital. Dengan harga yang bervariasi. Mulai dari satu juta hingga 20 jutaan. Lebih gila lagi harga barang elektronik bernama handycam, laptop, ah, dan yang saat ini lagi In, Blackberry… Banyak sekali. Aku sering melihatnya dari surat kabar dan majalah yang aku dapatkan bulan lalu, yang diterbitkan dua bulan sebelumnya.

Dengan sigap, aku melompat ke daratan, saat perahu kami menepi. Membantu bapakku menurunkan sejumlah barang. Ya, selain membawa mutiara, perahu kami juga membawa lima karung kemiri.

“Nak, pergilah mencari surat kabar pesanan kakekmu,” Teriakan tak ramah ayahku menghentikan kegiatanku yang berusah payah memikul sekarung kemiri kupas. Sontak, pamanku, Linus, menurunkan kembali karung kemiri kupas tadi dari punggungku.

Aku berlari, menuju daratan. Mendatangi sebuah toko kecil yang lebih mirip kios milik Yustinus. Kios terbuat dari gerobak. Beroda dua, berkaki tiga.

“Kakak, adakah Koran yang datang pada hari ini?” Sapaku pada laki-laki setengah baya tapi telah beruban di depanku ini.

“Ah, Kau,.. seperti tak pernah tahu saja jika pulau kita ini hanya mendapatkan pasokan surat kabar sebulan sekali. Dan pastilah beritanya sudah basi.” Sergahnya sambil menyorongkan setumpuk Koran berbagai jenis dan judul kepada ku. Aku hanya tertawa mendengarkan gerutunya.

“Untuk apakah kau membacanya, Nak?” Tanyanya.

“Aku ingin pandai, kakak.” Jawabku pendek, sambil membuka-buka Koran terbitan Jakarta.

“Jadi apakah kelak kau jika pandai? Dan berapa lamakah kau membutuhkan waktu akan pandai? Sekolahmu saja harus menunggu guru yang datang untuk mengajar. Lebih sering libur karena alasan badai laut.” Gerutunya tanpa memandangku dan tetap fokus pada pekerjaannya.

Aku tergelak mendengar keluhannya. Ya, di pulau ini, para guru sering kali tidak mengajar jika badai laut datang. Atau juga hujan yang sangat lebat. Aku sering kali harus menunggu sendiri di kelas. Karena di kelasku itu, teman-teman seusiaku akhirnya malas pula masuk sekolah. Mereka mengatakan sia-sia. Mereka lebih suka melaut bersama orang tuanya. Murit yang malas dan guru yang tak peduli,…

“Aku akan menjadi pemimpin negeri ini, kak,” Jawabku sambil memainkan mata dengan jenaka.

“Hah, bisakah kau menggantikan laki-laki tua itu? Sejak aku kecil, bahkan sejak ayahku bujang, laki-laki itu saja yang menjadi presiden,” Aku mengernyit.

“Soeharto?” Gumamku, tak yakin dengan dimaksudnya.

“Siapa lagi? Bukankah dia masih menjadi presiden?” Sergahnya tak peduli. Aku tertawa sekaligus sedih. Meski bekerja di sekitar pelabuhan Kalabahi, laki-laki berambut keriting yang tinggal di pedalaman pulau Pantar Alor itu sama sekali tak tersentuh informasi. Kekayaan dan keindahan alor tak membuatnya, dan kami, turut merasakan kenyamanan seperti yang diberitakan. Tentang diving, tentang snorkling. Permainan-permainan yang banyak dilakukan orang-orang tinggi menjulang itu. Di Pulau Kepa, atau Teluk Mutiara, atau Alor Kecil, atau, entahalah, banyak sekali tempat yang mempesona di pulau ini. Tapi kami, tetap saja harus bekerja keras menghindari kelaparan, meski tetap terjerat kemiskinan.

“ Tidakkah kakak ikut pemilu presiden tahun 2004 lalu? Bahkan sebelumnya, presiden kita telah berganti tiga kali, Kak, setelah Soeharto.” Aku mengingatkannya.

“Ah, masa? Ku kira, sama saja. Lalu siapa presiden kita sekarang? Tidakkah kau merasa mereka mirip?” Jawabnya tetap tak peduli.

Iya kakak, mereka sama, batinku. Tidak hanya presiden yang sekarang berkuasa yang mirip dengan presiden Soeharto. Tiga presiden sebelumnya juga sama saja. Kau, aku, dan semua penduduk di Alor ini, tanpa pernah mencecap madu pembangunan, telah menanggung hutang Negara pada lintah darat IMF tanpa pernah tahu telah kita apakan uang pinjaman itu? Akibat ulah mereka. Pertumbuhan dan peningkatan sisi ekonomi sebagai keberhasilan pemerintah, yang digembar-gemborkan di sejumlah koran dan majalah yang aku baca bulan lalu, sama sekali bullshit! Sebab hidup kami tetap saja seperti ini. Di antara kubangan kekurangan dan kemiskinan. Meski kami tetap bahagia. Terpaksa bahagia,…

“Kakak, bahkan kita akan memilih presiden lagi, beberapa hari lagi,” Aku menjelaskan.

“Ah, mengapa dipilih lagi? Apa pengaruhnya bagi kita? Tokh kita, sejak turun-temurun, beginilah nasibnya. Tak berubah. Malah semakin sulit. Orang-orang berkulit putih itu banyak datang kemari. Katanya membayar untuk melihat kehindahan Alor kita. Tapi apa yang ku dapat tokoku tetap saja seperti ini, toko peninggalan ayahku. Malah kemarin aku diberinya surat pemberitahuan penggusuran. Katanya karena tokoku ini tak elok dipandang. Semacam kaki lima atau apalah dia kata. Sudah ku bilang, kaki masih ada dua, kenapa disebut lima? Nah kau, nak, orang-orang yang memberiku surat itu katanya orang berpendidikan. Tapi tak bisa membedakan jumlah kaki seseorang. Beruntunglah dia tak sebut aku berkaki empat macam hewan. Kalau sampai terlontar, ku panggil kawan-kawan sekampungku, ku suruh serang, dan kita berperang,” Protes polosnya semakin membuatku termangu.

Dia benar. Tak ada yang berubah dalam kehidupan kami. Meski presiden telah berganti. Meski wakil rakyat berganti. Koran dan majalah yang aku baca, sebulan sekali datang. Sepeda motor hanya dikenal di masyarakat pelabuhan kalabahi atau ibu kota Mali. Selebihnya, kami mengenal kaki sebagai alat transportasi.

Dulu, waktu jaman pak Tua itu, kami dipaksanya makan nasi. Demi alasan kesejahteraan. Padahal, tanah kami tak bisa menghasilkan padi. Kami bahkan harus muntah selama berbulan-bulan untuk belajar makan nasi. Sekarang, setelah semuanya terbiasa, kami harus menunggu pasokan dari jawa atau tempat lain.

Aku melangkah gontai. Tetap membawa setumpuk Koran dan majalah yang aku pesan tadi. Pikiranku berkecamuk. Memikirkan kembali cita-citaku. Menjadi orang pandai? Menjadi pemimpin negeri ini?

“Pandai saja tidak cukup cucuku, negeri ini telah dipenuhi orang pandai. Tapi tak pernah selesai juga urusan pencurian. Mulai dari pencurian karena urusan perut, sampai pencurian karena urusan serakah,” Itu dikatakan kakekku, saat aku mempertanyakan kenapa aku harus pandai. Di suatu malam saat aku tak bisa lagi menemukan jawaban atas pertanyaan Yustinus.

Ya, Kakeklah yang memintaku untuk menjadi orang pandai. Selalu membaca. Mencekoki ku dengan buku-buku tua yang disorongkannya padaku. Buku-buku koleksinya, yang entah didapatkan dari mana. Membaca Koran-koran juga majalah atau apa saja. Bahkan ia mengajariku membaca situasi, membaca tanda-tanda alam, membaca otak-otak culas atau juga membaca penderitaan orang lain.

“Terlalu banyak kepura-puraan yang dibangun di negeri ini, nak. Kebenaran ditutupi demi kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat. atas nama proletar, atas nama kaum buruh dan pekerja. Atas nama kaum tani dan kaum miskin. Atas nama warna kulit atas nama bangsa atau etnis. Atas nama entah apa lagi,” Itu diceritakannya sebagai dongeng sebelum tidur, di malam-malam sebelumnya.

“Semuanya, cucuku, meletakkan kekuasaan sebagai tujuan. Orang-orang pintar itu, tak pernah miris dengan berpuluh juta korban yang berjatuhan yang diakibatkan. Dan mereka yang berlabuh di singgasana kekuasaan, mengabaikan yang diatasnamakan tadi. Sibuk mengurusi kekuasaan, selingkuh dan memperkaya diri. Mereka bersandiwara dan main komedi,” Itu dikatakannya sambil menatap jauh ke depan. Memandang bintang-bintang di langit kami yang belum tercemar dengan cahaya lampu.

“Jaman ini, atau jaman lalu. Tak ada yang berubah, nak. Sesuatu yang ideal justru digerus jaman. Tengoklah Tan Malaka, orang pertama yang mempunyai ide tentang republik ini. Naar de Republic. Ia, tak pernah menjadi apa-apa. Ia dikhianati oleh orang-orang yang justru menggunakan otaknya untuk memimpin negeri ini. Haha, kuburannya saja tak pernah ditemukan,” Ada nada kemarahan saat ia mengucapkan rangkaian kata terkahir ini.

“Lalu kenapa aku harus pintar, Kek. Tidakkah kakek takut aku seperti mereka?” Tanyaku heran. Lebih heran lagi dengan penjelasannya.

“Untuk sebuah perubahan, cucuku. Kau akan membunuh semua orang yang telah menjual Negara ini. Kau akan memotong generasi yang memperkosa nusantara ini. Karena keserakahan berbungkus intelektualitas mereka hanya akan dilawan dengan kepintaran pula. Tidak dengan kebodohan,” mata tua itu menyorot syarat harap.

Kakek, yang selama ini ku kenal hanya memegang kail untuk memancing ikan di laut lepas, dan sesekali mencatat tentang sajak-sajak di sebuah buku usang. Kakek yang hanya mengeluarkan satu persatu buku yang disimpannya di sebuah peti tua. Untuk ku baca. Menjawab sesekali tentang yang tak ku mengerti dari buku-buku tua itu. Dan lebih suka berbicara banyak saat aku beranjak tidur. Menceritakan tentang nusantara sebagai dongeng. Bumi pertiwi yang sakit. Yang dikhianati oleh anak-anaknya sendiri…
“Tenanglah, kau tidak sendiri. Orang-orang terlupakan itu telah mempersiapkan titisan mereka untuk berjuang bersamamu. Hampir di seluruh negeri ini. Kau akan terhubung dengan mereka, suatu saat nanti. Kami memang harus menunggu dan bersabar. Untuk melakukan perubahan ini.

“Kelak, saat terjadi revolusi, buatlah revolusi yang sempurna. Jangan seperti beberapa perubahan yang terjadi selama ini. Entah revormasi atau orde baru, yang tampak seperti orang operasi Caesar. Tuntaskan semua, cucuku, karena perubahan ini untuk kekekalan,” Tatapnya semakin jauh ke depan, ke laut lepas.

“Lalu siapa kakek, sebenarnya?” Tanyaku penasaran.

“Aku, termasuk dari orang-orang terlupakan itu,” Jawabnya sambil bernafas, berat.



18 June 2009

… and, end!

Cerita pendek karya Senja Madinah

Senja ini tak seperti senja kemarin. Tak sedang kulihat akting-akting murahan tayangan televisi. Tak sedang kudengar tangis di dalam box ajaib yang kupelototi menjelang azan. Atau tak ladeni ocehan teman-teman sekost-ku berkomentar tentang mereka, yang tak kami kenal, dalam televisi. Dan, Senja ini begitu indah. Ketika kau duduk di sisiku. Di antara berderet kursi yang melaju. Di antara penumpang lain. Di antara serpihan khayal yang kini nyata. Ah, senja ini menghadirkan moment.


Tapi senja ini begitu berharga. Tak seperti moment kemarin atau lusa. Dan aku begitu memujanya…
Tak lagi ku peduli ini mimpi atau nyata. Tak lagi ku peduli pandangan iri dari perempuan-perempuan lain di antara kita. Bahkan tak lagi kupeduli pandangan iri laki-laki lain yang duduk di depan, samping dan di belakang kita. Kau, duduk bersamaku.
Ah senja ini begitu berbeda. Tak lagi kurasa kantuk yang biasa menyerangku. Tak lagi kurasa penat meski ku tempuh puluhan kilometer. Tak lagi kurasa bosan meski hanya bisa duduk manis.
Dan, senja ini begitu tenang. Setenang aku mendengar celotehmu. Tentang masa lalumu. Tentang masa kecilmu. Tentang masa remajamu. Tentang kenakalan-kenakalanmu. Tentang kebodohanmu. Dan semua tentangmu.
Semua, membentuk gerakan. Perlahan tapi pasti. Slow motion… sl ow.. mo ti on… s l o w.. m o t i o n… s l o w .. m o t i o n…
Seiring biola di hatiku yang membentuk nada indah… menyayat!
***
Pagi ini tak seperti pagi kemarin. Tak sedang ku hadapi layar komputer dengan gambar diagram matriks dan hitung-hitungan matematis. Tak sedang kepencet-pencet tuts-tuts keyboardnya. Atau tak lagi kutiduri kasur empuk di kamar tidurku yang hangat, selepas shalat subuh. Tak lagi kudengar ibu-ibu penjual sayur yang bernyanyi tanpa nada, bak penyanyi rock. Tak lagi kudengar nenek tua penjual kerupuk dengan lengkingan suara minor memelas. Atau tak lagi kudengar suara tukang ngamen yang mulai bernyanyi bak artis Indonesian Idol.
Tapi pagi ini begiru berbeda. Bersepeda denganmu. Menyusuri jalan-jalan kampus. Menyusuri masa lalumu. Di antara benda-benda mati bersejarah. Mengantarmu bernostalgia, menenggelami keindahan masa lalumu yang manis dan pahit. Menemui si penjual nasi pecel andalanmu ketika tak punya uang. Mengantarmu melihat kembali bengkel pemandian mobil, tempatmu mengais rejeki. Mengantarmu melihat gedung bioskop favoritmu, yang telah berubah menjadi kantor koperasi. Menyusuri jalan-jalan menuju tempatmu menggantungkan harapan. Menghadapi kenyataan kegagalan yang tak terelakkan. Hingga terdampar di kota yang mempertemukanmu dengan ku…
Dan, pagi ini begitu istimewa. Melihat senyum lepas, binar mata penuh makna. Dengan bangga. Dengan konyol. Dengan haru. Dengan tangis tertahan. Dengan campur aduk emosi yang jarang sekali ku lihat di matamu, di senyummu, di keseharianmu…
Dan semua membentuk gerakan. Perlahan tapi pasti, slow motion… sl ow.. mo ti on.. s l o w … m o t i o n… s l o w … m o t i o n…
Perlahan kuraba tampuk hatiku, dengan gesekan biola yang membentuk nada indah… menyayat!
***
Seperti juga malam ini. Tak seperti malam kemarin. Tak lagi mudah kupejamkan mata kantukku. Diantara kepenatan fisikku. Diantara kepenatan pikirku. Tak lagi ke turn-on komputer sekedar melihat data yang akan ku bawa bimbingan esok pagi. Tak lagi kudengar jeritan dendang-dendang winamp di dalamnya. Atau buku-buku bacaan penghantar tidurku.
Mendengarmu berceloteh dalam pesawat HPku. Sekedar bersenda penghantar tidur. Sekedar mereview beberapa agenda yang menjadi tugas dan tanggung jawab ke depan. Sekedar berpikir ringan tentang rencana organisasi, yang sama-sama kita tekuni. Meski sekedar mendengar order pulsamu yang minta diisi. Di antara akting-akting yang terkemas dalam film tahun delapan puluhan. Di antara iklan-iklan yang bergantian memenuhi layar kotak berukuran 14 inch.
Hingga kau tutup pembicaraan. Tetap saja malam ini tak seperti malam kemarin. Di antara keinginanku untuk merajut mimpi setelah do’a malamku. Di antara kenang jelajah waktu 30 jam yang lalu.
Dan semua membentuk gerakan. Perlahan tapi pasti, slow motion… sl ow.. mo ti on.. s l o w … m o t i o n… s l o w … m o t i o n…
Seiring gapaianku menyentuh relung hatiku. Dengan gesekan biola yang membentuk nada indah… menyayat!
***
Dan begitulah, hari ini tak seperti kemarin. Di antara akting-akting yang penuh dramatisir. Di antara tuts-tuts keyboard komputer. Di antara buku-buku tebal.
Di antara keterjagaan dari kesadaranku. Di antara kegundahan dari rasaku. Di antara khayal dari harapanku.
Tak lagi ku lihat engkau duduk di sisiku. Mendengarmu berceloteh, mengajakku memasuki alam masa lalu. Dengan pandangan iri dari perempuan-perempuan sebayaku. Dengan pandangan tak senang laki-laki yang duduk di depan, samping dan belakang. Tak lagi tak peduli ini mimpi atau sekedar nyata yang irasional.
Tak lagi ku telusuri jalan-jalan kenangan yang membuatmu tertawa lepas dengan campur aduk emosi di dalamnya. Tanpa kekonyolan yang kau ceritakan dengan bangga. Tanpa peras keringat mencuci mobil-mobil demi sesuap nasi, yang kau katakan dengan pahit. Tanpa gedung bioskop yang telah beralih fungsi menjadi koperasi yang kau lihat dengan kecewa.
Tak lagi ku dengar engkau berceloteh di kupingku, lewat kecanggihan HP. Tanpa pembicaraan tentang rencana ke depan, di antara keterjagaan di sepertiga malamku. Tanpa lagi berbicara dengan alasan organisasi sekali pun. Meski tanpa tumpukan buku penghantar tidurku. Meski tanpa akting-akting artis tahun delapan puluhan.
Meski tetap tak kuhadapi layar komputerku. Meski tak lagi ku pencet tombol-tombol dalam keyboard komputerku. Meski tanpa setumpuk buku. Meski ku lantunkan doa di sepertiga malamku.
Di antara ketakpedulianku ini khayal ataukah nyata. Kenyataan, menyeretku pada fenomena berbeda. Bahwa ini benar-benar nyata. Bahwa kau bersamanya adalah nyata. Bahwa kau bukan milikku adalah nyata. Bahwa kau hanya impian di siang bolong adalah nyata. Bahwa kau hanya sebuah harap diantara khayal adalah nyata. Bahwa tepukan sumbang sebelah tangan inipun nyata.
Dan semua membentuk gerakan. Perlahan tapi pasti, slow motion… sl ow.. mo ti on.. s l o w … m o t i o n… s l o w … m o t i o n…
Seiring doa egois yang ku lantunkan, bersama gesekan biola membentuk nada indah… menyayat!
Di antara seripihan keping hati yang hancur tak terelakkan. Doa egois seiring gesekan biola membentuk nada indah menyayat itu tentang…
Tuhan, ijinkan aku memilikinya…

3 juni 2006

24 May 2009

Hujan

Sebuah cerpen karya Senja Medinah

“Shit!” menandakan kemarahannya memuncak. Matanya yang tak terlalu bulat tetapi juga tak sipit menyala-nyala. Kedua kelopak matanya kadang mengerut. Memperbesar pupil dan memandang jauh ke depan. Aku mendapati ekspresi itu saat ia menerima dan berbicara serius dengan telepon. Entah apa yang dibicarakannya.


My name is Rain,…
Tidak, bukan. Namaku Rian. Riantono, panjangnya, Agus Riantono, lengkapnya. Tapi perempuan bermata cokelat, berhidung mancung itu memanggilku Rain. Di suatu pagi, saat aku malu-malu melihat wajahnya yang unik. Tidak cantik. Tapi tidak cukup satu kali aku ingin memandangnya. Bahkan pandanganku ingin selalu tertuju padanya. Bukan karena ramah dan menarik perhatian. Justru karena sikap cuek cenderung tak peduli, yang membuat ku penasaran. Entahlah, ini hanya fantasiku yang berlebih atau semua orang berpikir sama tentangnya.

“Kau mengingatkanku pada hujan,” Begitu ia beralasan, saat aku mengoreksi panggilannya terhadapku, yang kukira tergelincir.
Hujan.

Hujan yang menurutnya menghadirkan berbagai macam pesona dan rasa. Hujan yang membawa suasana romantis. Begitu syahdu. Sebab itu, ia sangat percaya jika aku termasuk laki-laki playboy. Pria flamboyan yang begitu banyak digemari perempuan-perempuan. Dengan perwatakan kalem yang aku bawakan. Tapi jangan disangka, menurutnya, aku termasuk tipe orang yang tidak mau rugi saat menjalih hubungan dengan lawan jenis. Seperti gerimis. Itulah maknaku, menurutnya.
Kau, memberiku jap yang begitu telak, hingga membuatku tak berkutik dan hanya bisa tersenyum.

Ia begitu menyukai hujan. Hujan, segalam macam hujan. Hujan rintik-rintik, gerimis. Bahkan hujan dengan kilat menyambar-nyambar. Juga hujan dengan petir yang menggetarkan getir. Tentu saja ada yang spesial diantara berbagai jenis hujan tadi. Dan terciptalah puisi yang dibuatnya untuk hujan;

Seperti gerimis yang lebih ku suka daripada hujan...

Hmm,… berarti dia dengan sengaja menyebut namaku Rain. Dan sejak saat itu, dia suka memanggil ku sekenanya, seenaknya. Kadang Rain, kadang Huj, kadang Jan, kadang juga Hujan.

Rain, aku suka dipanggil begitu. Sebab ketika ia menyebut kata itu, wajahnya yang ceria, tiba-tiba sendu. Syahdu… Tanpa sebab yang jelas. Tidak sedih, tapi juga tidak mengesankan wajah yang gembira. Dan di titik itu, semakin besar keinginanku memandang wajahnya. Aku ingin menyelidik ke dalam matanya. Atau jika perlu mengaduk kedalaman hatinya.

Tidak, aku tak selancang itu memandang wajahnya dengan sengaja dan terang-terangan. Aku, yang seumur hidupku tidak mengenal rasa malu, cenderung agresif, padanya aku lebih suka mencuri pandang. Tapi, aku tetap bisa menggambarkan wajahnya dengan detil.

Wajahnya yang bundar, alisnya yang tebal, matanya yang cokelat, cerdas. Hidungnya yang bangir, lancip. Pipinya yang tembam, bibirnya yang penuh. Di balik bibir itu, terselip gigi yang gingsul. Menambah kesan manis saat ia menyeringaikan tawa.

Tidak, wajah itu tidak terlalu istimewa. Tapi entah, aku terpikat padanya. Pada pandangan kedua. Saat ia justru tidak peduli padaku. Saat ia hanya asyik dengan sebuah buku setebal lima ratus atau enam ratus halaman. Begitu tenggelam dan menyelam pada rangkaian kata yang terangkai di dalamnya, entah apa. Bahkan ia tidak begitu peduli pada hiruk-pikuk warung sekumpulan komunitas yang mempertemukan kami menjadi teman seprofesi.

“Ada info apa?” Tanyaku, kali ini memandang wajahnya.

“Tadi ada penggerebekan illegal logging. Taman Nasional. BB-nya tujuh truk kayu rimba. Pelakunya, udah ditahan di Polres,” Jawabnya, tanpa mengurangi konsentrasinya pada buku yang dibacanya.
_***_

“Nama, Raisya Diva. Nomor Induk Mahasiswa, satu kosong, satu kosong, satu kosong, tujuh dua. Nilai Indeks Prestasi, Tiga koma lima empat. Cumlaude,” Teriakan yang lebih mirip deklamasi itu menyentakku. Tidak hanya tersentak dengan suaranya yang sangat keras dan lantang. Tetapi juga menyentak kesadaranku. Gilakah perempuan bermata cokelat berhidung lancip ini? Deklamasi itu dilakukannya berulang-ulang. Dengan wajah yang sulit ku gambarkan. Dengan jawah yang sulit ku jabarkan.

“Akhirnya, lulus juga,” Gumamnya, tanpa mengurangi kesan cuek dengan gelengan kepala dan cekikikan orang-orang di sekitarnya, maklum.

“Masa studinya kok nggak disebut, Ray?” Seorang kawan nyeletuk menggoda. Perempuan itu membolakan mata dan tertawa.

“Oh, Iya,ya? Ada lama studi ya? Wah, alamat malu nih, kalo disebut masa studi….” Timpalnya panic yang lebih cenderung mengesankan jenaka.

“Emang, berapa lama kamu kuliah, Ray?” Tanya kawan yang lain.

“Rahasia!!!” Jawab perempuan yang lebih akrab dipanggil Raya ini cuek. Yang bertanya memandang keki, tanpa merasa tersinggung. Sementara yang lain, menimpali guyonan-guyonan lain yang lebih membuat riuh suasana.

Sekali lagi, ia membuatku takjub. Sekali lagi aku ingin memandang wajahnya, mengarungi kedalaman hatinya. Menjelajahi yang tersimpan dibalik mata berwarna coklat itu. Atau sekedar menanyakan, apa yang sedang kau rasakan, Raya? Ah,…

“Rain,” Panggilnya tanpa menolehku. Setelah semua tawa mereda. Tanpa mempertimbangkan harga diriku, ku tolehkan kepalaku yang sedari tadi hanya ku lirikkan bagian mata kepadanya. Mata itu, berangsur sendu. Seolah menikmati sebuah siksaan batin yang hanya dirasakan di kedalaman relung hatinya.

“Aku kangen hujan. Saat hujan, biasanya aku akan tidur bersama tiga saudara dan ibuku. Dalam satu ranjang besar, di kamar ibu. Semua akan berebut tidur di sisi ibu. Biasanya, dua adikku tak mau mengalah. Biasanya, kakakku juga tak mengalah. Akhirnya aku tidur di pojok. Paling pojok, karena ibu memilih tidur di pinggir. Mungkin takut anak-anaknya terjatuh,” Hah, ia hanya kangen tidur?

“Mungkin, saat wisuda besok, semua keluargamu bisa berkumpul,” timpalku lebih jauh mengartikan maksud ceritanya.
Ia hanya menggeleng…
_***_

Aku melajukan motorku dengan kencang. Berusaha tetap konsentrasi pada padatnya jalan oleh kendaraan yang belalu-lalang. Menghindari truk yang melaju berlawanan. Mendahului bus yang melaju searah. Mengencangkan gas di tangan kanan untuk stabil di angka 100 kilo meter perjam. Menyiapkan kopling di tangan kiri, agar tak kehilangan kendali. Menginjak rem di kaki kanan dan gigi di kaki kiri. Berbelok ke kiri untuk menghindari lampu merah, berbelok ke kiri lagi.

Di pinggangku, dua tangan melingkar kuat. Aku tersenyum. Hatiku, berada di jok belakang. Pada perempuan yang duduk di belakangku. Bermata cokelat berhidung lancip.

Ia tidak takut dengan kecepatan tinggi. Sangkaku, ia justru terbiasa. Ku kira ia justru menikmati dan dapat mengimbangi dengan lenggak lenggok badannya mengikuti arah Black Jack, panggilan kesayangan sepeda motorku. Meski di beberapa momen, saat sepeda motorku berada di diantara truk tronton dan bus, ia merapatkan tubuhnya.
Begitulah aktifitas yang sering aku lakukan belakangan. Berburu bersamanya. Dan ternyata, selain sesama pemburu, dia dan aku sesama musisi. Penyanyi di beberapa rumah karaoke. Menjajal semua jenis lagu, mulai rock hingga dangdut. Mulai barat sampai timur tengah. Komplit. Menurutku, tak ada yang spesifik yang ia geluti di bidang musik. Meski ia mengaku lebih menyukai aliran jazz. Ku dengar ia sering menggerutu saat melihat daftar lagu new entry.

“Cemen banget,” Komentarnya, sambil tetap mencari-cari lagu yang ia suka.

Ku akui, pilihan lagunya boleh juga. Mulai dari yang terkini lagu-lagu The Fly, Ipank. Agak lama, lagu-lagu Gigi. Untuk group musik ini, ia mengaku sangat menggemarinya. Aku percaya, sebab ia banyak menghafal lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Armand Maulana itu. Lebih lama lagi ia menyukai Nicky Astria, bukan Nike Ardila. Dan lebih lama lagi, ia malah tenggelam dengan lagu-lagu Ermi Kulit, Dian Pramana Putra, Fariz RM, January Christy. Beberapa lagu barat yang ia suka lebih bingung lagi. Selain alunan musik Santana, ia memilih lagu-lagu barat sekedarnya, cenderung bernostalgia dengan masa-masa saat ia di bangku SMP atau SMA, ku kira. Seperti Ronan Keating, bukan Boyzone, Robby Wiliam, bukan Take That, Roxxette’s, Desree, Emilia, Sixpen None The Ritcher, Mechael Learns to Rock, dan beberapa lagu legenda.

Di sesi jazz ini, aku melihatnya begitu berbeda, sangat menikmati dan alami. Menyanyi dengan mata yang merem-melek, menunjuk-nunjuk dirinya dan orang lain, tangan ke atas, memegang dada, memicingkan mata, mengerutkan alis, menaikkan batang mike yang dipegang setara dengan mulut, seperti layaknya penyanyi papan atas. Tak lupa sikap cuek. Kadang ku dengar ia mengganti beberapa kata dengan kata-katanya sendiri. Entahlah, disengaja atau tidak. Tapi, setiap kata yang tergelincir itu selalu satu kata yang sama. Tak ku mengerti bahasanya, tak terlalu jelas pula bunyinya.

Ah, tidak. Bukan. Bukan hanya aku dan dia, tidak hanya dia dan aku. Tepatnya, kami dan beberapa kawan sesama pencari nafkah di jalan raya, di pusat bahaya, yang sering berkunjung ke rumah bernyanyi itu. Kami, aku, dia dan beberapa kawan, bahkan sempat membuat band dan latihan seminggu sekali. Yang membuatku tertawa, ia malah menyanyikan lagu Jadikan Aku Yang Kedua…
Lagu itu membuatku melayang di udara yang tak bebas polusi …
_***_

“Kenapa matamu begitu sendu saat manggil ku Rain?” Itu pertanyaan yang sangan ingin ku sampaikan di suatu sore, saat aku mulai dekat dengannya, dengan perempuan bermata cokelat berhidung lancip itu.

Urung…

Aku yang tak mengenal rasa takut, entah mengapa keberanianku hilang saat aku berada di depannya, di sebuah warung kopi yang begitu banyak orang. Yang lebih penting adalah, aku tidak ingin dia berpikir aku bertanya tentang hal yang tidak penting sehingga sangat mungkin ditertawakan. Setidaknya ia akan berpikir, kenapa aku begitu suka mengurusi urusannya.

Aku hanya bisa menunggu. Sampai dia sendiri yang angkat bicara padaku. Sampai dia sendiri yang bercerita. Sambil aku meraba-raba kedalaman hatinya,…

Tidak, dia bukan orang yang tertutup.

Adakah dia juga menyukaiku? Jangan tanyakan itu padaku. Sebab aku tak tahu. Tak benar-benar tahu, tepatnya. Sifatnya yang ceria justru mengaburkan semuanya. Tingkahnya yang supel memendarkan pesona pada semua yang mengenalnya. Saat ia menyapaku hangat, ia pun menyapa kawan-kawan yang lain tak kalah hangat. Ketika ia begitu aware menanyakan keadaanku saat rumahku disatroni maling, ia pun begitu perhatian saat yang lain terjatuh sakit.

Aku terjebak.

Bukan. Perempuan itu bukan gadis yang lemah gemulai yang selalu bersikap manis pada semua orang untuk menarik perhatian. Suaranya berat. Tawa khas ‘ha..ha..ha..’nya yang renyah cenderung dihindari perempuan-perempuan yang tlah terkooptasi tradisi atau etika yang diajarkan di sekolah kepribadian. Bahkan, tangannya yang begitu ‘ringan’ mendarat di pundak atau menancap di kepala, sangat jarang kutemui dilakukan kawan-kawan perempuanku yang lain. Sikap berang yang juga tak segan-segan ia munculkan saat moodnya menurun atau ketidaksetujuannya pada sesuatu yang dianggap menyimpang dengan pemikirannya.

“Shit!” menandakan kemarahannya memuncak. Matanya yang tak terlalu bulat tetapi juga tak sipit menyala-nyala. Kedua kelopak matanya kadang mengerut. Memperbesar pupil dan memandang jauh ke depan. Aku mendapati ekspresi itu saat ia menerima dan berbicara serius dengan telepon. Entah apa yang dibicarakannya.

Karena itu ia begitu istimewa. Begitu anomali. Ia begitu misterius justru dengan segala keterbukaannya. Seperti sebaris puisi yang pernah ia tulis di buku catatan kecilnya;

Seperti gelap yang lebih membuatku aman daripada terang,…

Hujan,… gumamku, menirukan caranya memanggilku.

“Terang gini kok dibilang hujan, mas?” Aku tersentak. Lebih tersentak karena aku sedang berada di rumah. Bersama istri dan anakku. Aku jadi salah tingkah, saat istriku menatap menyelidik.

“Kamu itu belakangan ini kok aneh mas,” Tanpa menunggu jawaban pertanyaan sebelumnya, istriku bersiap untuk memprotes. Aku mulai mendengar genderang perang dibunyikan. Aku menunjukkan rasa tak suka dengan rautku, meski belum menjawab atau memprotes ucapannya.

“Belakangan kamu juga sangat sibuk. Pulang malam, terus. Tidak lagi ada waktu untuk kami,” Suaranya bergetar. Mungkin menahan gejolak emosi yang berusaha ia kendalikan.

Beep,beep,…

HPku berbunyi. Memberikan kabar untuk berburu.

“Keluar lagi? Kerja lagi?” Tanpa bertanya apa isi pesan singkat yang baru ku terima, nada suara istriku semakin meningkat.

“Sudahlah, kamu juga tahu to, pekerjaanku memang seperti ini, bahkan sebelum kita menikah dulu. Aku kerja banting tulang ini juga untuk siapa? Untuk kita, kan?” Kali ini aku mempunyai kesempatan untuk memberikan serangan balik, sambil bergegas memasukkan semua peralatan ke dalam tas.

“Tapi ini hari minggu, mas. Kamu nggak pingin libur ta?” Suaranya semakin melengking seraya mendekatiku.

“Bukankah kamu juga sudah tahu kalau pekerjaanku ini tidak mengenal waktu, tidak ada kata libur? Kalau aku menuruti kamu setiap hari di rumah, apakah kamu tidak berpikir bahwa aku akan dipecat? Kamu, Velly, makan apa?” Aku membalas tak kalah sengit.

Pertengkaran kami terhenti saat suara tangis Velly dari dalam kamar, terbangun dari tidurnya. Ia bergegas menuju kamar, sementara aku bergegas mengambil kunci black jack, memacunya, membelah jalanan, menuju kebebasanku…
_***_

Ia tertunduk gelisah. Sesekali melihat ke langit yang mulai mendung. Perlahan menitikkan rintik. Kemudia memuntahkan hujan. Deras, begitu deras… ia semakin gelisah. Mengeluarkan HP dari kantungnya, yang beberapa detik sebelumnya dimasukkan. Memencet tombol pembuka kunci. Menggeleng, menguncinya kembali. Memasukkan dalam kantung kembali, memandang ke langit yang terus menangis.

“Kira-kira di tempat lain hujan nggak ya?” Tanyanya lebih pada diri sendiri.
“Hmm, capek-capek nunggu pagi, malah hujan.” Sambungnya.
“Bukannnya kamu suka hujan?” Tanyaku mengingatkannya.
“Entahlah,” menggantung. “Kamu tahu, setiap malam menjelang tidur, aku selalu gelisah. Besok masih bisa melihat matahari apa nggak,” Aku menunggu.
“Karena belakangan ini, aku begitu menyukai pagi,”

Pagi, menurutnya menghadirkan optimisme dan harapan baru. Semangat baru untuk berbuat sesuatu yang baru dan bermakna. Mengejar cita-cita. Dan matahari adalah semangat itu, pembakar energi untuk berbubah, berbuat dan bergerak. Matahari, sumber semangat sekaligus sumber energi. Dan di suatu pagi itulah ilmu diajarkan, kecerdasan diasah, kebodohan diberantas, keputusan dibuat.
Adakah aku telah mempunyai saingan yang kau suka?

“Mungkin di belahan dunia lain saat ini sedang cerah,” Tukasku, menenangkannya.
“Yah, sure,…”Ia mengembangkan senyum, terkesan pasrah.
_***_

“Dulu, aku begitu ingin menjadi bintang jatuh, bintang berekor,” Itu diceritakannya pada suatu malam saat kami menunggu waktu untuk berburu suatu peristiwa penting.

“Bintang jatuh hanya berkilat sebentar. Menerangi malam yang pekat. Begitu mengesankan. Tetapi hanya sebentar. Karena itu, umurnya tak panjang. Tetapi mengesankan, dan akan selalu diingat keindahannya.

“Konon, menurut orang tua, bintang jatuh adalah sebuah pertanda. Pertanda sesuatu yang besar akan terjadi. Tanda itulah yang terlihat saat nabi Nuh membuat bahtera menyelamatkan orang-orang beriman dalam sebuah banjir bandang yang tak terkira hadirnya. Bintang berekor itu pula yang memberi pertanda saat nabi Ibrahim dibakar oleh raja Namrud. Bintang itu juga muncul saat orang shaleh bernama Musa berhasil membelah laut merah saat dikejar oleh Fir’aun, penguasa tangan besi.

“Menurut beberapa cerita, bintang berekor itu juga muncul saat Soeharto turun dari takhtanya sebagai presiden seumur hidup,” Aku mendengarkan dengan seksasama. Menikmati setiap tekanan nada suara yang begitu dalam. Ku rasa ini tidak sekedar keinginan.

“Jadi, tak masalah bagiku berumur panjang atau pendek. Asal bisa membuat kesan yang akan dikenang sepanjang jaman, apa lagi yang ditunggu selain kematian?” Ia menyunggingkan senyum, samar, penuh makna, seperti berusaha melenyapkan amarah yang ingin mencelos, keluar dari sorot mata cokelatnya.

“Sekarang?” Itu pertanyaanku pertama, setelah ku rasa ia terlalu lama berdiam.

“Sekarang aku ingin seperti senja. Sebuah momen peralihan yang juga tak lebih dari lima menit. Menghadirkan suasana magis. Sebab semua tanya akan hadir pada saat itu, akankah masih ada hari esok, atau malam akan terus melumat mereka hingga kea lam kubur. Senja, mengantarkan dunia untuk beristirahat dalam kelam malam dan mimpi-mimpi yang merupakan pengejawantahan alam bawah sadar makhluk, harapan, ketakutan, cita-cita dan keinginan yang terpendam. Senja sekaligus memberikan harapan dan janji bahwa besok, matahari akan datang lagi,” Ia kembali tersenyum, matanya lebih berbinar. Indah sekali.

Meski kehadirannya tak lebih dari lima menit, Senja, menurutnya, tak terlalu tergesa. Sehingga, makhluk sama sekali tak sadar telah kehilangannya dengan berganti malam. Pesona yang diberikan tak kalah dengan bintang berekor, namun menjanjikan keabadian. Suasana ini, membuatnya kembali menulis di sebuah catatan berbentuk sajak;

Seperti berjalan yang lebih membuatku tenang daripada berlari…

_***_
“Ini yang kamu bilang kerja?” Belum lima menit aku memejamkan mata dan memanjakan pikir dalam mimpi, lengkingan suara dari belakang mengagetkanku. Aku menoleh. Ku lihat istriku memegang HPku. Adakah pesan yang belum ku hapus?

“Kau jarang pulang gara-gara sibuk? Sibuk apa? Sibuk nyanyi di karaoke?” Amarah itu tak bisa terbendung.

“Pantas, saat kau bercinta denganku kemarin, kau mengerang-erang menyebut hujan. Adakah salah satu lagu yang berjudul hujan?” Kalau saja pertanyaan itu tidak dalam kemarahan, aku pasti tertawa. “Atau, ada orang yang begitu istimewa bernama hujan, kau sebut hujan?”

“Ayolah, aktifitas itu tidak ku lakukan setiap hari. Itupun ku lakukan jika diajak oleh bos-bos... sama kawan-kawan yang lain.” Aku berusaha keluar dari kemarahan yang tak terprediksi ini.

“Kau lebih memilih berkaraoke dengan kawan-kawanmu daripada bersama anak istrimu yang begitu merindukanmu, membutuhkanmu?” Sebuah vas bunga melayang membentur tembok. Aku berhasil menghindar, sambil berpikir cara menenangkannya.

Beep,beep… Suara penanda SMS masuk berbunyi lagi. Belum sempat aku meminta HP yang masih di genggamannya, ia sudah memuntahkan amarah lagi.

“Raya? Siapa itu Raya? Teman kerja, teman karaoke? Atau dia si hujan yang sering kau sebut-sebut dalam tidurmu?” Tanpa terduga, HP itu melayang di udara. Kali ini aku tak bisa menahan amarahku. Apalagi setelah dia menyinggung-nyinggung Raya. Aku tidak terima. Emosi yang tak terbendung ini menyebabkan barang-barang di rumah kami melayang. Mulai dari gelas, piring, mangkuk, stoples, semua barang pecah yang mudah belah. Kami bahkan tak menyadari kehadiran Velly di tengah-tengah kami. Kakinya yang telanjang menginjak semua pecahan kaca yang berserak dimana-mana. Kami baru tersadar saat suaranya melengkin kesakitan disertai ceceran darah yang mengucur di mana-mana.
_***_

Aku tertegun melihat pemandangan di depanku. Saat ku lihat bayangan perempuan yang begitu ku kenal. Bermata cokelat berhidung mancung. Berdiri terpekur di sebelah sepeda motornya. Tanpa peduli pada manusia ataupun kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. Bahkan mungkin ia tak merasa tengah ku perhatikan, atau pula diperhatikan oleh orang-orang di sekitar tempat umum ini.

Wajah yang biasanya disertai senyum di bibir, kini digelayuti mendung. Matanya yang bening dengan bola berwarna cokelat itu digelayuti kristal-kristal bening yang siap meluncur.

Rencanaku menghampirinya terhenti saat ku lihat sesosok laki-laki, yang sebelumnya memunggunginya kini berbalik dan memeluknya erat.
Hatiku luruh…

Inikah matahari itu, yang menurutnya memberikan semangat untuk berbuat sesuatu, sumber energi, tempat bermulanya optimisme, tempat bermulanya suatu ilmu diajarkan? Matahari yang membuatnya berbalik menyukai pagi, berbalik keinginan dari seekor bintang menjadi senja yang menciptakan suasana magis dan harapan akan hari esok? Bahkan gelisah saat melihat hujann turun?

Kini, menjadi keping dan remah kecil…
_***_

07 May 2009

Di Stasiun Kereta…

Sebuah Cerpen karya Senja Medinah

Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Tak kupedulikan dinginnya angin pagi yang menusuk-nusuk hingga ke tulang rusuk. Tak kuhiraukan empuknya bantal dan hangatnya selimut yang biasa memelukku setelah ritualku. Bahkan tak kuindahkan tumpukan tugas akhir yang harus kupresentasikan kepada dosen pembimbingku, siang nanti.


Dan, ku di sini. Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Menjemput mimpimu. Melepas rindumu. Membahasakan cintamu. Menemui kasihmu.

Tapi kutetap disini. Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Mengkhawatirkanmu. Membawakanmu roti, takut engkau kelaparan dalam perjalanan. Mengingatkanmu membawa jaket kulit, khawatir engkau kedinginan dalam kereta ber-AC. Menyelipkan minyak kayu putih di dalamnya. Menyertakanmu beberapa pesan, khawatir engkau tertidur dan teledor dalam perjalanan.

“Isikan pulsaku dong,” pintamu. Seribu kali aku yakin dengan sangat. Pulsa itu bukan untuk menelphoneku. Pulsa itu bukan untuk sekedar menanyakan keberadaan dan keadaanku, bahkan hanya melalui pesan singkat. Pulsa itu, bukan untuk sekedar mengabariku bahwa kau akan pulang dengan cepat.

Tapi, tetap saja. Kuanggukkan kepalaku. Mengabulkan permintaanmu. Meski bukan untukku. Seperti halnya saat ini. Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Meluruhkan adrenaline-mu…

Hingga ku tetap di sini. Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Melihatmu sibuk menelephone. Memunggungiku. Mendengar pembicaraanmu. Sesekali dengan nada serius. Menggerutu. Lebih jelas dengan ketaksabaran. Menunggu keberangkatan kereta. Sambil menyedot rokok. Gelisah.

Masih, ku tetap di sini. Di stasiun kereta. Jam setengah 6 pagi. Mengantar kepergianmu. Yang berjalan menjauh. Diantara jejal penumpang. Diantara pedagang asongan. Menuju kereta yang siap berangkat. Tanpa menolehku. menggendong tasmu. Tanpa menolehku. Mencari kursimu. Tanpa menolehku. Tanpa memutus telephonemu. Tanpa menolehku.

Tapi, ku tetap di sini. Di stasiun kereta. Kini jam 6 pagi. Berkeras mengantarmu. Bersama kereta yang bergerak. Dengan lambaian tangan. Tanpa menutus telephonemu. Hingga menjauh.

Dan, ku tetap di sini. Di Stasiun kereta yang mulai sepi. Jam 6 pagi. Diantara pedagang asongan yang menjajakan koran dan permen. Diantara para pengantar lainnya. Meski tlah menjauh. Meski tlah tak tampak oleh mata. Meski ku tahu…
Ku, tetap di sini. Di stasiun kereta….

Kapan kau pulang?

29 March 2009

[Cerpen Mumung] Memilih Berteman Dengan Mimpi Buruk-habis

C. Subain

Mumung hanya terdiam, kala Jamila menanyakannya untuk pertama kali. Otaknya seperti tak bisa digunakan untuk berpikir. Hatinya teraduk. Kenangan lama atas pernikahan yang dia kenal, seperti terbayang. Perkawinan menjadi awal dari permusuhan. Cinta yang diagungkan, menjadi kobaran api benci saat pernikahan pupus di tengah jalan.


-----------------------------------------------------------
Ujung mata Mumung belum juga bersih dari ketek (kotoran di sudut mata-Jawa). Mimpi ketemu Umi Kalsum, ibunya yang sudah meninggal dunia setahun lalu, membuatnya menangis dalam mimpi. Tak terasa, dalam nyata pun sama. Sepanjang malam, Mumung menangis.

"Umiii,.."

Mumung merengek begitu terbangun saat Adzan Subuh terdengar. Jek Manyun, sahabatnya yang saat itu tertidur di samping Mumung ikut terbangun. Kepala Jek Manyun masih terasa berat. Efek Bir Hitam yang ditenggaknya semalam, belum juga hilang.

"Mung! Siapa yang kau panggil itu?"

"Nggak! Udah tidur lagi sana,.."

Jek Manyun menggerutu. Tangannya meraih tumpukan baju kotor di dekat kaki. Mengumpulkannya, dan menempatkannya di bawah kepala. Menjadikannya bantal.Grrrrr,...Jek Manyun kembali tertidur. Mumung terdiam. Bayangan Umi Kalsum tetap mengiang di kepalanya. Begitu jelas.

"Kau harus segera memutuskan,..kau harus segera memutuskan,.."

Kalimat Umi itu dalam mimpinya terus berulang-ulang. Dalam mimpi, Mumung hanya terdiam sambil menangis. Tangan Umi yang coba diraihnya pun, seperti semakin jauh.

"Umi, aku kangen,"

* * *

"Ah lama banget! Ngapain aja sih di dalam kamar mandi?!"

Jek Manyun ngomel saat melihat Mumung membuka pintu kamar mandi sambil mengusapkan handuk ke rambutnya. Mumung hanya tersenyum. Sudah memahami, Jek Manyun memang selalu manyun,..dalam situasi apapun.Bahkan, saat mendapatkan rezeki usai menjual sepeda motor Yamaha RX King miliknya dengan harga di atas rata-rata pun, Jek Manyun tetap manyun. Apalagi, saat mendapatkan musibah kehilangan handphone Nokia kesayanganya. Ampun deh. Manyunnya semakin menjadi. Tapi itulah Jek Manyun.

"Sahabat itu, yang penting hatinya, bro,..bukan bibirnya,"

Kalimat sok bijaksana Jek Manyun awal tahun lalu itu masih terkenang dalam benak Mumung hingga kini.

Pagi ini, Mumung berencana pergi ke rumah Jamila. Anak penjual Pecel Tumpang di ujung gang dekat kos-kosannya itu meminta tolong untuk diantarkan ke pegadaian.Rencananya, Jamila akan menggadaikan liontin milik almarhum bapaknya. Setahun lalu, liontin itu diberikan sang ibu ke Jamila untuk bekal kawin. Tapi, tiga adik Jamila harus membayar sekolah dalam waktu yang bersamaan. Laba Pecel Tumpang tidak cukup untuk itu.

"Biar aku jual saja liontin ini, biaya kawinnya urusan nanti,"

Jamila bagi Mumung adalah danau yang begitu dalam. Mumung coba menyelaminya, selalu gagal. Bukannya tidak mampu, tapi ada saja gangguan dari pembeli yang meminta nambah nasi, tambah lauk atau es teh manis. Jamila memang sering dijadikan obyek goda-goda pembeli pecel tumpang di warung ibunya. Bahkan ada yang nekat mengajaknya kawin. Tapi Jamila menolak. Alasannya sederhana.

"Masih menunggu pacar saya pulang dari Holland,.."

Bila ada pembeli yang nekat "main tangan". Jamila tak segan mengguyurnya dengan air panas.

"Pecel satu,..lauknya telor aja,"

Mumung selalu order makanan yang sama. Jamila meliriknya. Senyum mengembang. Omong-omong, Pecel dan telor memang kegemaran Mumung. Dalam bahasa yang agak nyastra, Mumung mengibaratkan pecel lauk telor, seperti bumi dan matahari. Tak bisa dipisahkan!

"Bisa aja,"

Jamila berkomentar pendek saat mendengar Mumung berbusa-busa memaknai pecel lauk telor miliknya.

"Kau jadi ke pegadaian? Jangan kesiangan ya, aku ada janji sama Bos,"

Sepihan kacang panjang dan kecambah, sempat terlilit di gigi Mumung yang gingsul.

"Jadilah,..besok waktunya bayar uang sekolah. Tunggu bentar ya,.."

Jamila berlalu. Entah. Tiba-tiba Mumung merasa berbunga-bunga. Makan pecel pun menjadi tidak nikmat. Suapan demi suapan mengalir dengan cepat. Ritual makan telur "matahari" yang biasanya diawali mulai putih telur dan diakhiri dengan kuningnya sebagai gong pun tidak lagi berlaku. Nyam,..nyem,..nyam,..nyem. Glek,..glek,..

* * *

Sepeda motor Mumung memang bukan keluaran baru. Tahun 80-an, tapi tetap kinclong. Minimal, seminggu sekali dicuci bersih di tempat cucimotor tak jauh dari kos-kosannya. Bengkel Cak Dji di ujung jalan pun selalu memuji motor trail milik Mumung.

"Kalau sudah bosan, biar motormu aku beli,"

Cak Dji selalu merayu Mumung. Bukan tak mau menjual, tapi Mumung tak punya uang untuk membeli motor baru lagi, bila motor miliknya dijual. Konon, saking cintanya, Cak Dji rela menunggu.

Trail itu juga yang mengantar Mumung dan Jamila pagi ini. Tak tergambarkan, betapa gembira hati Mumung saat ini. Tangan Jamila yang lembut melilit di pinggang Mumung. Ada getaran. Entah di mana. Yang pasti bersumber dari tangan Jamila.

Hampir dua tahun ini, Jamila menunggu Mumung menjawab pertanyaannya. Pertanyaan sederhana, sulit jawabnya.

"Kapan orang tuamu akan ke rumahku untuk melamarku?"

Mumung hanya terdiam, kala Jamila menanyakannya untuk pertama kali. Otaknya seperti tak bisa digunakan untuk berpikir. Hatinya teraduk. Kenangan lama atas pernikahan yang dia kenal, seperti terbayang. Perkawinan menjadi awal dari permusuhan. Cinta yang diagungkan, menjadi kobaran api benci saat pernikahan pupus di tengah jalan. Dua hati yang awalnya menyatu, saling menyakiti. Tidak hanya keduanya, juga keluarga besar yang ada. Hal itu juga yang membuat Mumung enggan masuk ke ranah itu. Perkawinan. Hmm..

Jawaban Mumunglah yang paling ditunggu Jamila. Bagi perempuan enggan berjilbab meski sudah berkali-kali mengkhatam kitab suci ini, hal itu adalah jawaban segala persoalan yang menghadangnya. Paling tidak, menghentikan pertanyaan dari pelanggan pecel tumpang yang sering menderanya. Kapan? Kapan? Kapan?

Tiba-tiba, bayangan Umi melintas.

"Kau harus segera memutuskan,..kau harus segera memutuskan,.."

"Kau harus segera memutuskan,..kau harus segera memutuskan,.."

Kalimat Umi kembali terngiang.

Duk! Brak! Crrrttttttt,.....

Gelap. Sebuah truk tronton mehantam keras dari arah kanan. Gelap.

* * *

"Mung! Siapa yang kau panggil itu? Bangun kau!"