07 December 2007

Ada Harapan di Sela-sela Debu Rumah Leupung

Meski hanya sesaat, debu yang beterbangan usai dam truk melintas di jalan darurat menuju Desa Meunasah Masjid, membuat jalan itu tak layak lagi dilewati. Butiran kecil kecoklatan itu membuat gelap suasana. Di balik pekatnya debu di jalanan itulah, rumah relokasi Leupung berada. Rumah yang menjadi sadaran hidup korban tsunami.

Jemari Zuhra menari di antara dan barang dagangannya. Sesekali, mulutnya meniupi debu-debu yang menempel di etelase kaca kiosnya. Setiap hari, tak terhitung lagi berapa kali perempuan beranak dua itu harus membersihkan debu dari barang dagangan yang di jual di kios jajanan dan voucer pulsa isi ulang tepi jalan Desa Meunasah Masjid. Di samping Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Leupung. “Debu di sini banyak sekali,” kata Zahra.

Zuhra adalah salah satu penghuni rumah rekonstruksi di Desa Meunasah Masjid, Leupung. Bersama Elma Purwani dan suami barunya, perempuan berusia 47 tahun itu menempati rumah yang dibangun oleh Plan Aceh. Ketika tsunami menerjang, 10 orang anggota keluarga Zuhra meninggal dunia atau hilang entah kemana. “Saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini, karena inilah tempat tinggal kami,” kata Zahra.

Kecamatan Leupung, tepatnya di Desa Maunasah Masjid adalah salah satu daerah parah ketika tsunami menerjang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)-Nias, 26 Desember 2004 lalu. Dari seluruh Kecamatan Leupung yang memiliki populasi sekitar 10 ribu jiwa, yang selamat hanya sekitar 700-an orang. Di Desa Meunasah Masjid, hanya puluhan yang tersisa.

Meskipun letaknya hanya 15 Km dari Ibu Kota NAD Banda Aceh, namun tidak gampang menuju daerah ini. Terutama ketika melewati jalan darurat yang dibangun di atas lahan perkebunan yang penuh debu, terjal dan bergelombang. Kendaraan roda empat yang melintasi jalan itu, membuat debu itu menari-nari menutupi pandangan. Penduduk bersepeda motor, mau tidak mau harus berhenti sejenak untuk membiarkan debu-debu itu pergi tertiup angin.

Kehidupan di Desa Maunasah Masjid, Leupung mulai menggeliat. Rumah-rumah yang dibangun berbagai NGO seperti Plan Aceh, Muslim Aid, Habitat Humanity, Oxfam sejumlah 97 unit mulai ditempati. Sementara 85 unit milik Asean Development Bank (ADB) belum usai dibangun. Rencananya, rumah BRR juga akan dibangun di lokasi yang sama.

Beberapa toko, warung dan puskesmas desa pun pelan-pelan mulai beroperasi. Plus beroperasinya sekolah tingkat TK milik USAID dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Leupung. Meskipun jumlah murid sangat sedikit. Lantaran jumlah anak usia sekolah yang masih tersisa hanya puluhan orang. Di samping itu, beberapa penduduk pun mulai berbenah dengan membuka usaha di rumah.

Meski keadaan cenderung lebih “tertata” dari pada keadaan sebelum tsunami menerjang, namun keadaan saat ini jauh berbeda. Terutama dengan tidak hadirnya orang-orang terdekat yang menjadi korban gelombang ganas itu. Barunah misalnya. Perempuan yang suaminya meninggal dunia karena tsunami itu sebelumnya tinggal di Meunasah Masjid dengan 89 orang keluarga besar.

Ketika tsunami menerjang, 80 orang keluarga Barunah menjadi korban. “Tinggal sembilan orang yang selamat, hanya saya perempuannya,” kata Barunah yang ketika kejadian itu terjadi sedang tidak berada di Leupung. Kini, Barunah mendiami sendiri rumah baru di Meunasah Masjid. “Biar saya tetap di sini, di tanah milik keluarga saya,” kata Barunah yang kini menjanda.

Meski begitu, Barunah yang juga saudara perempuan dari Samidan, Guechik Meunasah Masjid itu tetap bersyukur. Tetangga rumah yang kebanyakan juga merupakan korban selamat tsunami sudah seperti saudara dekat. “Semua yang ada di sini sudah seperti saudara sendiri, masing-masing saling membantu satu sama lain, alhamdulillah,” katanya.

Keluarga Ja’far pun sama. Laki-laki 42 tahun yang dulu berprofesi sebagai pengemudi labi-labi (angkot) ini adalah salah satu korban selamat tsunami. Istri dan keluarga Ja’far yang lain ikut menjadi korban derasnya gelombang dari laut Samudra Hindia itu. Kini Ja’far melanjutkan hidupnya sebagai sopir truk untuk mengangkut material pembangunan jalan di sekitar Leupung.

Berbeda dengan Barunnah, Ja’far memilih untuk kembali membangun keluarga dengan menikahi Yusnaini. Keduanya tinggal di rumah rekonstruksi yang dibangun Plan Aceh di Meunasah Masjid. “Ya,.. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit kami sudah menata kehidupan kami, mungkin ini sudah digariskan dan harus kita jalani,” kata Ja’far.

Plus Minus Rumah Baru

Bagi keluarga yang tersisa pasca tsunami, hidup di tanah leluhur dengan kondisi yang sama sekali baru, bukanlah hal yang mudah. Perlu adaptasi yang cukup lama untuk bisa memahami semua hal yang “tersaji” di depan mata. “Rumah baru” adalah salah satunya. Puluhan unit rumah yang dibangun di Meunasah Masjid berasal dari beberapa penyandang dana yang berbeda. Dengan bentuk dan jenis yang berbeda-beda pula. Meskipun ukurannya relatif sama, type 36.

“Masing-masing rumah memiliki karakter yang berbeda, tergantung siapa yang membangun,” kata Ja’far. Misalnya rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity. Dari sisi fisik, bangunannya tergolong sama, dengan ruang utama, kamar mandi dan teras depan dan belakang. Hanya saja, Plan Aceh-Habitat menambah tegel keramik sebagai pemanis bagian dalam. Sementara rumah milik ADB mempunyai kerangka atap dari besi baja yang kuat.

Dibandingkan seluruh rumah yang sudah dibangun, rumah milik Muslim Aid dan Oxfam dinilai lebih layak. Meskipun lantai tidak dilapisi keramik, namun Muslim Aid dan Oxfam memberikan fasilitas lain berupa kompas gas plus tabung gasnya, furniture, ranjang dan lemari kayu. BRR pernah membangun rumah di areal yang sama, namun tidak sesuai dengan spek yang diharap masyarakat. Terutama soal pondasi dan dinding dari batako. Karena itu masyarakat menghancurkan bangunan itu. Mereka menginginkan bangunan rumah yang lebih layak.

Bagi keluarga yang baru saja dirundung kesusahan dan kehilangan seluruh harta benda karena tsunami, fasilitas rumah dan furniture yang diberikan oleh Muslim Aid dan Oxfam dianggap paling “masuk akal”. Hal itu yang dikatakan oleh keluarga Anwar dan Salimah. “Kami tidak memiliki apapun setelah tsunami, rumah yang kami dapat juga tidak ada isinya, akhirnya kami harus berpikir untuk memenuhi kebutuhan lainnya,” kata Anwar yang kini menghuni rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity.

Anwar dan Salimah tidak sendirian. Mereka tinggal bersama dua anak yang masih bayi dan balita. Sasabila, 2, 5 tahun dan Maulana, 7 bulan. Hidup bersama dua anak kecil dalam kondisi rumah memang bukan hal yang mudah. Apalagi rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity tidak dilengkapi pula dengan dapur. Salimah, sang ibu kesulitan untuk menyiapkan makan dan membuat susu untuk dua anaknya. “Terpaksa semua kami lakukan di ruang tamu,” kata Salimah yang ketika tsunami menerjang, 14 keluarganya meninggal dunia atau hilang.

Perihal kebutuhan dapur juga dirasakan oleh keluarga Zafrizal dan Unonen. Keluarga yang memiliki dua anak yang kini bersekolah di TK milik USAID itu terpaksa menambahkan sendiri bagian dapur miliknya dengan papan bekas bangunan yang tidak terpakai. “Dapur memang kebutuhan yang harus ada, maka kami mencoba membuatnya sendiri meski secara sederhana,” kata Zafrizal.

Hasilnya tidak mengecewakan. Dalam sebuah kunjungan ke rumah Zafrizal dan Unonen, sekilas rumah itu memang terlihat tidak rapi lantaran banyak mainan anak-anak yang berserakan. Namun hal itu tetap tidak menghilangkan peran peruntukan tiap ruang. Baju-baju bersih misalnya, tertata di tiap kamar yang ada. Juga peralatan dapur dan cuci baju kotor, semuanya ada di bagian belakang rumah. Begitu juga dengan buku-buku pelajaran anak-anak yang tertata di pojokan ruang tamu.

Masukan menarik datang dari keluarga Ja’far dan Yusnaini. Keluarga ini mepersoalkan jumlah ruangan milik Plan Aceh-Habitat Humanity yang hanya dibagi dalam tiga ruangan. Ruang tamu, satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Sementara, satu kamar lagi hanya disekat dengan menggunakan teriplek kayu. Kondisi ini menyulitkan bagi keluarga yang mempunyai anak baru gede (ABG) yang jelas membutuhkan ruangan pribadi.

Karena alasan itulah, keluarga Ja’far dan Yusnaini memilih untuk tidak menempatkan anak semata wayangnya, Isra ke rumah orang tua Yusnaini di Selimum, Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar. “Di sana banyak teman dan banyak ruangan yang bisa ditempati, mungkin kalau sudah lulus SD bisa kembali ke Meunasah Masjid,” kata Yusnaini.

Rumah Ja’far dan Yusnaini tergolong unik. Selain tampak rapi dengan furniture yang bagus, rumah itu juga memiliki beberapa bangunan tambahan. Seperti dapur dan ruang cuci baju dan cuci piring di luar rumah bagian belakang. Sementara kebun belakang rumah ditanami dengan ketela pohon. “Ketela pohon itu sengaja kami tanami, selain untuk kami gunakan hasilnya, juga untuk hiasan mata, hijau-hijauan lah,” katanya.

Saluran Pembuangan dan Meunasah

Hal lain yang menjadi problem dalam persoalan rumah di Desa Meunasah Masjid, Kecamatan Leupung adalah tidak adanya saluran pembuangan air kotor. Agaknya, hal ini menjadi persoalan laten yang dikemudian hari akan memunculkan persoalan baru. Dalam pengamatan, hampir semua penghuni perumahan baru di Meunasah Madjid, membuang saluran air kotornya di halaman bagian belakang rumah. Tidak mengherankan bila banyak sekali genangan air kotor atau tanah basah bekas buangan air kotor.

Sekretaris Desa Meunasah Masjid Abdul Jalil menyadari hal itu. Menurut laki-laki yang kini berjualan voucer telepon seluler di rumahnya ini, hal saluran air kotor sudah sering dibicarakan oleh masyarakat sekitar. “Sering sekali kita bicara soal saluran pembuangan itu, mulai got sampai saluran pembuangan dari air cucian piring dan baju, namun sampai sekarang tidak ada solusi soal itu,” katanya.

Masyarakat ingin membangun sendiri saluran itu, namun terbentur dengan adanya biaya yang harus dikeluarkan. Kalaupun bisa dibuat dengan seadanya, malah khawatir akan mmunculkan problem baru, karena masyarakat tidak mengetahui rencana utuh pembangunan di kawasan itu. “Kami kawatir, kalau saluran itu diserahkan ke masyarakat tanpa kita tahu rencana pembangunannya, akan malah merepotkan,” katanya. “Karena itu, sampai saat ini kami memilih untuk membuangnya di tanah saja,”

Meunasah atau masjid kecil (mushola) juga masih menjadi impian. Biasanya, bagi masyarakat di NAD, keberadaan meunasah adalah bagian yang tidak terpisahkan. Namun di Desa Meunasah Masjid, justru tidak memiliki meunasah. Yang ada hanya meunasah sementara yang terletak di samping Polsek Leupung yang ada di pinggir jalan utama di pinggir desa.

“Mungkin NGO dan BRR lupa mengagendakan pembangunan meunasah di desa Meunasah Masjid, kita sangat membutuhkan meunasah. Masa’ Desa Meunasah Masjid tidak memiliki meunasah?” kata Abdul Jalil. Benar juga ya...



06 December 2007

Motor Naik Becak Motor

Motor Naik Becak Motor
Ada masalah dengan sepeda motor? Becak motor di NAD agaknya menjadi solusi untuk itu. Seperti yang terjadi di Teunom, Aceh Barat. Becak motor di wilayah itu digunakan untuk beragam keperluan. Salah satunya mengangkut motor yang sedang "sakit". Plus mengangkut yang lainnya.


03 December 2007

Problem Tercecer Menjelang Tiga Tahun Tsunami


Berbagai pekerjaan rumah belum terselesaikan di kawasan terparah tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tepatnya di kawasan pantai barat. Mulai Banda Aceh, Calang hingga Meulaboh. Ribuan rumah untuk korban tsunami yang sudah terbangun pun belum cukup. Belum lagi masalah infrastruktur seperti jalan, jembatan hingga fasilitas air bersih.

Aceh Perangi Ilegal Logging


Ilegal Logging.
Langkah Pemerintah NAD untuk menghentikan Ilegal Logging di kawasan hutan NAD agaknya masih menemui banyak kendala. Di beberapa hutan masih tampak adanya aksi pengambilan kayu secara ilegal. Seperti yang tampak pada gambar, truk berwarna hijau terparkir di jalan tepi hutan perbatasan Aceh Jaya dan Aceh Barat, Sabtu (1/12). Di dalamnya terdapat kayu gelondongan yang baru saja diambil dari hutan kawasan itu.


01 December 2007

Kebakaran Truk Tanki di Meulaboh


KEBAKARAN TRUK
Sebuah truk tanki pengangkut bahan bakan solar terbakar di Meulaboh, Sabtu (1/12) ini. Dalam kebakaran yang disebabkan oleh percikan api dari tukang tambal ban itu membuat satu truk yang kebetulan parkir di belakang truk tanki itu ikut terbakar. Seorang terluka dalam peristiwa ini.


30 November 2007

Karena Hidrocephalus, Zulaika bisa buta atau gila


Zulaika hanya bisa menyandarkan kepalanya di dada ibunya, Syarifah, 40, Jumat (30/11) sore itu. Bayi berusia 11 bulan itu tidak mampu lagi menyangga kepalanya yang membesar, melebihi besar tubuhnya. Sesekali bola matanya bergerak-gerak melihat sekelilingnya. Meski pun mata kecil itu lebih sering memandang ke atas, karena urat matanya tertarik kepala yang makin membesar karena hidrocephalus.

Di antara bertumpuk-tumpuk permasalahan yang dihadapi korban selamat tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), apa yang dialami Zulaika memang tergolong kecil. Problem itu tidak akan membuat program rekonstruksi dan rehabilitasi NAD-Nias yang sedang ditangani oleh BRR terhambat. Namun bagi keluarga Bukhari dan Zulaika, apa yang dialami putri satu-satunya itu bagaikan tersapu gelombang tsunami untuk kedua kalinya. "Ini anak saya satu-satunya, sakit sejak dalam kandungan,.." kata Syarifah tertahan.

Warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Sama Tiga, Aceh Barat NAD itu adalah dua dari ribuan korban tsunami di Aceh Barat. Ketika gelombang itu menghajar desanya 26 Desember 2004 lalu, Syarifah kehilangan suami pertamanya. Di hari yang sama, Bukhari pun kehilangan istri pertamanya. "Mereka meninggal dunia dalam peristiwa itu," kenang Syarifah. Nasib mepertemukan Bukhari dan Syarifah dalam sebuah hubungan keluarga baru.

Dalam perkawinan keduanya itu, Bukhari-Syarifah dikarunia satu orang anak. Namun, belum hilang kesedihan karena tsunami, kebahagiaan itu pun terkurangi saat mereka tahu anak semata wayangnya menderita hidrocephalus. "Sejak dalam kandungan, dokter sudah menyatakan ada cairan dalam jumlah besar di kepala anak saya," kata Syarifah. Namun karena begitu sayang pasangan itu kepada anak-anak, keduanya memutuskan untuk tetap menjaga bayi dikandungannya. Rencananya, mereka akan mengobati bayi itu begitu lahir ke dunia.

Setelah sembilan bulan mengandung, bayi yang kemudian diberinama Zulaika itu pun lahir. Rencana mengobati bayi perempuan berkulit putih itu pun dilakukan. Bersamaan dengan pengobatan Bukhari karena terlalu banyak meminum air laut, saat gelombang tsunami menggulungnya. Namun dokter memvonis lain. "Kata dokter, kalau cairan di kepala Zulaika diambil, anak saya bisa buta atau gila," kata Syarifah. Mendung pun kembali memayungi keluarga itu.

Dengan berbagai pertimbangan, Bukhari dan Syarifah memutuskan untuk menyelamatkan Zulaika dengan tidak mengoperasinya. Syarifah lebih memilih Zulaika memiliki kepala besar, dari pada hidup dalam kegelapan karena buta atau gila. "Saya memutuskan untuk tidak mengoperasinya," katanya.

Ironisnya, ketika Zulaika menderita hidrocephalus, ayahnya Bukhari pun menderita berbagai komplikasi. Mulai kencing manis, darah tinggi hingga sakit paru-paru karena terlalu banyak meminum air laut saat tsunami. Bukhari pun memutuskan berhenti bekerja sebagai pekerja serabutan yang selama ini dilakukannya.

Hari berganti. Kepala Zulaika pun semakin membesar. Awalnya, besar kepala bayi itu tidak kentara, namun lama-kelamaan kepala itu pun lebih besar dari tubuhnya. Tak banyak yang bisa dilakukan bayi itu. Bila terbangun dari tidur, Syarifah hanya mampu menggendongnya. Membekap bagian kepala di dadanya. Zulaika pun tak banyak bergerak. Kepalanya menatap ke satu arah. Hanya matanya yang melirik ke sana-kemari.

Bukhari, Syarifah dan Zulaika kini tinggal di rumah jatah korban tsunami yang dibangun oleh salah satu NGO asing di tepi pantai Suak Puntong. Sambil berharap penyakit Zulaika akan sembuh. Entah bagaimana caranya.

Teks foto:
Salah satu korban tsunami, Syarifah (40). warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Sama Tiga, Aceh Barat sedang menggendong anaknya, Zualika (11 bulan) yang menderita hidrochepalus (kepala membesar karena cairan). Hingga saat ini Zukaika belum mendapatkan pertolongan.



28 November 2007

Jazz, Aceh dan Lampu Mati


JAZZ DI ACEH.
Group jazz Lou G band menggelar performanya di Gedung Aceh Community Center (ACC) Banda Aceh, NAD Selasa (27/11) malam. Dalam event itu, musisi asal Belanda itu sempat berkolaborasi dengan musisi lokal dan mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Banda Aceh. Sebelum tampil di Banda Aceh, Lou G tampil dalam JakJazz 23-25Nopember lalu. Yang unik, pagelaran itu sempat diwarnai dengan lampu mati beberapa kali.


27 November 2007

Diumpat Lebih Rendah Dari Kotoran, Wartawan Aceh Melawan

Pelecehan terhadap tiga wartawan di Kabupaten Aceh Barat Daya oleh Bupati Abdya Akmal Ibrahim, pada Rabu (21/11) lalu berbuah perlawanan. Tiga wartawan yang dihina Bupati yang juga mantan Redaktur Pelaksana Serambi Indonesia itu, Jaka Rasyid (Harian Waspada), Alman (Rakyat Aceh), dan Faisal (Harian Global) melaporkan kasus ini ke Polisi.

Ihwal pelecehan itu terjadi saat ketiga wartawan itu hendak mengonfirmasi laporan Gerakan Antikorupsi Indonesia yang menuding Akmal mengorupsi dana APBD tahun 2007. Gerak Indonesia melaporkan kasus dugaan korupsi itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Namun, belum sempat mereka memperoleh keterangan, Bupati Akmal Ibrahim malah mendamprat dengan kata-kata kasar. "Tulis saja semua kalian, jangan cari pembenaran kepada saya," kata Jaka Rasyid menirukan ucapan Akmal di sela-sela jumpa pers di Kantor AJI Banda Aceh, Selasa (27/11) ini. Awalnya, wartawan menilai hal itu gurauan semata dengan menjelaskan maksud kedatangan mereka ke rumah Akmal.

Akmal tidak menghiraukan. Ia malah terus menghardik para wartawan. Puncaknya, Akmal Ibrahim berujar dengan nada tinggi, “Lebih mahal harga tai dengan kalian,” katanya. Penghinaan itu dilakukan secara berulang-ulang di hadapan pendukungnya serta anggota DPRK Abdya, Baihaqi Daud dan Muzakir ND. Beberapa orang yang mendengar menyambut umpatan itu dengan tertawa.

Tiga wartawan memilih pergi dan melaporkan kasus ini ke AJI Banda Aceh dan Polres Persiapan Kabupaten Aceh Barat Daya. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Muhammad Hamzah mengecam tindakan Bupati Akmal Ibrahim yang telah merendahkan dan melecehkan profesi wartawan. “Itu jelas pelecehan, AJI Banda Aceh mendukung upaya Jaka dan kawan-kawan bila ingin menyelesaikan kasus ini sesuai hukum,” katanya.

AJI Banda Aceh mendorong kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan kasus ini secara baik, meski harus menempuh jalur hukum. “AJI Banda Aceh juga Mendesak aparat keamanan untuk menggunakan Undang Undang No 40/1999 tentang Pers dalam menangani kasus pelecehan dan penghinaan wartawan ini, serta mendorong kepada setiap jurnalis di Aceh untuk tetap menjunjung etika jurnalistik dan profesionalitas dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai jurnalis sesuai dengan UU Pers No 40/1999,” kata Hamzah.

Hingga saat ini Bupati Aceh Barat Daya oleh Bupati Abdya Akmal Ibrahim belum mengatakan permintaan maaf kepada wartawan. Dalam tahun 2007 terjadi enam kasus kekerasan pada wartawan di NAD. Yang terakhir pelecehan wartawan oleh pegawai Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, Zainun Yusuf pada wartawan Serambi Indonesia. Kasus itu berakhir damai.

*Keterangan Foto:
Jaka Rasyid, Wartawan Harian Waspada, dalam jumpa pers di kantor AJI Banda Aceh, Selasa (27/11) ini.



Pantai dan Rumah Baru

Pantai dan Rumah Baru
Proses pembangunan rumah-rumah baru bagi para korban tsunami terus dilakukan. Salah satunya di pantai Seudu, Kecamatan Leupung, Aceh Besar. Meski tetap berada di dekat pantai dan di bawah bukit, rumah-rumah baru korban tsunami hampir usai dibangun. Foto diambil Senin (26/11) ini.


24 November 2007

Debu Banda Aceh


DEBU BANDA ACEH.
Siang menjelang, sebagian jalanan di Banda Aceh NAD diselimuti debu. Seperti yang terjadi di Jalan Ella, Simpang Surabaya, Sabtu (24/11) siang ini. Truk-truk yang lewat di jalan itu menerbangkan debu yang ada di sana.



Oh,..Pantai Aceh Besar

Kehidupan Pantai Barat Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
menyimpan keindahan. Keseharian masyarakat yang mayoritas menyandarkan hidupnya sebagai nelayan dan petambak itu dilakukan secara alamiah. Bagi nelayan kapal besar misalnya, mempersiapkan kapalnya di pinggiran pantai. Mengecat ulang dinding kapal, membersihkan plangton dan ikan kecil yang menempel di dasar kapal, hingga mempersiapkan bekal saat berlayar esok hari. Jaring yang biasa digunakan pun dicek. Jaring berlubang adalah kesia-siaan, untuk itu perlu dijahit kembali. Sementara nelayan yang menggunakan kapal kecil menservice mesin kapal agar tidak macet saat menerjang ombak. Bagi penduduk perempuan, pagi hari adalah waktu pergi mencari kerang. Kadang di bibir pantai, atau ke sungai yangberbatasan dengan laut. Hingga sore menjelang, mereka pulang membawa kerang dan kembali ke rumah untuk mengurus keluarga. Dan petambak, selain membersihkan tambaknya dari parasit, juga menangkap ikan-ikan kecil yang mati, mengapung di tepian tambak. Sebuah kehidupan sederhana yang mungkin terlupakan.







22 November 2007

Persoalan Terpercik Ke Wajah Bocah Ladong-Lamreh

Air di dalam kaleng bekas cat tembok itu langsung beriak, saat Muhammad Rizal memasukkan tangannya. Air kecoklatan itu pun tumpah sebagian ketika siswa kelas enam Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar ini mencoba menangkap ikan Sepat yang baru dipancingnya. “Ini dia ikannya, aku tangkap dari sungai itu,” kata Rizal sambil menunjuk ke sungai yang melintas di samping sekolahnya.

Kehidupan Rizal dan teman-temannya di Desa Ladong, tidak bisa dilepaskan dari air. Hampir setiap hari, bocah berusia 12 tahun ini selalu menjadikan air sebagai lokasi permainannya. Bila waktu pulang sekolah tiba, Rizal dan Sa’ban adiknya hampir pasti mampir ke sungai kecil yang banyak tersebar di bukit-bukit ladong. Mengalir langsung ke laut. Khususnya berada di dekat SDN Ladong. Kadang, mereka juga ke pantai Ladong yang terletak di bagian selatan desa.

Seperti anak Desa Ladong kebanyakan, Rizal memahami bahwa desa tempatnya tinggal dikenal sebagai desa tempat sumber air berada. “Ada sumber air di bukit sana,” kata Rizal sambil menujuk ke arah bukit di belakang sekolahnya. Di bukit itulah, sumber air bukit Ladong atau Mata Ie Alue Pochik berada. Rizal menceritakan, dirinya dan teman-teman sebayanya pernah mengunjungi tempat itu. “Ada kotak besar warnanya biru,” katanya menceritakan bangunan intake dan reservoir yang ada di bukit itu.

Rizal pun memahami, sebagian dari air yang keluar dari mata air bukit Ladong itu juga yang mengalir ke sungai-sungi kecil, termasuk sungai kecil tempat ia biasa bermain. Karena itulah, hampir semua sungai yang mengalir di Desa Ladong tergolong dangkal. Paling dalam hanya 30 Cm. Karena itu jugalah, anak-anak Desa Ladong senang menjadikan sungai sebagai arena bermain mereka.

Meski paham bahwa sungai kecil itu tidak dalam, namun Rizal dan teman-temannya jarang sekali mandi di sungai. Paling hanya memancing menggunakan gagang kayu yang banyak berserakan di sekitar sungai. Umpannya, cacing tanah yang sebelumnya dicari di tanah liat yang juga tidak jauh dari sungai. “Ikan-ikan ini tidak untuk di makan, tapi untuk dipelihara di rumah,” katanya.

Bocah yang tinggal bersama keluarganya di belakang Masjid Desa Ladong ini mengatakan, dirinya ikut menikmati adanya proyek air bersih yang dibangun oleh Plan Aceh. Sejak air mengalir ke hidran umum, dirinya tidak perlu susah-susah lagi mengambil air bila ingin mandi, wudhu atau mencuci sandal yang kotor oleh lumpur usai bermain. “Nggak perlu susah-susah lagi,” kata Rizal berseri.

Penggemar sepakbola ini mengaku, kenikmatan air yang mengalir di HU yang sempat mereka nikmati setahun lalu, beberapa bulan belakangan ini mulai menghilang. Kalau toh ada air di bak besar berwarna biru yang berjajar di sepanjang jalan raya Ladong-Lamreh itu pun jumlahnya sangat sedikit.

“Kata orang-orang, sedikitnya air karena di banyak orang yang melobangi pipa yang dibangun oleh Plan,” kata Rizal hampir tidak terdengar. Rizal memperkirakan, gara-gara sedikitnya jumlah air itulah yang membuat anak-anak di kawasan sulit air seperti kawasan Krueng Raya (Desa Meunasah Mon, Meunasah Kulam, Meunasah Guede dan Desa Lamreh), tidak bisa menikmati air bersih.

Perkiraan Rizal tidak meleset. Abdullah, anak Desa Maunasah Mon merasakan betapa sulitnya tidak punya air. Remaja yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Krueng Raya ini mengatakan, HU di desanya baru terisi air pada tiga hari terakhir. Selama berbulan-bulan, sama sekali tidak ada air yang bisa dinikmati dari tandon HU itu. “Berbulan-bulan mati, baru tiga hari lalu ada airnya, itupun tak banyak,” kata Abdullah dalam bahasa daerah Aceh.

Sebagai solusi atas hal itu, Abdullah dan keluarganya, termasuk dua adiknya yang masih berusia balita selalu memisahkan kebutuhan air minum dan kebutuhan air untuk mandi dan mencuci peralatan rumah tangga. Bila waktu mandi tiba, Abdullah dan keluarganya bergantian menuju ke kali 500 meter dari rumahnya. “Kalau untuk air minum, kita membeli dari abang becak, Rp.2000/jirigen kalau mandi bisa di sungai,” katanya.

Banyaknya persoalan menyangkut saluran air Ladong-Lamreh pun disadari oleh para guru di Ladong-Lamreh. Namun tidak banyak hal yang bisa dilakukan para guru untuk mengatasi hal itu. “Karena semua itu urusan orang-orang tua, yang bisa kita lakukan adalah membangun kesadaran kepada generasi muda, seperti siswa-siswa yang ada di SDN Ladong ini,” kata Muhammad Yunus, Guru Agama di SDN Ladong.

Meskipun tidak menjadikan upaya penyadaran tentang air sebagai mata pelajaran utama, namun Yunus menceritakan, hampir setiap hari, pangajar yang kebetulan mengajarkan tentang agama, science dan Pendidikan Pancasila dan Keluarganegaraan (PPKN) akan mengaitkan dengan persoalan air. “Misalnya, kita sedang mengajar agama, maka akan kita sentil perihal air yang merupakan ciptaan Tuhan yang harus dijaga,” kata pengajar agama di sekolah yang dulu pindahan dari kawasan Ujong Kareung, sekitar 1 Km sebelah barat Desa Ladong itu.

Jelas, bentuk pengajaran semacam itu belum cukup. Apalagi, pengajar di SDN Ladong pun tampak tidak memberi contoh yang baik tentang penghematan air. Sebuah kran air yang ada di samping kelas SDN Ladong, rusak dan selalu airnya mengalir terus. Menggenangi lapangan rumput dan sebagian lantai teras di depan kelas.

Tapi, hal itu bukan berarti pengajaran tentang air tidak dilanjutkan. Guru-guru di SDN Ladong memastikan, 133 murid dari kelas 1 hingga kelas 6 yang sekolah di sekolah ini sudah memahami betul apa yang menjadi karakteristik desanya. “Desa yang merupakan pintu air,” kata Nurlia, Wali Kelas II SDN Ladong.

Nurlia cenderung memaklumi bila ditemukan prilaku bocah Ladong yang tidak care dengan air. Lantasan, sejak kecil, anak-anak Ladong hidup di daerah yang memiliki air berlimpah. Bahkan, tidak jarang anak-anak di daerah ini masih sering minum air mentah yang mengalir langsung dari sumbernya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan. Terutama kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun di lingkungan desa.

“Makanya, perlu ada bantuan dari pihak-pihak seperti NGO yang khusus menangani masalah air untuk terus menerus memberikan pelatihan. Apalagi, anak-anak Ladong sudah memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan air dan minum air mentah,” katanya.



Menumpang Mobil Bak Terbuka

Menumpang Mobil Pick Up.
Penumpang yang menumpang di mobil bak terbuka jenis pick up, masih sering terlihat di jalanan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Seperti yang tampak di Desa Ruyung Aceh Besar, pekan lalu. Beberapa siswa Sekolah Dasar (SD) Ruyung menumpang mobil yang kebetulan melintas di jalan raya yang mengubungkan Desa Ruyung dan Desa Berandeh itu.


Menyandarkan Harapan Pada Alue Pochik

Lembaga ini dikenal dengan sebutan Alue Pochik. Dia lahir dari semangat untuk mencari solusi problem pengelolaan saluran air Ladong-Lamreh. Bertumpuk harapan bersandar di pundaknya. Meski berusaha keras, masih saja pekerjaan rumah tersisa.

Oka Ishak, menggela napas panjang. Laki-laki asal Medan, Sumatera Utara itu seperti membuang beban berat yang selama ini menyesakkan dadanya. “Kita berterimakasih dengan adanya saluran air Ladong-Lamreh ini, tapi bagaimana pun kesadaran masyarakat adalah kunci dari semua persoalan yang membuat saluran ini terus mengucurkan air,” kata Oka Ishak dalam sebuah wawancara.

Oka Ishak adalah Sekretaris Alue Pochik. Sebuah kelompok pemanfaat air di Kecamatan Masjid Raya bentukan Plan Aceh. Kehadiran Alue Pochik di kecamatan pesisir pantai timur Kebupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam ini memang bukan basa-basi. Kelompok yang dalam bahasa Aceh berarti saluran air ini terbentuk karena saluran pipa Ladong-Lamreh sering terganggu.

Tidak hanya itu, Plan Aceh menganggap masyarakat delapan desa, mulai Desa Ladong, Desa Ruyung, Desa Berandeh, Desa Meunasah Kulam, Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Desa Lamreh tidak punya “rasa memiliki” atau sense of belonging pada proyek pipa Ladong-Lamreh dan pernak-perniknya. Masih adanya pelubangan ilegal pipa saluran Ladong-Lamreh, rusaknya kran air di hidran umum sampai penggunaan air bersih yang boros dan bukan untuk minum adalah bukti semua gejala tidak adanya sense of belonging.

Karenanya, perlu ada upaya taktis untuk memunculkan sense of belonging. Dengan difasilitasi oleh Plan Aceh, dibuatlah sebuah pertemuan berkala antara masyarakat dan pejabat kecamatan untuk berbicara menyangkut upaya penyerahan pipanisasi Ladong-Lamreh. Seluruh pemimpin desa, mulai Kepala Dusun, Kepala Lorong, Imam Geucik, Geucik, Kepala Mukim dan seluruh pejabat kecamatan diundang untuk itu. Singkat kata, masyarakat sepakat dengan ide pembentukan kelompok pemanfatan air yang disebut Alue Pochik.

Untuk menjaga sistem kerja Alue Pochik, dipilih pengurus yang merupakan tokoh-tokoh yang disegani oleh masyarakat Desa Ladong hingga Desa Lamreh. Sa’ban Siregar warga Krueng Raya dipilih sebagai Ketua, Oka Ishak warga Desa Ladong dipilih sebagai sekretaris dan Erni warga Krueng Raya terpilih sebagai Bendahara. Di atas pengurus, ada dewan pembina yang berisi semua pejabat teras di tingkat desa dan kecamatan. Diharapkan Alue Pochik mampu menjadi solusi tidak lancarnya saluran air Ladong-Lamreh. “Alue Pochik memang dibentuk agar ada jaminan air tetap mengalir, persoalan sementara teratasi,” kata Djuneidi Saripurnawan, Research and Development Coordinator Plan International Aceh.

Meski begitu, Plan Aceh menyadari, peran Alue Pochik belum sepenuhnya maksimal. Buktinya, sejak kelompok itu dibentuk pada awal tahun 2007, sampai sekarang tetap air di pipa Ladong-Lamreh tidak bisa mengalir utuh. Bahkan dibalik itu, Plan Aceh menyimpan kekhawatiran, Alue Pochik akan tergoda untuk mengkomersialisasikan air yang seharusnya bisa dinikmati secara gratis.

“Isu komersialisasi air kan sedang marak dibicarakan, bisa-bisa Plan Aceh akan tersandung persoalan ini karena kita yang memfaslitasi terbentuknya Alue Pochik,” kata Djuneidi. Kekhawatiran Plan Aceh memang bukan pendapat pribadi. Hingga saat ini, masih ada penduduk di delapan desa itu yang berpikir Alue Pochik tidak bekerja efektif.

Senada dengan Plan Aceh, Sekretaris Alue Pochik Oka Ishak pun memiliki pemikiran yang tidak jauh berbeda. Menurut Oka, sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang saling menyalahkan karena alir tidak lancar mengalir. Masyarakat Desa Ladong menyalahkan Krueng Raya (Meunasah Kulam, Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Lamreh) karena dinilai mengurangi jatah mereka, sementara masyarakat Krueng Raya menyalahkan Ladong, karena dinilai menutup saluran.

“Meski begitu, Alue Pochik memilih untuk mendengarkan semua aspirasi itu sembari terus memberikan penjelasan,” kata Oka. Selain itu, Alue Pochik juga melakukan kerja-kerja nyata, seperti penutupan pada pelubangan ilegal. Meski diakui oleh Oka, hal itu belum sepenuhnya membawa hasil. “Kita akan melihat dulu, apakah ada kebocoran lagi. Sampai saat ini, air masih berhenti di perbatasan Krueng Raya,” jelasnya.

Hasil kerja lain Alue Pochik yang bisa dinikmati masyarakat adalah pembuatan sistem “iuran” untuk masyarakat yang memanfaatkan air. Iuran ini digunakan untuk mengisi khas desa perbaikan sumber air bukit Ladong dan membayar Ismail, penjaga mata air. Setiap keluarga diwajibkan membayar Rp.3000,-. Memang, belum semua warga desa Ladong sampai Desa Lamreh bersedia membayar. Dengan alasan ketidaklancaran air.

Alue Pochik juga memiliki agenda jangka panjang yang pelan-pelan sudah mulai dikerjakan. Yakni meteranisasi untuk seluruh keluarga yang tinggal di delapan desa yang dilewati pipa Ladong-Lamreh. Sebagian rumah sudah mendapatkan meteran, namun mayoritas masih belum tersentuh program itu. “Kami sudah memohon ke American Red Cross untuk memberikan akses ke rumah-rumah. Itu baru usulan dan belum realisasi,” kata Oka.

Program lain adalah membuka salah satu hidran umum (HU) sebagai satu-satunya tempat legal untuk mendapatkan air bagi penjual air yang menggunakan becak motor. HU yang akan dibuka untuk umum itu terletak di depan Masjid Ladong. Setiap becak motor yang mengambil air diwajibkan untuk membayar infak ke masjid. Uang infak ini akan digunakan untuk pembiayaan Masjid Ladong yang saat ini masih dalam proses pembangunan.

Karena benyak dan rumitnya pekerjaan, Alue Pochik meminta masyarakat untuk bersabar dan memberi waktu mereka untuk bekerja. “Banyak sekali kerjaan kita, yang terbaru saja adalah persoalan tidak lancarnya air karena banyak angin yang ikut terbawa oleh air, angin itu membuat air kadang keluar, kadang tidak,” kata Oka. Sepertinya pekerjaan rumah Alue Pochik tetap akan bertumpuk-tumpuk.


21 November 2007

Mahasiswa Coba Dobrak Gerbang BRR

MAHASISWA DEMO BRR.
Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Untuk Korban Tsunami (Gerak Maut) Banda Aceh menggelar demonstrasi di depan Kantor Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, Rabu(21/11) ini di Banda Aceh, NAD. Dalam demonstrasi itu satu mahasiswa terluka karena dipukul polisi saat ia mencoba merobohkan pagar kantor BRR.


20 November 2007

Ismail Sang Penjaga

Tangan kiri Ismail menjinjing kawat berduri melintang yang memisahkan areal tempat tinggalnya dengan kebun kepala di bukit Ladong Aceh Besar. Pelan-pelan, kepalanya menunduk, dan menyorongkan seluruh tubuhnya hingga melewati kawat tajam berwarna coklat tua penuh karat itu. “Beginilah kalau ingin ke sumber mata air bukit Ladong, harus berpayah-payah,” kata Ismail sambil terkekeh.

Usai “terbebas” dari kawat berduri, laki-laki berusia 40 tahun itu melanjutkan perjalanannya melewati kebun kelapa di lereng bukit itu. Goyangan daun kelapa yang tertiup angin Jumat pagi itu seakan mengiringi kaki Ismail yang bergantian menapaki tanah yang basah tersiram hujan malam tadi. Sesekali, bapak dua anak ini melompat kecil. Menghindari batang kelapa yang terlentang. “Sebagian pohon ini harus dipotong, disini akan dibangun perubahan baru untuk korban tsunami oleh NGO Saleum Aceh,” katanya sambil menunjuk dua kendaraan bego yang terparkir di salah satu bagian bukit itu.

Usai sudah pekebunan kelapa, kali ini dataran rumput menjelang. Seberapa tanaman perdu tumbuh di atas hijaunya rerumputan. Di lokasi ini, birunya langit yang berbatasan dengan pantai jelas terlihat di sela-sela ujung pohon kelapa. “Sumber air Ladong atau sumber air Alupoci terletak di sana,” kata Ismail sambil menunjuk ke sebuah bangunan biru yang hampir tertutupi rerimbunan pepohonan. Bagai mendapatkan energi baru, Ismail sedikit mempercepat langkahnya.

Kedatangan laki-laki bertubuh gempal itu mengusik ratusan nyamuk dan membuat binatang penghisap darah itu berterbangan memenuhi udara. Ismail mengibas-ibaskan tangan mengusir nyamuk di depan mukanya. "Sepertinya, karat telah merusak gembok berwarna kuning itu. Saya harus meloncat pagar,” katanya sembari memanjat pagar setinggi 1 meter itu. Dalam sekali dorong, tubuh Ismail pun sudah berada di balik pagar.

Pintu menuju ke sumber air terletak di bagian barat bangunan beton setinggi dua meter dan berwarna biru itu. Begitu pintu besi itu dibuka, terlihat sebuah bak besar berukuran 11 meter yang dibagi dalam dua ruang besar. Tepat dibawah pintu besi, terdapat sua pipa yang mengalirkan air sumber menuju ke reservoir (menampungan sementara). Dari tempat itulah, air akan diteruskan ke Desa Ladong dan Desa Lamreh. “Sudah tiga kali bangunan ini direhabilitasi, pertama oleh rakyat, kedua oleh PDAM dan ketiga oleh Plan Aceh,” kenangnya.

Bagi Ismail, lokasi sumber air dan intake (rumah air) seluas sekitar 24 meter peregi itu adalah wilayah kerjanya. Bangunan berwarna biru yang memiliki pintu besi di bagian baratnya itu adalah ruang kerjanya. Di bangunan inilah, air jernih berdebit 800 liter/menitnya tertampung, untuk kemudian disalurkan di pipa sepanjang 8 Km, dari Desa Ladong ke Desa Lamreh. Sudah menjadi kewajiban laki-laki itu untuk pergi ke lokasi itu untuk membuka kran yang membuat air mengaliri pipa.
Tahun ini adalah tahun kedua bagi Ismail bekerja sebagai penjaga air sumber bukit Ladong. Dirinya dilibatkan pertama kali oleh Plan Aceh dalam program pipanisasi air dari Ladong sampai Lamreh. Saat program itu berjalan tidak banyak penduduk setempat yang terlibat. Ismail adalah salah satu yang terlibat dalam proyek itu. Karena dianggap mampu, laki-laki kelahiran Tapak Tuan Aceh Selatan itu “diangkat” menjadi penjaga air. “Ketika itu, gaji saya Rp.900 ribu,” kenang Ismail.

Ketika Plan Aceh selesai dengan program itu dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui organisasi masyarakat Alupoci, posisi Ismail penjaga air tetap dijabat oleh Ismail. Bedanya, kali ini Ismail tidak lagi digaji oleh Plan Aceh, melainkan oleh masyarakat yang menyisihkan Rp.3000,-/keluarga/bulan untuk biaya air bersih. “Saat ini tanggungjawab saya lebih besar, karena dulu bila air tidak lancar, maka masyarakat akan telp Plan Aceh, kini kalau air tidak lancar, masyarakat langsung protes ke saya, mungkin kalau tidak lancar terus, saya tidak akan digaji,” katanya sambil tersenyum.

Ismail menyadari, kondisi saluran air Ladong-Lamreh belakangan ini tidak terlalu lancar. Air hanya mengalir sampai ke hidran umum (HU) di Krueng Raya. Tepatnya hidran umum kawasan Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Meunasah Kulam. Sementara HU di Desa Lamreh sama-sekali tidak kebagian air. Semua itu, kata Ismail, karena banyaknya pelobangan pipa ilegal. Meski Ismail tidak tahu pasti lokasi tepat kebocoran itu.

Meski begitu, Ismail sadar, banyak orang yang menyalahkan dirinya bila air tidak mengalir. Padahal, dirinya sama sekali tidak tahu menahu akan hal itu. Yang dia tahu hanya menjaga agar air di sumber tetap mengalir, dan kran besar dari reservoir menuju ke pipa Ladong-Lamreh tetap terbuka. “Orang sering menyalahkan saya kalau air tidak mengalir, padahal saya tidak pernah mengutak-atik sumber air ini, mungkin karena mereka tidak tahu,” katanya sembari mengunci gembok pintu besi “ruang kerjanya.” Klik!