11 January 2022

Pelajaran hidup dalam #Minitouring Tangerang Selatan-Jakarta-Bandung (bag-1)

Gowes kali ini memang cukup panjang (bagi saya) dan menantang, karena dilakukan sendirian. Namun justru di dalamnya banyak pelajaran hidup. Salah satunya, bertemu kawan baru bernama Wayan, asli Manado, tapi tinggal di Sunda. Bingung gak? Bingung gak? Bingung dong!

***

Awalnya saya tidak menganggap #minitouring Tangerang Selatan-Jakarta-Bandung ini istimewa. Bahkan dari awal, sengaja memilih sepeda ban kecil (24) dengan frame sepeda kecil pula. Tujuannya, bila kecapekan, saya akan melanjutkan naik bus. Karenanya, ketika ada pesanan mengantar dagangan bebek frozen ke Jakarta, sekalian saya jadikan sebagai bagian dari jalur touring.

Menyusuri jalur Jakarta Selatan menuju Jonggol, Bogor, rasanya seperti gowes mingguan yang kesiangan. Diawali suasananya perkotaan, menuju daerah yang semakin lama, semakin jarang kendaraan kecil. Gantinya truk-truk pasir berukuran besar. Hingga sampai di  persimpangan Jl Cileungsi-Jonggol dan Jl Baru Jonggol. Melalui jalan baru inilah, jalur langsung ke arah Kabupaten Cianjur melalui Jl Transyogi.

Di wilayah ini, jalanan mulai naik turun. Hingga sampai ke jembatan Transyogi, yang merupakan batas Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur. Dan di sinilah tanjakan “setan” sekitar 5KM itu berawal. Tanpa sama sekali ada turunan. Naiiikkk terus. Azan maghrib bergema saat saya melintasi jembatan Transyogi. Hutan perbukitan yang mulai gelap (semakin gelap karena rapatnya pepohonan), perpadu dengan hujan yang semakin deras. Tenaga tinggal 50 persen. Dibalut jas hujan, saya memilih untuk mendorong sepeda alias nuntun.

Wayan dan saya.

Sekitar 2 KM menuntun sepeda di jalur menanjak itu, saya bertemu Wayan bersama keponakannya. “Masih jauh bang, masih 3-4 KM lagi, naik terus, tanpa ada turunan, total 5 KM sampai wilayah Pinus (baca: Wisata Puncak Pinus),” katanya. 

Saya mendengarkan Wayan dengan seksama. Hujan semakin deras, langit semakin gelap. Rumah-rumah penduduk tertutup rapat. Napas saya mengeluarkan uap, padahal ketika itu saya tidak merokok. Dingin penyebabnya.

Lelaki berambut cepak ini menawari saya loading (memasukkan sepeda di mobil), lalu bersama-sama ke puncak jalur ini. Saya menerimanya. Kami menembus gelap malam dengan mobil. Lumayan, saya istirahat di dalam mobil hingga Wisata Puncak Pinus.

“Puncak Pinus itu memang puncaknya, setelah ini jalan mulai menurun,” jelasnya di antara suara mobil meraung di gigi 2. 

Jalan terus menanjak, sampai akhirnya melandai, tanda sampai di Puncak Pinus.  Wayan menolak ketika saya berniat membayarnya. Akhirnya, kami bertiga makan malam bersama.

“Wayan memang nama Bali, tapi saya orang Manado yang numpang lahir di Bali, haha,” katanya membuka obrolan. 

Saat ini, Wayan dan keluarga mengelola Sawardi, panti swasta untuk orang dengan gangguan jiwa (OGDJ). Setidaknya, ada 60 pasien pernah tinggal di Sawardi dan sudah kembali ke masyarakat. 

“Sekarang tersisa 4 pasien saja,” katanya.

Sawardi yang terletak di Desa Mekarsari, Cianjur itu mulai aktif pada 2005. Saat itu, seorang ibu mempercayakan anaknya yang OGDJ tinggal bersama Wayan dan keluarga besarnya. Sejak saat itu pula, pasien seolah tidak berhenti datang. 

“Ada saja pasien masuk. Kami tetap menerimanya, dan berusaha mengurus mereka,” terang laki-laki lulusan Injili, Batu Jawa Timur itu.

Waktu menunjukkan pukul 20.30-an ketika kami berpisah. Saya melanjutkan perjalanan menuju ke Chikalong, melewati jl. Sirnarasa-Mekar Galih. Jalanan semakin gelap. Kendaraan semakin jarang. Saya bersepeda menembus gelapnya malam yang berbalut gerimis. Meski lebih banyak turunan, namun tanjakan masih ada.

Tenaga sudah benar-benar terkuras di Mapolsek Cikalong Kulon. Saya memutuskan menumpang tidur di markas polisi itu. (bersambung)

Istirahat di Mapolsek Cikalong Kulon.
 

No comments:

Post a Comment