07 August 2019

Lampu mati ala PLN dan evaluasi persiapan hadapi bencana


Apa yang kita rasakan dan lakukan saat "lampu mati total" belum lama ini, adalah gambaran cara kita menghadapi bencana yang lebih besar. Mari evaluasi!


**

Jabodetabek blackout, alias putusnya jaringan PLN di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi masih menjadi bahan pembicaraan.

Peristiwa yang sempat membuat Presiden Joko Widodo marah itu, dimeriahkan pula oleh reaksi netizen yang ramai mengkritik PLN.

Apalagi, pasca penjelasan tentang pohon sengon, sebagai salah satu penyebab kegelapan lebih dari 20 jam.

Soal Jokowi marah dan pohon sengon, bukan topik yang akan kita bicarakan. Tapi, tentang reaksi kita saat lampu mati terjadi.

SANTAI

Hampir semua orang merespon "lampu mati" yang terjadi pertama kali, pada Minggu, 4 Agustus 2019 sekitar pukul 11.00 dengan santai. Saya pun begitu.

Saya menganggap, lampu mati kali ini adalah hal bisa. Seperti yang sudah-sudah. Hanya terjadi beberapa menit atau paling lama satu jam, lalu "hidup" dan normal kembali.

Namun saya keliru. Kondisi tanpa listrik ini terjadi lebih lama dari biasanya.

Gelisah mulai datang saat signal selular menghilang, seiring aplikasi percakapan serta media sosial tidak bisa digunakan. Tetangga kanan kiri pun merasakan hal yang sama.

Di rumah, kondisi masih “aman-aman” saja. Persediaaan lilin masih ada. Air bersih di kamar mandi, masih tersedia. Juga, suhu di dalam rumah masih sama, bersamaan dengan persediaan air dingin di kulkas masih ready.

Selepas maghrib, saat gelap mulai hadir dan persediaan lilin menipis, perasaan tidak tenang mulai merayap. Upaya membeli lilin di toko-toko kelontong dekat rumah, nihil. Lilin menjadi langka dan raib di mana-mana.

Di supermarket pun sama. "Sudah banyak yang memborong," kata penjaganya. Ya ampun!

Rumah mulai pengap. Baterai hp (dan power bank) menipis, juga lampu senter "cas-casan". Di luar rumah, gelap malam menyambut. Waduh!

SENTER
Dalam artikel sebelumnya, PERSIAPAN MENGHADAPI BENCANA (1), saya ceritakan persiapan yang perlu dilakukan dalam kondisi darurat.

Saya menawarkan adanya “tas darurat”. Keluarga saya menyiapkan dua tas yang berisi hal-hal yang kami anggap penting untuk bertahan hidup.

Tas 1, berisi surat-surat penting, seperti fotocopy KTP, SIM, ijazah, pasport, surat asuransi, dll. Sementara tas 2 berisi peralatan bertahan hidup.

Senter (plus baterai baru yang masih tersegel), pisau lipat, obat-obatan kering, perban, obat merah, obat flu, minyak tawon, balsem, korek dll. Standard operating procedure (SOP) di keluarga kami: Hanya dua tas ini yang wajib kami bawa bila bencana datang.

Nah, saat lampu mati kemarin, persediaan lilin darurat yang ada di tas 2 sudah dinyalakan. Itu pun tidak bertahan lama.

Beruntung, masih ada senter dengan baterai kecil (jenis AA, yang biasa digunakan untuk jam dinding). Ini penyelamatnya.

Senter dengan baterai kecil, lebih efektif dan efisien ketimbang senter baterai cas (recharge) yang lebih modern.

Selain harganya terjangkau, senter baterai kecil lebih mudah diganti daya-nya. Cukup dengan membeli baterai kecil. Dalam kondisi lampu mati, kita tidak mungkin mengecas senterkan?

Senter jenis lain yang sangat membantu adalah senter bertenaga sinar matahari. Senter jenis ini, jauh-jauh hari sebelumnya sudah saya "cas" dengan sinar matahari.

Dengan dua jenis senter itu, rumah bagian dalam cukup terang untuk dipakai berartifitas.

KIPAS ANGIN

Selanjutnya soal pendingin udara. Kebetulan, rumah kami menggunakan dua jenis pendingin udara: Kipas angin dan AC.

Untuk AC, kami sekeluarga bersepakat HANYA menggunakan saat ada acara keluarga. Bukan penggunaan harian. Sialnya, saat lampu mati, keduanya tidak bisa digunakan.

Asal tahu, tempat tinggal saya memiliki empat jendela besar di bagian depan dan empat lubang angin di samping. Semuanya, termasuk pintu utama, memiliki kasa penahan nyamuk.

Meskipun sudah dibuka, tapi tetap tidak cukup membantu untuk mengalirkan udara. Gerah tak mau pergi. Dalam kondisi itu, kipas bambu menjadi alternatif.

Sejak awal, sengaja kami penyimpan kipas anyaman bambu dengan ukuran medium. Biasanya digunakan penjual sate. Di samping Lebih awet, saat digunakan bisa menciptakan hembusan angin lebih kencang.

AIR BERSIH

Air menjadi problem selanjutnya. Kebanyakan, tiap rumah menggunakan sistem toren air, di samping langganan air bersih bulanan.

Khusus untuk sistem toren, dalam kondisi normal, pompa listrik mengalirkan air tanah/air PAM ke toren di bagian atas rumah.

Nah, saat lampu mati, pengguna toren bergantung pada simpanan air yang tersisa di toren. Ini juga bikin dagdigdug. Suka tidak suka, penghematan luar biasa terpaksa dilakukan.

Saat mandi, setidaknya kami hanya menggunakan beberapa gayung saja. Saat buang air besar dan kecil, diefektifkan seefektif mungkin. Asal "barang itu" hilang dari pandangan dan tidak bau, stop menyiram lagi.

Soal cuci piring, dan cuci baju, terpaksa dihentikan sementara. Kita menggunakan peralatan sekali pakai. Soal baju, mengefektifkan baju yang ada digantungan. Soal bau badan, itu risiko. 

Langkah pengamanan air dilakukan dengan mengangsu (jawa-red) atau mengambil air dari sumber air terdekat. Karena tidak punya jirigen, galon air mineral kosong jadi pilihan.

Dengan kondisi itu, saya dan keluarga bertahan dalam kondisi lampu mati lebih dari 24 jam.

Tentu solusi itu jauh dari ideal. Bila bencana lampu mati terjadi lebih dari seminggu, misalnya, perlu banyak lagi yang disiapkan.

Bagaimana dengan anda? (*)

No comments:

Post a Comment