21 July 2019

Entah kenapa, saya senang bicara soal agama


Tema “pindah agama” dalam pemberitaan di media massa yang menjadi diskusi hangat belakangan ini, sungguh menggelitik.


Bukan soal boleh-tidaknya memberitakan hal itu (karena agama berada di ruang privat dan tidak etis menjadikannya obyek berita), melainkan soal mendiskusikan materi agama dan pernak-perniknya, dalam berbagai dimensi. Baik secara langsung, atau melalui platform tertentu

Sebelum berbicara lebih jauh, perlu saya mendeklarasikan, dalam hal agama, saya termasuk miskin ilmu dan dangkal.

Saat mendiskusikan agama, saya lebih banyak menjadi pihak yang bertanya. Sungguh-sungguh bertanya, untuk menggali dan mengetahui tentang berbagai hal, serta mengetahui bagaimana agama memandang sebuah persoalan.

ISLAM

Sejak kecil, saya diperkenalkan dengan agama Islam. Semua aktivitas di lini keluarga, sekolah dan lingkungan, salah satunya, mendasarkan pada ukuran-ukuran seorang muslim. Namun, hal itu tidak secara otomatis membuat saya memahami secara utuh ajaran ini.

Well, mungkin sedikit pernah bisa membaca dan hafal ayat-ayat pendek di Quran dan tahu artinya, tapi tidak memahami maknanya.

Hafal dan paham makna itu dua hal yang berbeda. Dalam posisi inilah perlunya diskusi. Di bangku sekolah, diskusi tentang makna beragama, saya rasakan sangat minim. Bila toh ada, arahnya pada dogma dan tidak memberi ruang untuk meragukannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, sering kali dibenturkan pada penyataan: “Lakukan tanpa bertanya, karena bertanya itu merupakan sebuah bentuk keraguan, dan keraguan adalah dosa.”

Saya tidak tahu, apakah hal-hal itu terjadi juga di agama-agama lain yang diajarkan di Indonesia. Yang pasti, saya merasakan suasana menjalankan perintah agama karena takut masuk neraka dengan bayangan kengeriannya. Semua menjadi berbeda, seiring perubahan tingkat sekolah.

Hingga-seperti juga banyak orang-bangku kuliah membuka cakrawala berpikir. Seorang senior mengatakan, “Bisa jadi, setan adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, karena menolak tunduk pada Adam, melainkan tetap tunduk pada Tuhan.” Saya hanya manggut-manggut.

Tentu saja, senior itu sedang bercanda. Hanya saja, itu membuat saya berpikir perlunya pemahaman dalam beragama, bukan hanya dogma.

Buku berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam”-nya Ahmad Wahib, mengaduk-aduk logika. Buku yang dipinjamkan seorang kawan jurnalis (yang kini sudah meninggal dunia, Alfatihah) itu seolah makin membangkitkan keingintahuan saya untuk lebih dalam mempelajari agama dalam multi dimensinya.

Seorang kawan berseloroh, “Agar kau tak semakin kafir, baiknya baca-baca tentang Rabi’ah al Adawiyyah.” Benar juga, berbagai cerita tentang Rabi’ah, sungguh menentramkan.

NEGARA

Waktu berlalu. Agama bagi saya termanifestasikan dalam caranya sendiri. Tentu saja, saya jauh dari ukuran muslim yang alim. Salat dan puasa masih belum sempurna, dan acap kali terlupa oleh aktivitas hidup yang lain. Apalagi berkali-kali menemukan fakta, penerapan agama dan hukum di Indonesia, menurut saya kurang pas.

Indonesia adalah negara hukum, bukan negara agama. Namun pertimbangan keagamaan masih muncul dan terus dimunculkan, bahkan mendahului hukum yang berlaku di wilayah. Atau, tidak sedikit peristiwa yang selalu menyertakan pemimpin agama, walaupun peristiwa yang terjadi tidak ada hubungannya dengan persoalan agama.

Dalam sebuah kompetisi politik misalnya, agama menjadi salah satu faktor yang menentukan. Seorang calon harus pandai-pandai membaca peta keagamaan, dan menjadikannya sebagai salah satu “wilayah yang harus dikuasai” sejak awal. Setelahnya, baru menggarap hal lain.

Di media massa, khususnya televisi, acara dakwah agama tertentu, jauh lebih sering, ketimbang agama yang lain. Porsinya jauh dari ukuran keberimbangan. Bahkan, di daerah tertentu, agama dijadikan dasar “hukum positif”, termasuk yang mengikat penganut agama lain. Bagaimana sebenarnya agama ditempatkan dalam kehidupan bernegara? Bukankah agama lebih memiliki keluasan dan kedalaman cakrawala, bahkan melebihi negara?

Pertanyaan-pertanyaan itu hanya sedikit dari puluhan lain yang ada di kepala saya. Karena itu, saya suka bicara agama, yang saya tahu tidak akan mencapai garis finis. (* | foto: FreePic.com)

No comments:

Post a Comment