26 July 2019

Belajar dari Mega, Prabowo, Paloh dan Anies

Bertemunya Megawati-Prabowo, dan Surya Paloh-Anies Baswedan, bagaikan pelajaran politik yang tidak menyenangkan di dunia politik Indonesia. Berikut ini catatan kecilnya.


Tanggal 24 Juli adalah hari bersejarah. Bukan hanya karena di tanggal ini, pada 1825, Pangeran Diponegoro dan KRT Setjonegoro mendirikan Kabupaten Wonosobo di Jawa Tengah.

Tapi, di tanggal yang sama di 2019, empat tokoh politik yang berseberangan menggelar pertemuan. Megawati-Prabowo bertemu di kediaman Mega di Jakarta, sementara di sudut lain ibu kota, Surya Paloh dan Anies Badwedan juga menggelar pertemuan.

Aureka!

Tak sedikit orang bersorak, merasa menemukan momentum “perdamaian” sejati, mengiringi pertemuan bersejarah sebelumnya, Joko Widodo-Prabowo Subianto di stasiun MRT.

Harapan berseliweran di media sosial dan media massa. Para pengamat menilai, ini adalah babak baru politik kolaborasi, bagi-bagi jabatan, dan peta baru koalisi.

BERSEBERANGAN

Saya tidak ada di antara sorak sorai harapan itu. Tapi berada di sudut sempit di luar lapangan. Masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Sembari terus mencari tahu “cita-cita” pertemuan yang dilakukan sambil makan nasi goreng dan buah-buahan itu.

Di sudut ini, saya melihat lagi jejak-jejak yang tertinggal prapemilu, saat pemilu dan pascapemilu. Termasuk ketika “pemanasan” menjelang Pemilu 2019, yang diawali dengan Pilkada Jakarta.

Kembali pada masa itu, saya sempat hadir dalam aksi 411 dan 212 (termasuk Reuni 212). Tentu, bukan menjadi bagian dari peristiwa, tapi menjadi saksi pergolakan-pergolakan yang ada.

Hingga dalam sebuah momen, di mana newsroom tempat saya bekerja seolah “berhenti berdetak” beberapa saat. Ketika palu hakim diketok, usai Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) divonis bersalah atas penodaan agama.

Keempat tokoh yang pada 24 Juli 2019 menggelar pertemuan ini adalah bagian tak terpisahkan dari peristiwa yang nuansanya terasa hampir ke seluruh Indonesia itu. Keempatnya saling berseberangan.

Saat pilkada Jakarta, mereka-mereka bersaing: Anies Baswedan-Sandiaga Uno, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.

Prabowo mendukung Anies. Mega (PDI Perjuangan) dan Paloh (Partai Nasdem), mantap mendukung Ahok. “Ahok merupakan prioritas bagi NasDem untuk meneruskan jabatan di DKI," kata Paloh di Bali, Januari 2016 silam.

Pilkada Jakarta yang panas, ditutup dengan kemenangan Anies-Sandi, dan dipenjarakannya Ahok.

Dalam perjalanannya, politisi PDIP dan Partai Nasdem juga kerap mengkritik langkah Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebut saja soal penutupan Alexis, soal rotasi jabatan di Pemprov DKI, soal Saham Bir, soal kosongnya Wagub, soal legalisasi becak, dan soal penyebutan pribumi dan nonpribumi dalam pidato Anies Baswedan.

Ketika masuk Pilpres 2019, suasana makin seru. Pembelahan cebong dan kampret, bahkan masuk sampai ke wilayah terkecil, keluarga. Posisi Mega-Paloh mendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin, berhadap-hadapan dengan Prabowo-Anies mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dalam sebuah pidato, Mega bahkan merasa kasihan dengan Prabowo yang dinilainya, dikelilingi oleh orang-orang yang sering mengkritik Presiden Jokowi dengan tidak pantas. “Kasihan beliau (Prabowo),” kata Mega di DPP PDI Perjuangan, November 2018.

Mega juga mengkritik cara berkampanye Prabowo-Sandi yang tidak bicara program, dan meniru cara berkampanye Presiden AS Donald Trump (saat melawan Hillary Clinton dalam Pilpres di AS).

Sementara Prabowo-Sandi, berkali-kali mengkritik Joko Widodo, calon yang didukung Megawati. Kesejahteraan, utang negara, BUMN merugi, kekuatan TNI yang lemah, hingga pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran, menjadi materi serangan tiada henti.

Dan yang paling “luar biasa”, perseteruan di Pilpres 2019 kali ini membuahkan 10 orang meninggal dalam kerusuhan 21-23 Mei 2019 (Amnesty Internasional Indonesia). Belum lagi jumlah orang yang berurusan dengan hukum terkait politik di tahun ini. Plus, ratusan pesan hoax yang bersliweran menyerang Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandi.

Dan ujungnya, ditutup dengan persidangan di Mahkamah Konstitusi yang melelahkan.

BERSATU

Lalu, tiba-tiba suasana politik berubah drastis. Mulai muncul seruan untuk berdamai, hingga terjadilah pertemuan 24 Juli 2019, setelah sebelumnya Jokowi-Prabowo bertemu di MRT.

Saya tetap tidak mampu memahaminya. Masih terbayang di kepala, rangkaian peristiwa Pilkada Jakarta, Pilpres 2019, caci maki saling serang, tebaran hoax di mana-mana, hingga kerusuhan di Jakarta pada 21-23 Mei 2019. Dan tentu saja, bayangan para korban luka atau meninggal dunia.

Saya hadir dalam kerusuhan itu. Menyaksikan bagaimana polisi saling serang dengan perusuh. Bagaimana batu-batu melayang di sela-sela asap, api dan roket petasan. Begitu pun tongkat kayu, bogem mentah, tendangan yang mendarat di tubuh para perusuh. Lalu mereka dicengkeram, diseret untuk “diamankan”.

Di antara semua bayangan tragedi itu, tiba-tiba ada kenyataan lain: Mega bertemu Prabowo dan Paloh bertemu Anies.

Apa kira-kira yang ada di benak keluarga korban meninggal dunia, korban luka, atau yang disel, ditahan, bahkan dipidana karena terangkut peristiwa politik itu?

Pun, orang-orang yang dengan sepenuh hati membela kandidat, pilihan politik mereka, harus menerima fakta: dua kutub itu saling bertemu dan makan nasi goreng?

Termasuk para aktivis media sosial dan para buzzer. Pasca pertemuan itu, meski mulai menebarkan narasi “semua demi Indonesia”, masih ada saja yang malu-malu untuk memuji orang yang dulu dicaci-makinya.

Memang, “Tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik. Yang abadi banya kepentingan”. Namun jangan lupa, ada keabadian lain yang tidak dikatakan, yakni: nyawa yang melayang akibat dari rangkaian peristiwa politik itu.

Selamanya, sejarah akan mencatat hal ini. (*)

No comments:

Post a Comment