20 November 2017

CARA SAYA MELIHAT HUBUNGAN HILMAN DAN NOVANTO

Bagaimana hubungan wartawan dengan nara-sumbernya? Pertanyaan itu tiba-tiba muncul seiring kasus korupsi KTP elektronik dengan tersangka Ketua DPR-RI Setya Novanto. Disebut-sebut, "drama" yang melibatkan Novanto menyeret seseorang bernama Hilman Mattauch. Hilman--yang katanya seorang wartawan--adalah sopir Novanto, saat mobil yang ditumpanginya menabrak tiang lampu, 16 November 2017.


Tulisan ini tidak akan menyelami lebih jauh tentang kasus korupsi Setya Novanto, atau keterlibatan Hilman Mattauch. Juga, tidak akan mencari tahu posisi Hilman dalam dunia jurnalistik, apalagi hubungannya dengan MetroTV--stasiun TV yang memintanya mundur. Terus terang, saya tidak mengenal Hilman secara pribadi. Hanya pernah bertemu beberapa kali dalam liputan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Satu hal yang saya yakini, bila saya menjadi Hilman, mungkin saya akan melakukan hal yang sama, dengan apa yang dia lakukan. Dalam arti, sebagai seorang jurnalis, saya akan menjaga hubungan dengan narasumber. Apalagi sekelas Setya Novanto--orang yang dikabarkan memiliki pengaruh luar biasa di Partai Golkar, juga dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Di luar nilai-nilai saya dan Setya Novanto yang jelasnya sangat berbeda, namun dekat dengannya, bisa jadi menjadi pilihan profesional.

Hal yang sama juga saya lakukan dengan beberapa politisi yang juga narasumber. Tidak hanya menyodorkan alat perekam saat wawancara, juga bergabung dengan pertemuan-pertemuan informal, seperti hangout dengan kawan separtai-seinstansi, makan malam, bahkan mampir ke rumah untuk sekedar berkenalan dengan lingkaran keluarga. Dari rasa percaya itulah, sering kali, hal-hal tidak terduga dalam hal pemberitaan datang.

Pilihan hubungan ini bukan tanpa risiko. Tak jarang, kedekatan itu secara alami mempengaruhi aktivitas profesional jurnalistik. Beruntung, saat itu terjadi "alarm pengingat" sering muncul, dan mengembalikan semua ke jalurnya. Yang sederhana biasanya adalah permintaan untuk "tidak memuat" berita-berita negatif dari narsumber atau kelompok narasumber. Saat itulah, penjelasan yang proporsional pada narasumber menjadi jawaban.

Termasuk, bila narasumber menginginkan adanya pendekatan "uang transport". Tidak hanya pada saya, tapi pada kawan-kawan jurnalis lain--melalui saya. Biasanya, pendekatan itu dilandasi oleh kebiasaan lawas sebagai narasumber yang sering membangun komunikasi dengan cara pemberian "uang terima kasih", "uang transport" atau semacamnya. Solusi tentang ini, sangatlah mudah. Yakni menawarkan pemahaman tentang efek buruk kebiasaan itu: memposisikan narasumber sebagai ATM. "Maukah anda menjadi ATM karena kebiasaan itu?" Jawabnya hampir pasti: Tidak.

Saya tidak tahu secara pasti, apakah Hilman juga melakukan itu pada Novanto?

Bagaimana bila narasumber terlibat bersoalan, seperti halnya Setya Novanto yang menjadi tersangka di kasus KTP elektronik. Tentu, saya memilih untuk terus menemaninya. Menjadi salah satu orang yang dipercaya, adalah hal penting dalam kondisi seperti ini. Hanya saja, sensitivitas alarm harus lebih diperketat. Terutama, bila lampu spotlight pemberitaan mengarah padanya. Sebagai salah satu "teman dekat", saya akan memintanya untuk melakukan apa yang menurutnya paling tepat--secara hukum maupun secara politik.

Pastinya, ikut terlibat dalam pelarian--bila narasumber masuk menjadi Daftar Pencarian Orang/DPO--bukanlah hal yang tepat. Apalagi ikut menjadi pihak yang menyembunyikan narasumber dari kejaran pemerintahan atau lembaga yang diberi wewenang, misalnya, jelas bukan pilihan. Bila ditanya, saya akan menyarankan mengikuti jalur hukum, namun tetap kembali mengembalikan pilihan padanya.

(sekali lagi), Saya tidak tahu secara pasti, apakah Hilman juga melakukan itu dalam kasus Setya Novanto? Entahlah. Kita tunggu babak selanjutnya.

ID NUGROHO
Foto: https://blog-dzjghwp5.netdna-ssl.com/wp-content/uploads/2014/03/March25Refresh.jpg

No comments:

Post a Comment