15 October 2016

APAKAH KITA BENAR-BENAR MENYAYANGI PAPUA?

NYT.COM
Papua, masih tercatat sebagai bagian dari negara Indonesia. Tapi teriakan memisahkan diri,  terus terdengar. Dan kini, enam negara di pasific, meneriakkannya dalam forum PBB. Bila Indonesia benar-benar menyayangi Papua, mengapa keinginan merdeka itu masih ada?

Diskusi tentang Papua, memang tidak pernah ada habisnya. Begitu juga saat saya dan kawan-kawan melakukannya, di sebuah malam, di pertengahan Oktober 2016.

Belasan orang yang saya yakini mencintai Papua, beradu argumentasi untuk menjawab pertanyaan: Apa yang seharusnya kita lakukan, untuk membantu masyarakat Papua?

"Hal-hal yang dilakukan Pemerintahan Jokowi pada Papua, sudah tidak kurang-kurang. Bantuan dan segala upaya sudah diberikan. Tapi apakah itu membuat kelompok prokemerdekaan berkurang semangatnya? Tidak," kata seorang kawan.

Jauh sebelum pembicaraan malam itu, seorang kawan lain yang tinggal di Jayapura, Papua, menjelaskan kondisi Papua belakangan ini. Terutama, di kalangan muda Papua.

"Ideologi untuk melepaskan diri dari Indonesia, berbeda dari tahun-tahun lalu. Bila dulu, kelompok yang diidentifikasikan sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) memilih untuk angkat senjata, kini mereka angkat gadget-nya." jelasnya.

Kawan ini menjelaskan, ideologi "merdeka dari Indonesia" itu tersebar melalui bacaan, diskusi dan posting-posting di internet. Terutama sosial media. Referensi akan hal itu banyak tersebar, dan dikuatkan dalam diskusi.

Referensi "Papua Merdeka" lebih deras dibanding referensi dari sudut lain, Papua NKRI.

AWAL MULA

PNG EXPOSED

Apakah yang menjadi persoalan awal di Papua?

Buku Papua Road Map yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), cukup lugas menjelaskan hal itu. Dijelaskan, salah satu alasan "Nasionalis Papua" menolak adalah peristiwa "deklarasi kemerdekaan Papua", yang diklaim sudah terjadi pada 1 Desember 1961.

Namun, kajian peneliti sejarah lain menemukan, saat itu hanya ada pengibaran bendera, tanpa adanya proklamasi. Karena itu, sejarah Papua berlanjut dengan dibuatnya New York Agreement pada 1962.

New York Agreement adalah "penyerahan" Papua oleh Pemerintah Belanda kepada United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA). Kemudian, UNTEA "menyerahkan" Papua kepada Pemerintah Indonesia. Pasca perjanjian itu, "dunia" dinilai telah mengakui masuknya Papua sebagai bagian dari Indonesia.

Salah satu poin New York Agreement adalah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua, pada 1969. Sejumlah 1025 orang Papua melakukan referendum untuk menentukan nasib. Hasilnya, mayoritas memilih untuk bergabung dengan Indonesia.

Dua momentum sejarah itu dinilai tidak melibatkan warga Papua secara keseluruhan. Dalam Pepera misalnya, seribu lebih warga Papua yang melakukannya disebut-sebut dipilih terlebih dahulu oleh militer Indonesia.

Karena itu juga, di bagian sejarah yang lain, Seth Rumkorem, pemimpin Organisasi Papua Merdeka, memproklamasikan Papua Barat Merdeka di Markas Victoria, pada 1 Juli 1971.

Ada juga pendapat yang mengatakan, Papua merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari Indonesia, ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Proklamasi Indonesia itu, secara otomatis membuat negara Netherlands Indies (di mana Papua tergabung di dalamnya), berubah menjadi Indonesia.

Dari berbagai paparan ini bisa terlihat, satu sudut pandang tentang Papua, bisa bertentangan dengan sudut pandang yang lain. Tidak mengherankan, masih ada yang menilai, persoalan Papua "belum tuntas".

DARI PRESIDEN KE PRESIDEN

HRW
Banyak pihak menilai, Orde Baru di bawah Presiden Soeharto memperburuk kondisi di Papua. Kehadiran militer dan program transmigrasi ke Papua, menciptakan problem baru.

Di masa Orde Baru jugalah, awal masuknya perusahaan asing ke Papua, dengan "perlindungan" dari pemerintah Indonesia. Kehadiran PT.Freeport pada tahun 1967 (sampai sekarang), menjadi salah satu simbol dari intervensi perusahaan asing ke Papua.

Pemerintah Soeharto juga banyak disorot karena pendekatan keamanan yang menciptakan banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Secara politik, ketidakpuasan kelompok-kelompok (yang dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka atau OPM) ditekan, dipenjarakan, bahkan berakhir dengan meregang nyawa.

Ketika Gerakan Reformasi berhasil menurunkan Presiden Soeharto, kondisi Papua mulai terbuka. Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman memprakarsai adanya dialog.

Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahkan mengembalikan harga diri warga Papua, dengan mengganti nama Provinsi Irian Jaya dengan Provinsi Papua. Gus Dur juga yang memperbolehkan bendera Bintang Kejora berkibar di Papua.

Di jaman Presiden Megawati Soekarnoputri, Papua ditetapkan sebagai daerah Otonomi Khusus (Otsus) setelah MPR mengesahkannya dalam Tap MPR. Juga, Papua dibagi menjadi 4 provinsi, meski perkembangan politik kemudian mengharuskan Papua hanya terbagi menjadi dua Provinsi: Provinsi Papua dan Papua Barat.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP), selain memaksimalkan Otsus. SBY bahkan mencanangkan apa yang disebut "percepatan pembangunan di Papua."

Dan kini, Presiden Jokowi pun berencana melakukan banyak hal, seperti membangun jalan kereta sepanjang 300 KM, dan menghubungkan seluruh kabupaten di Papua dengan jalan sepanjang 3900 ribu KM lebih.

Jokowi, bahkan menjadi presiden yang paling sering ke Papua, hingga ke daerah-daerah "merah", yang pada awalnya tidak pernah dikunjungi Presiden RI, karena berbahaya.

DIPLOMASI

KUTZTOWN
Di antara berbagai program di Papua itu seolah tidak mampu meredam keinginan beberapa pihak untuk merdeka dari Indonesia. Hadirnya berbagai kelompok yang berideologikan "kemerdekaan Papua" terus tumbuh.

Dan puncaknya adalah dukungan enam negara pasific, Vanuatu, Solomon Islands, Tonga, Nauru, Marshall Islands dan Tuvalu dalam forum PBB di New York, 26 September 2016, sebagaimana dimuat ww.abc.net.au.

Dalam dunia politik,  dukungan negara-negara yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG) itu adalah bukti eksistensi dan keberhasilan kelompok-kelompok yang ingin memerdekakan diri dari Indonesia. Sosialisasi yang mereka lakukan terbukti bisa memunculkan solidaritas negara-negara yang warganya memiliki Melanesian-ras yang sama dengan warga Papua.

Meski demikian, hingga saat ini, Pemerintah Indonesia tidak melihatnya sebagai hal yang penting. Salah satu kritikan yang muncul pasca keluarnya dukungan enam negara itu adalah ketidakseriusan Indonesia dalam melakukan lobi internasional.

Dalam pertemuan di PBB New York misalnya, "serangan" politik internasional pada Indonesia hanya dijawab dengan hadirnya diplomat muda Nara Masista Rakhmatia, dalam forum itu.

Nara, dalam forum itu justru menyerang balik dukungan enam negara, dengan mengatakan dukungan itu sebagai hasutan yang menyuburkan gerakan separatis yang mendorong hadirnya aksi terorisme dan kekacauan publik. Nara, bahkan menilai, cara enam negara itu "memanfaatkan" forum PBB New York adalah tindakan berbahaya.

Sebagai diplomat, statemen keras semacam ini mengingatkan kita pada sikap Indonesia tentang Timor Timur, saat "diserang" dalam forum internasional. Alih-alih ingin meneguhkan kedaulatan, Indonesia justru tidak mendapatkan dukungan internasional.

Dan sejarah membuktikan, ujung dari nasib Timor Timur adalah lepasnya wilayah itu menjadi Negara Timor Leste.

Lemahnya diplomasi semakin diperburuk dengan keengganan Indonesia membuka diri untuk jurnalis asing ke Papua. Sampai artikel ini ditulis, pemerintah masih mensyaratkan adanya "clearing house" di 12 lembaga dan kementerian bagi jurnalis asing yang mengajukan izin meliput di Papua.

Langkah ini jelas memperburuk citra Indonesia di mata dunia.

DIALOG
ISISI
Seorang kawan yang menetap di Papua memiliki usulan sederhana, sebagai realisasi kepedulian Indonesia pada Papua.

"Lakukan lagi dialog untuk semua kalangan di Papua. Baik yang pro maupun kontra-Indonesia. Di antara berbagai pembangunan di Papua, dialog menjadi dasar dan jalan keluar. Bila dialog dilakukan dengan hati yang tulus, kebaikan akan datang. Entah bagaimana bentuknya."

ID NUGROHO

No comments:

Post a Comment