21 August 2016

ADA APA DENGAN ROKOK?

Fotonya Kiky Muysang
"Bila harga rokok mahal, apakah sampeyan akan tetap merokok?" tanya seorang kawan. Aku tidak menjawabnya. Ini rokokku, mana rokokmu? Tidak ada paksaan dalam merokok.
***

Tulisan ini aku buat dengan kejengkelan. Jengkel karena untuk sekian kalinya (mungkin akan terus berulang), rokok menjadi bahan pembicaraan.

Di antara berbagai tema lain yang lebih penting, kenapa soal rokok yang menjadi bahan obrolan sih?

Dan sudut pandang obrolannya selalu sama. Orang mengaitkan rokok dengan masalah kesehatan (kesehatan perokok maupun orang-orang di sekitarnya).

Masalah kebiasaan "membakar" uang, masalah polusi, hingga masalah ketidakadilan ekonomi (bos perusahaan rokok kaya raya, tapi perokoknya miskin).

Bahkan ada juga yang mengaitkan rokok dengan masalah pelanggaran hak anak.

Di sebuah kota di Jawa Timur, keluarga yang menanam tembakau dinilai tidak pas melibatkan anak-anaknya dalam aktivitas perkebunan.

Dan dari semua masalah-masalah itu, intinya selalu sama: merokok adalah perbuatan hina, penuh dosa dan mendukung semua keburukan.

MASALAH-MASALAH

Benarkah itu semua? Benar.

Pembenaran dan sikap menyalahkan perokok adalah hal yang ingin didengar oleh kelompok anti rokok. Setiap usaha menjelaskan duduk persoalan hal per-rokok-an ini, tidak akan mengubah logika kelompok itu.

Dalam benak mereka, bila tembakau dihapus dari muka bumi, pabriknya ditutup, atau seluruh perokok dihilangkan, atau tindakan-tindakan semacamnya dilakukan, maka dunia akan menjadi lebih baik.

Logika yang sama sepertinya ada di kepala pimpinan Kores Utara, Kim Jong Un. Dailymail.co.uk memberitakan, Kim sudah berhenti merokok, dan sedang menggalakkan Korea Utara bebas rokok.

"Kim Jong-un 'quits smoking' and hasn't been seen with a cigarette in two months as North Korea launches campaign to get its citizens to give up the habit," tulis Mailonline edisi 19 Mei 2016.

Mungkin Kim menyadari, hal ihwal kesehatan menjadi penting. Bagi Kim (mungkin juga kelompok anti rokok itu), menghapus asal rokok lebih penting ketimbang menolak penggunaan nuklir untuk meniadakan sampah nuklir misalnya.

Atau, rokok dianggap lebih menakutkan ketimbang polusi asap kendaraan bermotor yang terjadi setiap saat, setiap hari.

Seorang kawan pernah berkata: Kalau sampeyan merokok, telan saja asapnya sekalian, agar orang lain yang tidak merokok, tidak ikut teracuni.

Kawan ini jelas bukan perokok. Dia hanya pemakai kendaraan umum, dan sesekali naik motor pribadi. Pernah sesekali saya meminta dia untuk menelan asap kendaraan umum dan motor yang dia tumpangi. Karena asapnya juga menjadi racun bagi orang lain.

Sayangnya, dia menolaknya.

Kelompok anti rokok ini sering juga lupa, saat mereka diskusi anti tembakau di tempat sejuk ber-AC, efek freon dari air conditioner (AC) yang digunakan, merusak lapisan ozon.

Bisa terbayang, berapa orang yang tidak menggunakan AC, akan ikut sengsara bila lapisan ozon berlubang dan merusak bumi dan seisinya.

Soal ketidakadilan ekonomi, dengan membandingkan bos pabrik rokok dengan buruh dan konsumen rokok, juga dagelan.

Pertanyaan sederhananya: mana perusahaan di muka bumi ini, yang bos pemilik perusahaannya, lebih miskin dari pekerja/buruhnya?

Artinya, yang membuat bos pabrik rokok itu kaya, bukan karena tembakau  dan konsumen rokok, melainkan sistem ekonomi kapitalistik yang dilaksanakan saat ini.

Mari kita berandai-andai, sebut saja perusahaan rokok berhasil dipaksa tutup, lalu mantan bos pabrik rokok ini membangun perusahaan kondom.

Apakah kemudian, buruh perkebunan karet (karena kondom berbahan baku karet) akan lebih kaya dari bos pabrik kondom? Apakah buruh pabrik itu juga akan lebih makmur hidupnya ketimbang sang bos?

Tentu tidak.

Keadilan ekonomi itu bukan urusan rokok atau tembakau, tapi sistem ekonomi yang dijalankan. Bila mau mengubah ini, jangan "memusuhi" rokok dan aktivitas ekonomi berbahan tembakau, melainkan, ubahkan sistem ekonomi kapitalisme yang menindas.

Dan yang paling akhir, soal mengaitkan rokok dengan "pelanggaran hak anak" dalam perkebunan tembakau.

Aku memahami niat baik kelompok yang melakukan investigasi dalam persoalan ini. Paling tidak, kelompok ini mendapatkan dua isu sekaligus: anti rokok dan perjuangan hak anak.

Tapi maafkan, saya setuju yang kedua (perjuangan hak anak). Dan ini tidak hanya terjadi dalam dunia perkebunan tembakau.

Eksploitasi anak-anak, dalam bidang apa pun harus dilawan. Anak-anak harus tetap menjadi anak-anak dalam semua bidang.

Dan sekali lagi, problem itu tidak hanya di dunia perkebunan tembakau.

Lihatlah persoalan anak yang dilacurkan (dijadikan pelacur), anak-anak jalanan dan semacamnya. Dan jumlahnya jauh lebih besar.

Tapi, seperti yang sudah aku tuliskan, semua penjelasan hak ihwal per-rokok-an, tidak akan menghapus isi kepala kelompok anti rokok.

Jadi, ini rokokku, mana rokokmu? Tidak ada paksaan dalam merokok (atau tidak merokok).

ID NUGROHO

No comments:

Post a Comment