06 February 2016

TALANGSARI, DARI SURAT MENJADI TRAGEDI

ILUSTRASI KORBAN TALANGSARI | url http://edyaeffendi.com/archives/34870/talangsari
Di Cihideung, tentara melakukan penyerbuan. Puluhan jamaah pengajian pimpinan kyai karismatik Warsidi, tewas. Ratusan lain hilang. Tragedi kemanusiaan itu berawal dari surat menyurat.

Awalnya, Cihideung atau Umbul Cihideung, Kecamatan Way Jepara, Talangsari, Lampung, merupakan hamparan tanah kosong yang tidak berpenghuni. Ketika pertama kali “ditemukan” pada 1970, daerah ini hanya berisi semak belukar, tempat persembunyian binatang liar.

Program transmigrasi yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru yang mengubah semuanya. Sejak tahun 1970 pula, Cihideung menjadi pemukiman.

Pendatang dari berbagai etnis serta daerah asal Jawa, seperti Solo, Boyolali, Sukoharjo, Jakarta serta  beberapa tempat di Jawa Barat, tiba dan tinggal di tempat itu. Sebagian lain tinggal di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah.

Nama Cihideung sendiri diberikan oleh pendatang dari etnis sunda. Cihideung berasal dari dua kata, “Ci” dan “Hideung”. Ci merupakan kependekan dari Cai yang berarti air, sedangkan “Hideung” adalah hitam, air yang menghitam.

Selama bertahun-tahun, warga tinggal di tempat itu dengan damai. Hingga tahun 1989. Tepatnya 27 Januari 1989, Camat Way Jepara, Zulkifli Maliki berkirim surat kepada Kapten Soetiman, Komandan Rayon Militer (Danramil) Way Jepara.

Dikirimnya surat itu berdasar dari cerita Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega, yang mendapatkan informasi dari Kepala Dusun (Kadus) Talangsari, Sukidi. Diceritakan, masyarakat setempat resah dengan kegiatan jamaah pengajian Talangsari pimpinan Warsidi

Camat Way Jepara, Zulkifli meminta Kades Rajabasa untuk menghadirkan Warsidi dan anak buahnya, Mansur (kepala kampung) dan Sukidi (kepala dusung Talangsari III) dalam sebuah pertemuan.

Lebih jauh, Zulkifli bahkan meminta kades untuk menghentikan dan melarang pengajian tersebut. Apalagi, informasi yang didapatkannya, pengajian itu mendatangkan orang-orang asing dari luar daerah dan tidak diketahui identitasnya. Mereka terlibat dalam pengajian tanpa sepengetahuan pemerintah.

WARSIDI

Warsidi, guru dan ulama dalam pengajian itu mengirim surat balasan yang menjelaskan tentang ketidakhadiran dirinya untuk memenuhi undangan Zulkifli. Alasannya, tokoh karismatik ini memberi pengajian di beberapa tempat.

Dalam surat itu Warsidi mengutip sebuah hadist (perkataan dan tindakan Rasul Umat Islam, Muhammad SAW) tentang pejabat pemerintah atau umaro.  “Sebaik-baiknya umaro ialah yang mendatangi ulama dan seburuk-suruknya ulama yang mendatangi umaro.”

Dalam suratnya, Warsidi menyarankan Camat Zulkifli untuk datang langsung ke Cihideung guna mengecek aktivitas pengajian yang dipimpinnya. Hal itu, katanya, akan membuat Zulkifli mendapatkan gambaran lebih jelas tentang pengajian yang dipimpinnya.

Untuk menunjukkan niat baiknya, Warsidi menerima Camat Zulkifli dan jajaran Muspida yang mendatanginya pada Sabtu, 21 Januari 1989. Dalam pertemuan itu Warsidi menjelaskan identitas orang-orang yang pernah datang ke Talangsari.

Pertemuan berlangsung akrab, dan diakhiri dengan undangan Camat Zulkifli pada Warsidi untuk bertemu di kantornya. Warsidi mengiyakan dan mengatakan akan datang.

PENYERBUAN

Tanpa diduga-duga, muncul kejadian tidak mengenakkan pada Minggu, 22 Januari 1989. Ketika itu, beberapa aparat keamanan yang salah satunya  Sersan Mayor Dahlan AR, mendatangi perkampungan  Cihideung, pada tengah malam.

Entah mengapa, Serma Dahlan yang ketika itu membawa senjata api, masuk ke Mushola tanpa melepas sepatu.

Ia bahkan mencaci maki peserta pengajian, dengan disertai umpatan. Menurutnya, aktivitas yang dilakukan para jamaah itu adalah sebuah kebathilan dan menentang pemerintah.

Bila aktivitas itu terus dilakukan, maka perkampungan tempat pengajian digelar akan dihancurkan. Dalam aksinya, Dahlan mengacungkan senjata api dan menantang para jamaah.

Sekitar 10-an orang jamaah yang hadir, diantaranya Arifin, Sono, Marno, Diono dan Usman, berusaha menahan diri untuk tidak terpancing. Setengah jam kemudian, ketika dirasa tidak ada respon dari jamaah, kedua aparat tersebut pergi meninggalkan musholla.

Geliat lain yang berhubungan dengan aktivitas pengajian itu datang dari Desa Labuhan Ratu. Camat setempat juga mengadukan aktivitas pengajian itu kepada Camat Zulkifli. Menurut kades Labuhan Ratu, jamaah Warsidi meresahkan warga pondok pesantren Al-Islam, Labuhan Ratu.

Seluruh masukan yang didapatkan Camat Zulkifli, diketahui pula oleh Danramil 41121 Way Jepara, Kapten Sutiman, lantaran Zulkifli selalu meneruskan surat meyurat itu kepadanya.

Dalam suratnya Zulkifli meminta Koramil untuk meneliti sosok Usman, Jayus dan Anwar, yang disebutkan sebagai orang-orang yang berada di balik pelaksanaan pengajian itu. Sutiman menindaklanjuti laporan itu dengan perintah untuk menghadirkan ketiganya dalam sebuah pertemuan di kantor koramil.

Upaya menyoroti aktivitas pengajian itu memunculkan reaksi. Merebak isu adanya rencana penyerbuan oleh pihak militer, sebagai pelaksanaan keputusan Muspika, ke perkampungan jemaah di Cihideung. Info itu disebut-sebut disebarkan oleh Imam Bakri Roja'i, suami Ibu Lurah, Sakeh. Bakri dikabarkan mengikuti pertemuan itu.

Dua anggota jamaah,  Joko dan Dayat juga mendapatkan informasi yang sama dari anggota Koramil 41121 Way Jepara. Menurut anggota koramil itu, penyerbuan akan dilakukan dalam beberapa hari lagi.

Keresahan mulai menyeruak saat Kepala desa Cihideung dan warga di luar jemaah dan masyarakat lain yang tinggal di sekitar perkampungan, memilih mengungsi. Namun tidak bagi jamaah pengajian. Karena merasa tidak melanggar peraturan, jamaah tetap tinggal di Cihideung. Untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan, jamaah melaksanakan ronda malam.

LAPORAN PALSU

Awal Februari 1989, sebuah surat permintaan pembubaran pengajian dilayangkan Kades Rajabasa Lama kepada Danramil  41121 Way Jepara, Kapten Sutiman. Dalam surat itu disebutkan, anggota jamaah sudah bersiap-siap “menunggu” pihak luar yang akan membubarkan mereka dengan senjata bom molotov.

Kabar itu bukan isapan jempol semata. Dalam rangkaian hari yang sama, Kapten Sutiman meminta persetujuan Komandan Kodim 0411 Metro, Anggota Musyawarah Pimpinan Kabupaten (Muspika) Way Jepara, Danrem 043 Garuda Hitam di Tanjung Karang, Kakansospol TK II Lampung Tengah dan Kakandepag TK II Lampung Tengah untuk langkah yang akan dilakukannya, menangkapi anggota jemaah pengajian pada sebuah penyerbuan malam.

Dan benar, pada Minggu, 5 Februari 1989 malam, sekitar pukul 23.45, Serma Dahlan AR (Koramil 41121 Way Jepara), Kopda Abdurrahman, Pamong Desa Ahmad Baherman, Kepala Dusun Talangsari III Sukidi dibantu beberapa orang lainnya, menyergap salah satu pos ronda milik jamaah pengajian.

Sejumlah tujuh 7 orang jamaah ditangkap. Dua orang, satu diantaranya terluka parah akibat popor senjata, berhasil melarikan diri. Lima orang yang ditangkap ditahan ke Kodim 0411 Metro, Lampung.

Keesokan harinya, Kasdim Mayor Oloan Sinaga melakukan penyergapan dan penyerangan lanjutan ke Cihideung, bersama 9 anggotanya. Tanpa didahului dialog dan memberikan peringatan terlebih dahulu, mereka menembaki perkampungan pada saat jamaah baru tiba dari sawah dan ladang.

Penyerbuan diawali dengan tembakan 1 kali dari rombongan aparat. Kemudian disambut pekik takbir oleh jamaah. Pekik takbir itu dibalas dengan tembakan beruntun oleh aparat. Melihat serbuan  sporadis, masyarakat yang masih berpakaian dan memegang alat-alat pertanian seperti cangkul, parang, golok dan lain-lain berusaha menyelamatkan diri.

Dalam penyerbuan yang berlangsung sekitar setengah jam. Kapten Sutiman tewas, sertu Yatin cedera, Mayor Sinaga dan pasukannya kabur. Jeep dan 4 sepeda motor ditinggal di lokasi. Di pihak jamaah, dua orang dikabarkan cedera berat.

Jamaah yang tertembak itu bernama Ja’far. Seorang jamaah lagi yang disebut-sebut berasal dari Jawa Barat, cedera berat akibat dibacok salah satu tentara penyerbu yang ketika itu membawa senjata tajam, selain senjata api yang ditentengnya.

Fadilah, anggota jemaah pengajian melaporkan kejadian itu kepada Warsidi. Tokoh karismatik ini memerintahkan anggota jemaah untuk menyebarluaskan peristiwa itu, serta membuat sebuah aksi untuk mengalihkan perhatian masyarakat dan aparat keamanan.

Ketika perhatian teralih itulah, rencananya, anggota jemaah diam-diam akan mengungsi, untuk menghindari korban yang lebih banyak bila terjadi serangan lanjutan.

Keadaan semakin tegang. Anggota jamaah pengajian mulai berpencar untuk melarikan diri. Salah satu kelompok berisi 11 orang jamaah memilih untuk pergi dengan mencarter Bus Wasis. Rencananya, bus itu digunakan sebagai alat tansportasi ke Metro, Lampung.

Sialnya, di dalam bus yang akan ditumpangi itu mereka bertemu dengan Pratu budi Waluyo. Setelah ditanya-tanya, Pratu Budi mengaku dalam perjalanan kembali dari Way Jepara. Jemaah pun mengaitkan Pratu Budi dengan peristiwa penculikan lima orang anggota jamaah yang terjadi sebelumnya.

Jemaah pun marah, dan membunuh Pratu Budi. Mayatnya dibuang di daerah Wergen antara Panjang dan Sidorejo, Lampung. Mereka juga mencederai supir dan kenek bus.

HENDROPRIYONO

Peristiwa itu sampai juga ke telinga kepada Komandan Korem Gatam 043, Kolonel Hendropriyono. Hendro jugalah yang melaporkannya kepada Panglima Kodam II Sriwijaya, Mayjen TNI R Sunardi, yang sedang berada di Bandar Lampung dalam rangka peresmian lapangan tenis baru untuk Korem Gatam.

Pangdam Mayjen R Sunardi memerintahkan Kol. Hendropriyono untuk melanjutkan usaha penertiban di Dusun Talangsari III. 

Dengan menggunakan truk-truk, pasukan pun disiapkan di sekitar Cihideung. Di lokasi itu, anggota jemaah pengajian melakukan ronda dan bersiap untuk bertahan bila kembali diserang. Jayus dan Alex, anggota jemaah pengajian mengkoordinir jamaah dari Jakarta, Lampung dan Solo untuk jaga malam.

Suasana semakin tegang dengan hadirnya serdadu dan polisi di sekitar lokasi. Tanpa mereka sadari, beberapa pasukan sudah berada di titik-titik penyerbuan. Tepat pukul 24.00, serangan dilakukan. Suara termbakan menyalak-nyalak.

Petugas jaga jamaah pengajian pun membalasnya dengan tembakan dari senjata milik pasukan yang sempat menyerbu sebelumnya, dan tertinggal. Ketegangan semakin memuncak. Beberapa kali, jamaah pengajian yang melakukan penjagaan memergoki beberapa tentara yang akan menyusup diam-diam. Saat akan diserang, tentara itu melarikan diri.

Matahari sudah mulai meninggi saat Danrem Kol. Hendropriyono bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri dibantu beberapa Kompi Brimob, CPM dan Polisi menyerbu perkampungan Cihideung. Serangan dilakukan dari Utara (Pakuan Aji), Selatan (Kelahang) & timur (Kebon Coklat, Rajabasa Lama). Sementara arah barat, wilayah yang banyak ditumbuhi pohon singkong dan jagung dibiarkan terbuka.

Pasukan penyerbu dilengkapi senjata M-16, bom pembakar (napalm) dan granat. Sebagian pasukan menggunakan dua buah helikopter, yang digunakan untuk membentengi arah barat.

Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran,  tidak ada jalan keluar bagi jamaah untuk meyelamatkan diri. Mereka hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya. Korban pun berjatuhan.

Karena kekuatan yang tidak seimbang, pasukan berhasil menguasai perkampungan jamaah. Rumah-rumah di perkampungan itu diobrak-abrik untuk mencari jamaah pengajian yang bersembunyi.



BOCAH

Ahmad, bocah berusia 10 tahun yang tertangkap diminta untuk menunjukkan lokasi tempat-tempat persembunyian. Ahmad menunjukkan sebuah rumah yang dihuni oleh puluhan jemaah yang  kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak.

Tentara memerintahkan puluhan perempuan dan anak-anak untuk keluar rumah. Termasuk Saudah, salah satu jemaah perempuan, yang mengaku melihat 80-an jenazah bergelimpangan. Di tanah lapang itulah, para jemaah perempuan ini menerima siksaan.

Mereka dipukuli. Jilbab mereka ditarik-tarik disertai hinaan. “Ini istri-istri PKI”, “Perempuan dan anak-anak ini juga harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya”.

Di sudut lain, beberapa tentara mulai membakari pondok-pondok di kampung itu. Sebagian masih  berisi ratusan jamaah dan anak-anak. Ahmad, bocah yang dipaksa menunjukkan lokasi persembunyian, dipaksa pula untuk menyiram bensin dan membakarnya. Saat itulah terdengar teriakan-teriakan kesakitan. Para tentara penyerbu meredam suara-suara itu dengan tembakan-tembakan di udara.

Purwoko, bocah berusia 10 tahun yang juga warga setempat, dipaksa aparat untuk mengenali wajah Warsidi dan Imam Bakri di antara mayat-mayat jamaah yang bergelimpangan.

Mayat keduanya ditemukan setelah Purwoko membolak-balik sekitar 80-an mayat. Saksi mata menceritakan, tak lama setelah ditemukan, seorang tentara menggorok leher kedua mayat itu.

Kekejaman terus berlanjut. Anggota jemaah pengajian yang kebanyakan perempuan dan anak-anak yang tertangkap, digiring menuju ke Kodim 0411 Metro yang berjarak 2KM, dengan berjalan kaki.

Peristiwa penyergapan dan penyerangan juga terjadi di Desa Sidorejo, tak jauh dari Cihideung. Kali ini di rumah Zamjuri, salah satu pentolan jemaah pengajian. Berdasar informasi yang diberikan Sabrawi, sopir bus Wasis yang sempat dianaiaya anggota jamaah pengajian yang marah sehari sebelumnya, aparat keamanan melakukan penyergapan. Di mata polisi, tindakan para jamaah itu adalah perampokan.

Di dalam rumah, Zamjuri bersama delapan kawannya yang juga anggota jemaah pengajian, bertahan dan melawan penangkapan itu. Bentrokan pun tak bisa dihindarkan. Aparat keamanan dari luar rumah melakukan penembakan. Zamjuri tak mau kalah.

Beberapa kali peluru melesak ke arah polisi. Arifin Santoso, kepala desa Sidorejo yang ada di antara aparat keamanan, tewas tertembus peluru. Sementara di dalam rumah, korban juga berjatuhan. Tiga jemaah berkalang tanah. Satu orang lagi terluka parah.

Cihideung bagai wilayah mati pascapenyerangan itu. Yang tersisa hanyalah bangunan yang rusak, dan tumpukan mayat di sana sini. Kepala desa dari daerah di sekitar Cihideung seperti Pakuan Aji, Kelahang, Talangsari II dan Beringin mengerahkan warganya untuk bekerja bakti menguburkan mayat.

Dengan arahan aparat keamanan setempat, warga bergugur gunung (baca: gotong royong) membuat lubang, memasukkan mayat dan menimbunnya.

Aksi kekerasan yang tersulut penyerangan aparat di Cihideung kembali pecah. Dari tempat persembunyian, jemaah pengajian yang marah menyerbu markas Kodim dan Yonis 143. Tentu saja, serangan yang hanya berbekal kemarahan itu menyebabkan korban tewas di pihak jemaah. Enam orang tewas dalam peristiwa itu.

INTEROGASI

Kodim 0411 Metro menjadi tempat yang paling menakutkan untuk anggota jamaah pengajian yang ditangkap. Mereka tidak menyangka, aktivitas pengajian yang selama ini mereka lakukan bersama keluarga, teman dan jemaah lain dari berbagai daerah, berubah menjadi pertumpahan darah dan aksi kekerasan lainnya.

Tidak hanya di lokasi penyerangan, aksi kekerasan juga mereka rasakan di markas militer, Kodim 0411 Metro, tempat jemaah pengajian itu ditahan. Aparat keamanan yang dikomandoi oleh Kolonel Hendropriyono mencoba mengorek-orek keterangan dari jamaah yang ditahan.

Pertanyaan-pertanyaan seperti “Ikut pengajian apa?”, “Apa yang diajarkan?”, “Siapa gurunya?” menjadi pertanyaan yang menohok dan sulit dijawab dalam suasana serba ketakutan.

Di sela-sela interogasi itu, aparat keamanan juga menjelaskan tentang aktivitas pengajian itu yang (menurut aparat keamanan), bertentangan dengan Pancasila. Pengajian agama, menurut petugas juga merupakan amalan dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tahanan yang kebanyakan merupakan warga desa yang tidak memahami dengan hal-hal itu hanya bisa mengangguk-angguk. Entah mengerti, kebingungan atau justru ketakutan.

Setelah dua minggu berada dalam tekanan aparat keamanan, para tahanan dipindah ke markas Korem 043 Gatam. Ironisnya, di tempat itu, Kolonel Hendropriyono disebutkan memerintahkan anak buahnya untuk melepas paksa jilbab tahanan perempuan. Dengan kasar jilbab yang menutupi rambut itu ditarik dan direbut dengan paksa.

“Tarik saja, itu hanya kedok.” (*KontraS)

No comments:

Post a Comment