14 February 2016

LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER (LBGT) DAN KITA

 
ILUSTRASI. URL: http://baltimoregaylife.com/wp-content/uploads/2014/11/hands-in-air.jpg

Kita mengenal mereka, karena mereka ada di sekitar kita. Iya, mereka memang berbeda. Tapi apakah perbedaan membuat kita harus memusuhi mereka dengan terus mengembangkan sikap bermusuhan, melakukan hinaan, mengucilkan, dan pada ujungnya menilai mereka bukan manusia?

Seorang kawan yang tahu saya heteroseksual (tertarik secara seksual dengan lawan jenis) bertanya pada saya. "Apakah mau dirimu bercinta dengan Ade Rai?" tanyanya. Ade Rai atau I Gusti Agung Kusuma Yudha Rai, adalah laki-laki yang binaragawan.

Tentu saya menjawab "tidak".  Saya tidak memiliki ketertarikan dengan sesama jenis. "Mengapa?" tanyanya.

Karena saya memang tertarik dengan lawan jenis. Bila dipaksakan dengan sesama jenis, ada rasa jijik, aneh, dan beribu alasan lain yang intinya: Saya tidak tertarik dengan sesama jenis.

Lalu, kawan ini menegaskan. "Rasa-rasa penolakan itu, yang dirasakan lesbian dan gay, bila dipaksa menjadi heteroseksual" katanya.

Begitulah. Kawan ini mengajak saya untuk merasionalkan "rasa" yang dimiliki lesbian dan gay. Lesbian adalah bentuk orientasi seksual perempuan dengan perempuan. Sementara gay, orientasi seksual laki-laki dengan laki-laki.

BANCI

Pengetahun tentang lesbian dan gay baru saya dapati sejak saya kuliah. Sebelumnya, saya hanya tahu sebutan banci dan tomboy.

Banci, secara sederhana, adalah sebutan masyarakat untuk laki-laki yang keperempuan-perempuanan. Sementara tomboy, berada di seberangnya, perempuan yang kelaki-lakian.

Saya, seperti halnya masyarakat pada umumnya, memandang mereka dengan "aneh". Karena mereka memang berbeda. Pandangan ini tidak lantas membuat saya membenci mereka.

Sebagai bagian dari warga masyarakat, banci maupun tomboy, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Mereka berhak hidup dan berkehidupan, tanpa ada kecuali.

Saya tidak pernah berpikir, para banci dan tomboy memiliki orientasi seksual yang berbeda. Di alam pikiran saya, mereka banya memiliki "cover" berbeda, meskipun "isi"-nya tetap sama.

Dalam perjalanan, saya mengenal apa yang disebut gemblak. Istilah gemblak dikenal dalam budaya kehidupan terkait Reyog Ponorogo, Jawa Timur.

Gemblak adalah pasangan Warok (sebutan bagi pendekar di abad ke-15). Kedua sosok laki-laki ini saling menyayangi. Seperti guru-murid, bahkan lebih.

Di masa yang sama, saya mengenal GAYa Nusantara. Organisasi yang dibentuk tahun 1982 ini aktif mendorong keterbukaan dalam hal kemerdekaan ekspresi gender. Singkat kata, informasi tentang hal-hal menyangkut LBGT, semakin lama semakin banyak.

Tidak ada yang berubah dalam hal cara pandang saya kepada "banci" dan "tomboy". Bagi saya, mereka tetap "warga negara" biasa. Bedanya, mereka memiliki orientasi seksual yang berbeda.

TERBUKA

Dalam sebuah obrolan dengan salah satu kawan, menarik untuk saya kenang.

"Kamu tahu, kemana gay dan lesbian harus terbuka diakui? Mengapa kita harus mendorong masyarakat untuk bisa menerima mereka?" tanya seorang kawan.

Jawabannya terkait dengan perkembangan orang dengan HIV di Indonesia. Titik simpul antara ketertutupan orientasi seksual karena masyarakat menolak, membuat orang yang orientasi seksual yang "berbeda", memilih melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.

"Dalam kehidupan yang terbuka, mereka heteroseksual, tapi diam-diam, mereka tetap menjalankan aktivitas sebagai gay dan lesbian. Lalu, karena diam-diam, tidak dibekali pengetahuan dan melakukan aktivitas seksual yang beresiko, akhirnya terjangkit HIV. Sayangnya, virus itu akhirnya terbawa ke rumah tangga."

Bila masyarakat menerima, artinya tidak perlu lagi kepura-puraan. Tidak ada menikah yang dipaksakan, dan pada gilirannya, menekan hubungan yang beresiko.

Namun, membuat masyarakat menerima LBGT bukan hal yang mudah. Banyak sekali pembatas berupa nilai-nilai yang harus dihadapi. Terutama nilai agama, juga norma kewajaran di masyarakat.

Tentu saja, saya tidak dalam posisi menjelaskan tentang sudut pandang agama menyangkut hal ini. Yang saya tahu, karena kebetulan saya beragama Islam, adalah tentang kaum Nabi Luth, yang termuat dalam Surat Hud dalam Alquran.

Dalam Injil pun sama. Kalau tidak salah, Kitab Kejadian menjelaskan mengenai hal itu. Intinya, Tuhan menghukum kaum Nabi Lot (atau Luth), karena menjalankan praktek percintaan sesama jenis.

Namun, agama bukan satu-satunya alat takar dalam kehidupan. Ada hukum positif yang harus pula ditaati.

Pemahaman tentang LGBT berkembang sedemikian rupa. Muncul pendekatan-pendekatan lain, seperti science yang menjelaskan perihal kemungkinan adanya komposisi lain selain komposisi kromosom XY (laki-laki) dan XX (perempuan).

Bagaimana bila muncul XXY?

Belum lagi dengan pendekatan lain, yakni dominasi cara tumbuh kembang orang dalam sebuah keluarga atau komunitas. Sisi maskulin dan feminim, akan muncul seiring perkembangan.

Dan belakangan, orientasi seksual menjadi bahan pembicaraan pembahasan Hak Asasi Manusia (HAM), seiring bertambahnya jumlah negara yang melegalkan pernikahan sejenis.

Sejauh yang saya tahu, PBB belum memutuskan LBGT adalah bagian dari HAM. Mohon dikoreksi kalau saya keliru.

Di Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan sikapnya. Menurutnya, Komunitas LGBT telah diakui oleh Negara, dengan adanya Peraturan Menteri Sosial No. 8/2012 terkait Kelompok Minoritas, yang menyebutkan adanya gay, waria dan lesbian.

Serta, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27/2014 tentang Pedoman Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Kerja Rencana Kerja Pembangunan Daerah tahun 2015 yang memasukkan gay, waria dan lesbian dalam Peraturan tersebut.

Untuk itu, Komnas HAM mendesak Negara untuk hadir memberikan perlindungan dan pemenuhan hak Komunitas LGBT sebagaimana yang tertuang dalam Konstitusi dan  program Nawacita.

SETENGAH HATI

LBGT memang ada di sekitar kita. Tidak seharusnya, kita membeda-bedakan mereka, karena sebagai warga negara, mereka punya hak dan kewajiban yang sama.

Sudah menjadi hal yang wajar, bila setiap warga negara saling menghormati. Heterosekual menghormati LGBT, begitu pun sebaliknya. Tidak boleh ada paksaan, penindasan dan saling mempengaruhi di antara keduanya.

Saya merasakan, kesadaran penghormatan pada kelompok masing-masing semakin meluas. Meskipun masih ada juga yang bersikap setengah hati: Menghormati LGBT, asal tidak masuk ke wilayah pribadi (baca: keluarga).(*)

ID Nugroho

No comments:

Post a Comment