20 September 2011

Wartawan vs Siswa SMA, kesalahan kita semua,..

*photo by Kompas.com
Sebuah ‘kemunduran’ terjadi lagi. Wartawan, sebagai bagian dari pilar keempat demokrasi terlibat bentrokan dengan siswa SMA. Ini menyedihkan. Sebuah hal yang sangat tidak perlu terjadi, berawal dari peristiwa awal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia jurnalistik atau pun pendidikan. Ini kesalahan kita semua,..


Ketika peristiwa pertama pemukulan disertai perampasan karyawan Trans7 di BlokM, usai tawuran SMA 6 dan SMA 70 Jakarta, berbagai seruan yang mengutuk hal itu mulai muncul. Bisa ditebak, banyak orang ‘terjebak’ dengan kekeliruan kronologis yang menilai karyawan Trans7 yang tertimpa kekerasan itu berprofesi sebagai ‘wartawan’ atau ‘jurnalis’. Pemikiran jernih untuk memandang peristiwa itu pun tertutup oleh kegeraman perilaku tawuran pelajar dan (sialnya) kali ini ‘korban’-nya adalah karyawan Trans7.

Bukan wartawan

Saya setuju, tawuran atau peristiwa kekerasan lain adalah pelanggaran hukum yang keliru. Namun sebelum itu, Saya akan membahas peristiwa pertama terlebih dahulu. Perlu untuk diketahui, bahwa karyawan Trans7 yang dikeroyok di BlokM itu bukan video journalist atau bukan wartawan. Dia adalah camera person divisi Production Facilities yang tidak memiliki penugasan profesional dari Trans7 untuk meliput peristiwa (news). Kehadiran karyawan Trans7 ini di lokasi tawuran SMA 6 dan SMA 70 itu pun tanpa sengaja setelah menikmati ‘gulai tikungan’ di wilayah BlokM.

Penegasan tentang profesi karyawan Trans7 yang bukan wartawan ini penting untuk diketahui, karena wartawan memiliki kekhususan tersendiri. Secara UU, profesi ini diatur secara khusus (lex specialist), memiliki Kode Etik Jurnalistik dan mensyaratkan pembekalan yang spesifik pula. Dalam meliput peristiwa konflik misalnya, entah itu konflik bersenjata, konflik sosial atau semacamnya, wartawan memiliki skill khusus yang dipelajarinya.

Nah, ketika aktivitas yang membutuhkan keahlian ini dikerjakan oleh orang yang tidak berada di bidangnya, maka akan memunculkan persoalan. Misalnya, wartawan harus menghormati obyek/narasumber yang mengatakan ‘tidak’ pada sorot kamera (Kode Etik Jurnalistik/KEJ). Ada pertimbangan dan trik-trik khusus yang membuat wartawan bisa terus meliput, sehingga bisa mendapatkan berita (teks, foto, video) yang disiarkan untuk publik.

Organisasi profesi wartawan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pernah mengeluarkan seruan “Tidak ada berita seharga nyawa”. Seruan itu adalah pengingat bagi wartawan untuk terus mengingat keselamatan diri, sebelum melakukan aktivitas jurnalistik yang heroik. Sebuah berita tidak memiliki arti apa-apa, bila wartawan yang bersangkutan berkalang tanah. Untuk itulah, trik-trik khusus itu perlu dipelajari. Termasuk ‘menghitung’, apakah aktivitas jurnalistik yang sedang dilakukan itu membahayakan diri wartawan, atau tidak.

Nah, apakah karyawan Trans7 yang menjadi korban pemukulan di Blok M memahami ukuran-ukuran itu? Karena secara profesional, korban tidak berada di ranah news production. Saya mengibaratkan, yang terjadi tidak ubahnya seperti peristiwa ‘dokter gadungan’. Orang yang menyaru sebagai dokter, tidak memiliki skill kedokteran, namun melakukan praktek layaknya dokter.

Demo di SMA 6

Nah, beranjak ke peristiwa kedua. Dugaan saya, informasi tentang peristiwa pengeroyokan pertama belum tuntas, direspon oleh rasa solidaritas tinggi yang berujung pada demonstrasi yang dilakukan wartawan di depan SMA 6. Tanpa mengurangi simpati dan empati Saya pada wartawan korban pengeroyokan kedua di SMA 6, Saya menganggap demonstrasi itu tindakan yang tidak strategis dan hanya memperkeruh masalah.

Dalam kasus penyerangan Majalah Tempo oleh anak buah Tomy Winata beberapa tahun lalu (dipicu laporan Tempo berjudul Ada Tomy di Tenabang), demonstrasi yang dilakukan tidak di markas preman yang menyerangnya. Melainkan di kantor polisi, dan di pengadilan. Bagi saya ini lebih strategis. Lantaran berujung pada penyelesaian masalah. Kalau toh ‘terpaksa’ harus bersolidaritas dalam kasus SMA 6, mengapa tidak dilakukan di Kementrian Pendidikan RI atau Dinas Pendidikan DKI Jakarta?

Secara psikologis, hal itu akan memiliki respon berbeda. Apalagi, bila melibatkan emosi massa. Dari tayangan televisi kita melihat, wartawan yang berdemonstrasi di depan SMA 6 direspon oleh kekerasan massa (yang sayangnya melibatkan siswa SMA). Hmmm,... bagi Saya peristiwa ini memiliki benang merah: peristiwa awal yang dipahami keliru, direspon keliru, akhirnya bertambah runyam dan menciptakan problem baru. Dan itu kesalahan kita semua. | Iman D. Nugroho

No comments:

Post a Comment