17 August 2010

Tidak perlu sok merdeka,..


Iman D. Nugroho

Meski mensyukuri Proklamasi Kemerdekaan RI yang dibacakan Soekarno, dan ditandatangani Soekarno dan M. Hatta pada 17 Agustus 1945 lampau, tapi saya termasuk orang yang memilih untuk menganggap Indonesia belum merdeka. Dan, tidak perlu bagi warga negara Indonesia untuk sok merdeka,..


Kemerdekaan (independence-Ing), bila diartikan kebebasan dari penjajahan secara militer, seperti yang terjadi pada Perang Dunia I dan II, mungkin membuat Indonesia layak disebut "merdeka". Namun, apakah kemerdekaan itu hanya sebatas pada definisi tunggal semacam itu? Normalnya tidak. Karena ada definisi lain, tentang cita-cita kemerdekaan yang seutuhnya, atau berarti pula kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.

Seluruh rakyat. Itu menjadi kata kuncinya. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Miagas, sampai Pulau Rote. Semua adalah masyarakat Indonesia yang harus disejahterakan dan diangkat harkat dan derajatnya. Dihormati hak-haknya, dijunjung tinggi keberadaannya sebagai manusia. Nah, dengan ukuran semacam itu, apakah kita (sebagai bangsa) sudah merdeka?

Pergilah ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Lihatlah bagaimana masyarakat di sana hidup miskin dalam semua hal. Jauh dari akses kesehatan dan sekolahan. Atau ke Waena, Papua. Dan lihatlah orang-orang yang masih bisa tersenyum meski hanya menikmati sagu. Jangan bicara lagi soal pendidikan dan kesehatan (layak) dengan saudara-saudara kita di "pinggiran" Indonesia itu.

Lalu, di mana merdekanya? Apakah hanya di kota-kota besar seperti di Jakarta? Lebih baik tidak terlalu buru-buru menjawabnya. Karena di Jakarta pun, yang namanya kemerdekaan juga masih bisa diperdebatkan. Di kota dengan penduduk 13 juta lebih ini, 312 ribu orang di dalamnya merupakan penduduk miskin.

Dan di Ibu Kota Indonesia inilah, orang-orang yang merasa dirampas hak-haknya tak letih menuntut keadilan. Ada acara demonstrasi Kamisan, yang dilakukan keluarga orang hilang, termasuk Suciwati, istri almarhum Munir. Belum lagi kasus kasus-kasus kemanusiaan yang belum terungkap, atau sengaja dilupakan. Kasus Kerusuhan Mei misalnya. Bagaimana sisi keadilan dalam kasus itu? Nol besar.

Juga kasus-kasus "kerah putih" yang belakangan semakin banyak mencuat: Korupsi! Jelas, bukan korupsinya yang menjadi tolok ukur, tapi bagaimana pengusutan kasus korupsi yang letoy, lemas! Lihat kasus Bank Century yang merugikan negara dan masyarakat trilyunan rupiah. Rekomendasi Rapat Paripurna DPR kepada pemerintah untuk mengusut kasus itu, tidak berarti apa-apa. Tidak dilaksanakan, dan cenderung diabaikan.

Sayangnya, DPR pun terpatri dengan kepentingannya sendiri. Partai-partai di parlemen yang seharusnya menjadi kelompok penyeimbang secara politik, memilih tunduk dan patuh dengan koalisi yang berorientasi kekuasaan itu. Semua pembicaraan hal sensitif yang bisa "mengancam" pemerintah, "selesai" di luar sidang.

Lalu di mana kemerdekaan itu? Bila kemerdekaan untuk Indonesia secara utuh, negeri ini sama sekali belum merdeka. Dan tentu saja, masyarakat harus didorong untuk tidak berhenti berjuang untuk kemerdekaan yang utuh.

Selama itu belum terwujud, tidak perlu kita sok merdeka!

2 comments:

  1. tapi kok megawati prutrinya kalau pidato di mimbar umum apalagi di rapat partai selalu memekikan merdeka, apa ora mudeng ya

    ReplyDelete
  2. Anonymous2:20 pm

    setuju man. sangat. PR kita masih banyak ya? yang seharusnya bermuara kepada kesejahteraan rakyat. Bukan kepentingan individu atau golongan.

    ReplyDelete