11 May 2010

Dari Heemsherk untuk perdagangan yang lebih adil

Iman D. Nugroho (text and photos), Amsterdam

Dari berbagai negara mereka sepakat untuk perdagangan yang lebih adil.

Warga di sebuah kota kecil di Belanda bagian utara, Heemsherk, memperingati Hari Perdagangan Adil se-Dunia (World Fair Trade Day) 2010. Mereka mengingatkan kembali perlunya memperhatikan hasil produsen di negara kecil yang tergilas perdagangan bebas (free trade).

Tidak seperti hari biasanya yang selalu lengang, Jl. Maertelan, Heemskerk, Belanda mendadak riuh. Sekelompok pemain musik beraksi di antara hawa dingin kota di wilayah North Holland itu. Mereka menabuh alat-alat musik khas Afrika seperti djembe, hulu hide dan ashikos di trotoar jalan.

“Kami sedang memperingati Hari Perdagangan Adil se-Dunia 2010 yang jatuh pada hari ini,” kata Mariane Dijkstra, sukarelawan Wereld Winkel, NGO yang berkonsentrasi dengan fair trade. Aktivitas Mariane menarik perhatian penduduk setempat yang datang, dan ikut bergoyang mengikuti irama nada yang menghentak.

Bagi warga Negara Belanda, Free Trade memang bukan barang baru. Gerakan yang diprakarsai sejak Perang Dunia II ini memang tumbuh dan berkembang pesat di Belanda. Apalagi, tokoh Belanda Max Havelaar atau Eduard Douwes Dekker menjadi salah satu orang yang memotori gerakan perdagangan yang berkeadilan di Negara-negara koloni Belanda. Termasuk di Indonesia.

Ide dasar gerakan ini adalah menciptakan keadilan bagi produsen dan konsumen, dengan tidak semena-mena memainkan harga dan gaji buruh di bagian produksi. Fair Trade sangat membantu produsen di negara dunia ketika, ketika bekerjasama dalam negara maju.

Ide Max terus berkembang hingga muncul organisasi bernama Asosiasi Internasional untuk Perdagangan Berkeadilan (International Fair Trade Association) dan berubah menjadi Organisasi Perdagangan Berkeadilan Dunia (World Fair Trade Organization/ WFTO) pada 1989. Sejumlah 324 organisasi di 60 negara menjadi anggota dari organisasi ini.

Berawal dari gereja

Jauh sebelum WFTO terbentuk, perkembangan semangat fair trade tumbuh subur di Belanda. Sekitar tahun 1970-an, warga Negara Tulip ini mengenal apa yang disebut worldshop. Di beberapa tempat di Belanda, bertebaran toko-toko yang menetapkan ide fair trade ini. Salah satunya di Heemskerk. “Kami memulainya di depan Gereja Laurentius dan Gereja Dorps,” kenang Simon Zuidema,62, salah satu aktivis fair trade di Heemskerk.

Kegiatan yang awalnya hanya dilakukan pada hari Jumat, bersama dengan pasar rakyat di wilayah itu, akhirnya terus berkembang hingga mampu menyewa stand toko yang buka setiap hari, hingga saat ini. Masyarakat yang awalnya acuh tak acuh, perlahan-lahan semakin membuka diri dengan ide-ide yang ditawarkan oleh fair trade. “Kepedulian yang kami tawarkan, disambut dengan baik oleh masyarakat,” katanya.

Warga negara Indonesia juga menjadi bagian dari peserta World Fair Trade Day 2010

Salah satu trategi yang dilakukan aktivis fair trade untuk menyebarkan ide-idenya adalah dengan mengandeng beberapa sekolahan untuk menyisipkan kurikulum “tambahan”. Juga, dilakukan sosialisasi melalui situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dll yang tidak henti-hentinya mengabarkan berita tentang aktivitas fair trade. “Menumbuhkan kesadaran sangat penting untuk fair trade,” kata Simon.

Kesadaran yang dimaksud adalah bagaimana konsumen bisa memahami bagaimana nasib produsen, tempat asal barang yang dibuat. Tidak heran, bila setiap barang yang ada di toko-toko fair trade selalu disertai dengan asal dan diskripsi singkat negara yang bersangkutan. Tidak sedikit yang memiliki VCD yang secara khusus diputar di toko atau lokasi-lokasi tempat memasarkan barang-barang fair trade.

Harga lebih mahal

Toko yang akan memasarkan barang-barang fair trade, juga memiliki regulasi berbeda dengan toko-toko kebanyakan. Yakni, dengan selalu membeli secara kontan barang-barang yang dijual produsen, dengan harga lebih rendah dari harga jual, tapi lebih tinggi dari harga produksi. “Jadi, bila ada beberapa hal yang tidak diinginkan, seperti toko yang bangkrut, maka produsen tidak ikut rugi,” kata Danielle de Jong, divisi komunikasi Wereld Winkel.

Tidak mengherankan, bila harga barang di toko fair trade sedikit lebih mahal dari toko kebanyakan. Namun, hal itu tidak membuat pembeli pergi dari toko yang mengusung fair trade. Salah satu buktinya, semakin hari, semakin banyak gerai fair trade dibuka. Dan dalam peringatan World Fair Trade, selalu dimeriahkan oleh berbagai kalangan. Dalam peringatan di tahun 2009 saja, terdapat 1000 event di 70 negara dengan cakupan 8.2 juta orang.

Meski demikian, ide fair trade belum mendapatkan angin segar di negara-negara dunia ketiga seperti di Asia dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, kata Danielle, sampai tahun 2010, hanya Filipina yang tercatat memiliki gerai fair trade. Untuk itulah, dalam waktu dekat ini NGO yang bergerak dalam bidang fair trade akan mencoba membangun komunitas di Asia, khussusnya di Asia Tenggara.

“Uniknya, justru di negara seperti India, fair trade berkembang dengan pesat. Semoga di Asia Tenggara pun akan sama, asalkan awareness tentang kesejajaran produsen dan konsumen ditumbuhkan sejak dini dan di sekolah-sekolah,” kata Danielle.

Di Belanda, meski tidak menjadi gerakan di dunia pendidikan secara nasional, namun generasi muda di Negeri Kincir Angin itu cukup memiliki wawacan tentang fair trade. Nina Irambona, siswi sekolah menengah pertama di Heemsherk misalnya. Dirinya memilih untuk membelanjakan uang-nya di toko-toko fair trade untuk membantu produsen barang-barang, yang kebanyakan dari negara miskin.

“Saya sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, bukankah kita hidup di satu dunia dan harus memanbu satu sama lain,” katanya.

*Klik di sini untuk video World Fair Trade 2010.


| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

No comments:

Post a Comment