24 January 2010

Pengalaman Besar Naik Pesawat Kecil

Jojo Raharjo

Jum’at akhir pekan lalu, saya berkesempatan mencecap pengalaman pertama menempuh penerbangan jarak pendek dengan pesawat kecil carteran. Sore itu, saya akan menemani empat petinggi kantor yang, setelah melakukan serangkaian pertemuan bisnis di Jakarta, memiliki jadwal dinner dengan teman-teman di kantor Bandung. Kami akan terbang dengan pesawat sewaan yang disediakan perusahaan jasa layanan angkutan udara Hawker Pacific Plane.

Mengingat belum memiliki sejarah terbang dengan pesawat kecil, sepanjang siang saya sempat nervous. “Jangan lupa bawa antimo, Jo,” pesan seorang kawan dalam percakapan virtual dari Australia. Sementara dalam percakapan makan siang, seorang teman lain yang pernah menumpang pesawat sewaan untuk penerbangan jarak pendek antar kota di Kalimantan bercerita, “Enak naik pesawat kecil, kena angin sedikit rasanya seperti hilang, keluar dari track,” katanya.

Rencananya penerbangan berangkat sekitar 16.30 WIB dari Bandara Halim Perdanakusuma. Namun, baru jam tim sore saya sudah berada di bandar udara di kawasan Jakarta Timur itu. Halim memang beda dengan Cengkareng. Bandara ini begitu senyap. Secara resmi, keberangkatan penerbangan regular hanya dilayani dua kali flight Susi Air, untuk rute Jakarta-Cilacap dan Jakarta-Bandung dengan tiket seharga Rp 675.000,- dan Rp 300.000,-

Penerbangan lain yang datang dan berangkat dari Halim berupa pesawat sewaan, kebanyakan dari perusahaan minyak dan pertambangan, serta carteran pejabat negara yang bermuhibah untuk urusan dinas. Setiap presiden dan wapres bepergian untuk tujuan domestik berangkat dari bandara komersial, sementara kalau ke luar negeri, rombongan terbang dari Landasan Udara TNI AL yang ada di samping bandara umum. “Ya, kalau tidak ada penerbangan sewaan begini ya kami tidak ada kerjaan, mas,” kata seorang petugas lounge di ruang CIP (Commercial Important Person) yang memang kerjaannya menyambut penumpang pesawat sewaan.

Di lounge itu sudah menunggu dua pilot yang akan menerbangkan pesawat kami. Dua Warga Negara Australia: Captain Douglas Jeremy Eastwood dan Captain Albert Kong Hoy Poon. Mereka merupakan karyawan Hardy Aviaton, sebuah perusahaan penyewaan pesawat di Darwin yang menjadi mitra Hawker Pacific Plane. Dua hari sebelumnya, sepasang pilot senior ini membawa pesawat Cessna 441 tanpa penumpang lain dari Darwin ke Denpasar dan berlanjut ke Denpasar-Jakarta. Selanjutnya, tugas menunggu mereka, menerbangkan para penyewa dengan rute Jakarta-Bandung, Bandung-Dili, Dili-Darwin, dan Darwin-Brisbane.

Uniknya, dua pilot ini belum pernah ke Jakarta sebelumnya. Tepatnya, belum pernah keluar bandara. “Rasanya saya pernah ke Jakarta beberapa tahun lalu, tapi hanya untuk transit, lalu terbang ke Melbourne atau Sydney, atau wherever, saya lupa,” kata Albert pria keturunan Malaysia yang sudah memegang paspor Australia itu.

Ke Jakarta baru dua kali ini, sedangkan ke Bandung sama sekali belum pernah, katanya. “Lalu, bagaimana kamu akan menerbangkan saya ke Bandung?” tanya saya, berlagak naïf. Sejujurnya, saya memang ingin mendapat penjelasan bagaimana sebuah pesawat bisa sampai bandara tujuan dengan bandar, meski tak ada rel yang bisa dipandang kasat mata layaknya perjalanan kereta api. Dengan lancar Albert menjelaskan, bahwa sebuah penerbangan selalu dipandu dengan alat navigasi yang menjelaskan di mana letak bandara tujuan serta bagaimana menuju ke sana dengan selamat dan tepat waktu. “Bandung ada di balik gunung,” katanya.

“So, it’s very impossible you’ll bring us to other destination. Right?” tanya saya lagi. Ia menjawab ramah dan menerangkan bahwa kemungkinan itu sangat kecil, sepanjang mereka bekerja dengan benar. Tapi kemudian ia teringat peristiwa bertahun-tahun lalu. “Di Melbourne ada dua bandara yang letaknya berdekatan. Saya ingat, sebuah pesawat Garuda pernah salah mendarat di bandara yang seharusnya bukan menjadi tujuannya. It’s happened many many years ago,” paparnya.

Akhirnya, setelah keempat penumpang bule tiba, pesawat berangkat 16.45 WIB. Benar, pesawat ini hanya berkapasitas tujuh tempat duduk di luar pilot. Namun, karena dua seats di bagian belakang ditumpuki tas-tas bawaan, maka hanya ada lima tempat duduk penumpang. Empat kursi berhadap-hadapan, masing masing sepasang tempat duduk menghadap sepasang yang lain, layaknya ruang meeting tanpa meja. Sementara itu,satu kursi lagi menghadap barang bawaan, persis seperti pramugari pesawat komersial yang duduknya membelakangi penumpang kelas ekonomi. Tak ada sekat dalam pesawat itu, mulai dari ruang kokpit berisi pilot lengkap dengan petunjuk navigasinya, sampai bagasi di belakang, semua terlihat.

Take off berjalan mulus. Tak ada suara baling-baling membisingkan telinga layaknya naik Hercules. Dari atas terlihat pemandangan jalan ke luar Jakarta, Jalan Tol CIkampek, kawasan industri Cikarang dan amboy Gunung Gede Pangrango yang terlihat begitu menonjol kami langkahi. Hanya 30 menit, dua jam lebih cepat dibanding naik travel Cipaganti, kami sudah menyentuh udara Bandung. Tak lama setelah melihat atap pertokoan Istana Plaza, pesawat kecil ini sudah mencium landasan Bandara Husein Sastranegara dengan mulusnya. Nyaris saya tak pernah menikmati landing senyaman ini, kecuali pada sebuah penerbangan maskapai berbendera asing beberapa tahun lalu. Selebihnya, dalam berbagai penerbangan domestik, sesi mendarat benar-benar mendebarkan. Saat di mana tangan saya, isteri dan anak bercengkeraman begitu kuat sampai pesawat benar-benar berhenti. Hehehe….

Tips Naik Pesawat Kecil

1. Sebenarnya Tak Perlu Obat Antimabok. Intinya, kalau naik bajaj aja anda tidak mabok, maka jangan khawatir, naik pesawat kecil yang tempat duduknya sedikit lebih banyak dari bajaj juga tidak bakal mual.

2. Jangan kaget kalau sepi. Beda dengan pesawat komersial, jarang ada sapaan dari kapten pilot atau pramugari. Apalagi sapaan akan hadirnya penjual makanan dan cinderamata atau perintah kepada kru untuk segera mempersiapkan landing, “Attendant ready to landing…” Siapa lagi yang mau menjajakan makanan, souvenir dan mempersiapkan buka pintu dalam pesawat sekecil itu?

3. Jangan bayangkan ada toilet. Pesawat kecil sekelas Cessna dirancang tidak untuk perjalanan dengan waktu tempuh lama. Jadi, sebaiknya anda puaskan buang hajat di ruang lounge yang memang fasilitasnya mewah, khusus untuk para pencarter pesawat mini. Karena kalau sampai kebelet di angkasa, pilihannya cuma tiga: ditahan, dititipkan ke tas plastik, atau anda akan diusir keluar.

Ada tip lain?

1 comment: