31 January 2010

Kapankah perburuan akan berakhir?

Prasto Wardoyo | photo by google images

Perlahan, Abdurrahman (40 tahun) memasukkan tangan kanannya ke dalam keranjang bambu. Menjelajah mencari sesuatu. Begitu ditarik keluar, tangannya menggenggam reptil sejenis cicak berukuran besar. Hewan itu lantas dilemparkannya ke dalam sangkar kawat sembari dia hitung. Setelah hitungan keempat, keranjang itu sudah kosong. Keranjang diserahkannya kembali kepada Tohasyim (32 tahun), pemiliknya. Setelah itu uang sejumlah Rp 6 ribu dari kantong Pak Dur, begitu bapak dua anak ini biasa dipanggil, berpindah ke tangan Tohasyim.

“Saya tidak tahu, mengapa pada bulan-bulan yang semestinya ramai ini, Tokek semakin sulit didapat,” keluhnya. Padahal dulu, pada bulan-bulan antara Desember hingga Pebruari, dia bisa mendapatkan ribuan tokek hidup dari pengepul ataupun pemburu tokek yang menjual langsung kepadanya. Karena pasokan tersendat, tokek yang diolah akan habis pada hari itu. Akibatnya, sekitar 13 orang pekerja akan menganggur esok harinya.

Tempat pengolahan tokek milik Abdurrahman yang berlokasi di dusun Banjar Sawah desa Tegal Siwalan Kecamatan Tegal Siwalan Kabupaten Probolinggo ini, persis berada di belakang rumah. Beratap genting berdinding bambu dengan ukuran panjang 8 meter dan lebar 6 meter. Di sudut kiri dan kanan bangunan berlantai tanah itu, dibangun sangkar kawat ukuran 2,5 x 2 dengan tinggi sekitar 2 meter yang digunakan untuk menampung tokek hidup. Hanya sangkar kiri yang kerap terisi. Sementara yang kanan terlihat melompong. Untuk tokek yang sudah mati sebelum diolah menjadi tokek kering, Abdurrahman menyiapkan sebuah lemari pendingin di ruangan yang sama.

Tokek Kering

Di ruang belakang rumah, ribuan tokek kering yang sudah dibentang dan diikat dengan bambu terlihat menumpuk. Untuk mengeringkan tokek, Abdurrahman membuat bangunan sederhana seluas 1,5 x 2 meter persegi yang berada di sebelah kiri bangunan rumah. Di dalamnya terisi 3 unit oven sederhana yang terbuat dari seng dengan 3 kompor minyak tanah berada dibagian dasarnya. Seluruh oven ini bisa menampung sedikitnya 500 ekor tokek. Apabila tokek sudah dijemur terlebih dulu dibawah terik matahari, proses pengovenan biasanya memakan waktu sekitar 17 jam dengan menghabiskan sekitar 24 liter minyak tanah. Namun bila cuaca mendung dan bahkan hujan, pengeringan tokek hanya mengandalkan oven.

Dalam kondisi normal, Abdurrahman bisa memproduksi sekitar 500 ekor tokek perhari dalam berbagai ukuran lebar bentangan. Tokek yang bisa dijual adalah yang memiliki lebar bentangan minimal 8 cm. Bentangan paling lebar yang pernah dia dapatkan adalah 13 cm. Dan itu sangat jarang. Untuk sepasang tokek kering, rata-rata dibeli dengan harga Rp 4 ribu. Harga itu melorot menjadi separuhnya, bila tokeknya mengalami cacat produksi, seperti ekornya putus atau kulitnya robek.

Selama ini, Abdurrahman hanya menjual tokeknya pada satu orang pembeli saja. Dia tidak perlu mengantar, karena pembeli yang berasal dari Maron Kabupaten Probolinggo itu, mengambil sendiri tokek keringnya. Biasanya tokek diambil 3 atau 4 hari sekali dengan jumlah berkisar antara 1500 hingga 1600 ekor. Selanjutnya, tokek kering ini akan terbang ke Hongkong, melengkapi tokek dari Thailand dan Kamboja, diolah menjadi ramuan penyembuh sejumlah penyakit.

Proses pengolahan tokek hidup menjadi tokek kering diawali dari tokek yang sudah dilumpuhkan, dikeluarkan isi perutnya terlebih dulu. Isi perut ini biasanya diambil orang secara cuma-cuma untuk pakan lele dan bila ada telurnya, telur tokek kadang dijadikan lauk oleh keluarga pak Dur. Setelah dicuci, tokek yang sudah diambil isi perutnya ini lantas disayat kemudian dipentang menggunakan bambu. Saat membentang ini harus dilakukan dengan hati-hati karena akan menentukan lebar bentangan. Setelah dibentang dengan rapi, untuk mempertahankannya dijepit menggunakan penjepit besi. Sebelum dikeringkan, keempat kaki dan ekor tokek diikat menggunakan benang.

Abdurrahman yang sudah menggeluti dunia pertokekan selama 14 tahun ini, tidak sendirian melakukan usaha pengolahan tokek kering. Di desa Tegal Siwalan yang terdiri dari 4 dusun. Banjar Sawah, Klobungan, Montok dan Sumber Moneng itu, masih ada 3 orang lainnya yang bergerak dalam usaha serupa. Usaha pengeringan tokek ini pada gilirannya menyerap tenaga kerja dari warga setempat yang kebanyakan hidup dari pertanian dan perladangan. Meski tidak besar, sebagaimana diakui oleh Hobiah (32) yang mengaku rata-rata mendapatkan Rp 525 ribu perbulan, uang itu cukup dapat menopang perekonomian keluarga. Abdurrahman sendiri mengupah pekerjanya antara Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu perhari tergantung posisi pekerjaannya.

Desa Tokek

Menurut Abdurrahman, hampir semua warga di desanya terutama pria, mempunyai pekerjaan sebagai pemburu tokek. Harga tokek yang mencapai Rp 1.500 perekor memberi peluang bahkan kadang menjadi pekerjaan utama untuk mengepulkan asap dapur. Contohnya Tohasyim. Sudah setahun lelaki berperawakan kurus yang juga suami Hobiah ini, menggeluti usaha berburu tokek. Sebelumnya dia bekerja sebagai kenek truk dengan penghasilan sekitar 600 ribu perbulan. Kebutuhan hidup yang meningkat membuat penghasilannya itu semakin tak mencukupi. Apalagi sekarang dia tengah menanti kelahiran anak keduanya.

Berbekal lampu sorot (head lamp) bikinan sendiri dengan tenaga dari aki kering, sebuah keranjang bambu dan sepatu karet tinggi serta jerat, dia menjelajahi hutan-hutan di kawasan Pasuruan, Lumajang dan Probolinggo untuk berburu tokek. Biasanya dia berangkat berempat bersama warga satu dusun dengan menggunakan 2 buah sepeda motor. Tohasyim yang bertugas menyediakan bensinnya karena dia tinggal membonceng.
Berangkat dari rumah sekitar jam 6 sore dan kembali pukul 4 pagi, Tohasyim bisa membawa pulang 20 hingga 30 ekor tokek.

Tetapi hujan deras yang mengguyur lokasi perburuannya di sekitar Klakah Lumajang pada malam di bulan januari itu, memaksa dia dan kawan-kawannya pulang lebih awal. Keranjangnya baru terisi 4 ekor tokek. “Kalau hujan sudah mengguyur apalagi sejak sore hingga malam, jangan berharap dapat tokek. Susah, apalagi sekarang tokek semakin jarang,” ujarnya. Kalau sudah begitu, pekerjaan yang bisa dilakukannya hanyalah menyabit rumput untuk memberi makan 2 ekor sapi milik orang yang dipecayakan kepadanya. Dari berburu tokek, dia mengaku mendapat penghasilan antara Rp 800 ribu hingga Rp1 juta.

Penangkaran

Banyaknya pemburu dan semakin menipisnya sebaran tokek di sejumlah kawasan yang selama ini menjadi sasaran perburuan, membuat area perburuan semakin meluas. Menurut Abdurrahman, warga Tegal Siwalan, berkelompok 4 hingga 5 orang, merambah hingga ke pulau Madura. Biasanya seminggu kemudian mereka kembali pulang.

Dia tidak tahu sampai berapa lama, kondisi kandang penyimpanan tokeknya akan terisi dalam jumlah memadai hingga proses pengolahan tokek bisa berjalan kembali. Sementara dia juga tidak juga punya "ilmu" tentang penangkaran tokek dan membudidayakannya. Dia masih berhenti pada kata "sulit" karena, katanya tokek gampang stress yang berujung pada kematian.

Sulitnya penangkaran tokek juga diakui oleh Didik Prabudi, warga Leces Probolinggo. Meski tokek termasuk binatang non-appendix, tidak jelas dilarang atau boleh diburu, namun dia berharap bisa membudidayakan tokek sehingga tidak hanya mengandalkan peburuan dari alam saja.

Berbagai upaya terus dia kembangkan, diantaranya dengan mendatangkan ahli yang diharapkannya bisa mencari formula yang ideal tentang tata cara beternak tokek. Namun hingga sekarang hasilnya belum memuaskan. Ada salah satu lembaga yang menawarkan kerjasama penelitian, tapi itupun ditolaknya karena biaya Rp 20 juta yang dibebankan kepadanya terlalu besar sementara tidak ada jaminan keberhasilan.

Menurut pengalaman dari pembudidayaan tokek yang sejauh ini dilakukannya, dibutuhkan waktu sekitar 4 sampai 6 bulan bagi tokek jantan untuk dipanen. Artinya, pada usia itu, bila dikeringkan tokek jantan mempunyai lebar bentangan bisa mencapai 10 cm. Sementara untuk yang betina memerlukan waktu lebih lama lagi yaitu antara 6 hingga 10 bulan.

Sulitnya membudidayakan binatang yang lahap memakan jengkerik, lalat dan kelabang ini, ditambah lagi dengan belum tersedianya metode pembudidayaan tokek yang mencukupkan pemintaan pasar luar negeri, berujung pada kesinambungan perburuan tokek di alam bebas. Dan kita tidak tahu, ancaman apa yang bakal muncul, bila tokek sebagai salah satu rantai makanan ini, terpental dari lingkaran.

No comments:

Post a Comment