Iman D. Nugroho
Ingki Rinaldi kebingungan. Seorang laki-laki setengah tua tiba-tiba memanggilnya, dan memintanya melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan seumur hidup. "Saya diminta untuk menuliskan nama Gus Dur di nisannya," kata jurnalis harian Kompas ini.
Ingki menghentikan sejenak ativitas menulis berita melalui Blackberrynya, Selasa [5/1/10] malam, di sela-sela tujuh hari tahlilan meninggalnya KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Tangan kirinya menutupi wajahnya. Ia sesenggukan. Seperti kebanyakan orang yang tertusuk kesedihan dengan berita kematian Gus Dur, 30 Desember 2009 lalu, Ingki pun demikian. Laki-laki kelahiran 15 Februari 1981 dan bertugas sebagai jurnalis Kompas di wilayah Jombang itu pun tak bisa memungkiri kesedihan yang teramat dalam atas peristiwa itu. "Banyak hal yang saya pikirkan ketika itu," kenang bapak satu anak ini.
Apalagi, Ingki mengalami kejadian tidak terduga terjadi 31 Desember 2009. Beberapa jam sebelum Gus Dur dimakamkan. "Seorang laki-laki tua memanggil saya di tempat itu," kata Ingki sambil menunjuk sebuah bangunan yang terletak di bagian utara ponpes Tebuireng. Laki-laki yang hingga saat ini tidak diketahui identitasnya itu meminta Ingki menuliskan nama KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di nisan yang akan dipasang di makam.
"Dengan sopan saya sempat menolak, tapi dia tetap ingin saya melakukannya," kenang Ingki. Ingki sama sekali tidak membayangkan. Dirinya harus menuliskan nama tokoh besar seperti Gus Dur di nisannya. Ada kekhawatiran, kegelisahan dan perasaan tidak nyaman untuk melakukan hal itu. Namun, permintaan itu seperti tidak bisa ditolak. "Tolonglah, mas," kata Ingki menirukan permohonan penulisan nisan itu. Dengan perasaan berkecamuk, Ingki pun melakukannya. Satu persatu, nama Gus Dur pun di tolehkan di atas nisan.
"Mungkin karena grogi atau apa, saya sempat salah saat menuliskannya," kenang penggemar lagu Benyamin S. ini. Nama ABDURRAHMAN pun terlalu panjang untuk nisan beton itu. Tidak ada lagi tempat untuk kata WAHID. "Mungkin kata WAHID-nya harus ditulis dengan huruf 1 [Wahid artinya 1 dalam bahasa Arab], tenang saja mas," kata laki-laki itu menenangkan. Beruntung, masih ada nisan kosong lain sebagai ganti. "Untuk nisan kedua ini, saya salah lagi, tulisannya miring," kenangnya. Mau tidak mau, nisan itu harus diganti. Di nisan ketiga inilah, tulisan itu dianggap paling pas.
Entah mengapa, kesalahan menulis nama Gus Dur di nisan itu membuat Ingki semakin galau. Ada kekhawatiran, hal itu merupakan firasat yang buruk. "Ketika bertemu dengan Gus Sholah [KH.Sholahuddin Wahid, adik Gus Dur], saya sempat menanyakan hal itu," kata Ingki. Gus Sholah meminta Ingki untuk tidak berpikir macam-macam. "Insya Allah, itu artinya baik," kata Gus Sholah seperti ditirukan Ingki.
"Sampai saat ini, nisan itu yang dipakai di pemakaman Gus Dur," katanya.
No comments:
Post a Comment