Iman D. Nugroho
Pekan lalu, tari perut “menggoyang” salah satu sudut Jakarta. Di sebuah kafe di wilayah Kemang, Jakarta Selatanlah pertunjukan tari perut itu digelar. Goyang dan gemulai penari dengan perut terbuka yang merupakan tari khas negeri arab itu, seakan mengantar pengunjung ke negeri di mana tokoh film Alladin berasal. “Meski sulit pada awalnya, tapi tarian saya menjadi lebih bermakna pada akhirnya,” kata Kamal Al Bayaty, sang koreografer.
Bila Anda hadir di Kafe Shisha Kemang malam itu, bisa jadi Anda akan merasa “terbang” ke Negeri Padang Pasir. Entah, Saudi Arabia, Iran, Arab atau bahkan Afghanistan. Karena memang seperti itu adanya. Di kafe yang menyajikan makanan-makanan timur tengah itu menyajikan pula Classical Arabian Dance dengan Fashion Show. Tentu saja, fashion show dengan “rasa” yang sama: Arabian Taste.
Desain panggung itu sebenarnya sederhana. Hal yang menampakkan kesan Arab, adalah background reruntuhan bangunan tua, dengan gunung pasir di belakangnya. Lembaran kain transparan yang menaungi memunculkan kesan pertunjukan itu dilakukan di dalam tenda khas padang pasir. Juga lighting warna-warni dari lampu yang juga berdisain senada.
Penari dari Sahara Dance dan kelompok balet Sumber Cipta dipilih sebagai penyaji karya Kamal. Kepiawaian mereka mengolah tubuh dan ballet, merupakan “bahan baku” yang bisa diolah sesuai besutan koreografer asal Irak itu. Empat penari membuka pagelaran itu adalah Veil Dance (tari cadar). Goyangan pinggul yang menjadi ciri khas tarian itu, berpadu apik dengan gerak bahu yang tak henti mengikuti irama padang pasir. Selendang transparan yang digunakan sebagai dari asesoris kostum semakin membuat tarian pembuka ini lebih kental nuansa Timur Tengah-nya.
Sebuah tarian berjudul Sufi, menjadi kekuatan pagelaran ini. Lima penari, yang satu di antaranya adalah laki-laki memberikan kesan berbeda. Belum lagi kekuatan ekspresi wajah yang dimiliki Sicko, sang penari laki-laki, begitu menonjol dari seluruh penari perempuan yang “menghiasi” tarian dengan kecantikan dan gemulai mereka. Kostum Sicko yang sederhana, hanya kaos dan celana pendek hitam plus selendang transparan yang juga berwarna hitam sebagai penutup pinggul hingga lutut, membuatnya lebih menonjol.
Kekuatan ballet dan tari perut kental terasa dalam tarian berjudul Still Ways to Live yang dimainkan oleh Yuni, salah satu anggota Sumber Cipta. Gemulai tubuh Yuni dalam tarian itu kental dengan gerakan-gerakan ballet yang sulit. Apalagi, ritme musik yang turun naik membuat gerakan ballet dalam tarian itu menjadi lebih hidup. Applause panjang menjadi penutup tarian ini. Juga ketika Suzi dan Sicko membawakan tarian berjudul Final.
Dua penari ini seakan “menenggelamkan” penonton dalam romantisme gaya Arabian dan Eropa dalam satu waktu. Suzi yang mengenakan pakaian serba putih, bagai angsa yang menari di oase di tengah gurun. Sementara Sicko coba menggodanya dengan gerakan-gerakan tegas dan lugas. “Saya ingin mengubah image tarian arab yang sering diidentikkan dengan tarian sex menjadi tarian yang lebih memiliki nilai seni tinggi,” kata Kemal.
Classical Arabian Dance dengan Fashion Show kali ini adalah pesta perpisahan Kamal Al Bayaty yang akan pindah ke San Paulo, Brazil, setelah 3,5 tahun mengajar tari di Jakarta. “Saya tidak mau meninggalkan Indonesia tanpa meninggalkan ilmu yang saya miliki, dan tarian malam inilah jawabannya,” kata bapak beranak dua ini. Untuk itulah, 30 penari yang disiapkan Kamal dalam event ini diharapkan bisa menjadi guru bagi penari lain
Kamal mengungkapkan, tidak mudah baginya mengajarkan Tari Perut kepada penari Indonesia. Terutama membiasakan sang penari untuk bisa bergerak bebas. Khususnya, gerakan bebas dari bagian tubuh dada hingga pundak. Penari Indonesia kebanyakan merasa risih menggerakkan dada dan pundaknya. “Mereka, seperti lebih senang membungkuk, untuk tidak menonjolkan bagian dadanya,” kata Kamal. Bisa jadi, tambah Kemal. Ketidakbebasan penari untuk menggerakkan dada hingga pundak itu terjadi karena pengaruh lingkungan.
Dalam budaya timur, perempuan seperti “diwajibkan” untuk melindungi atau menutupi bagian dadanya. Hal itu, jelas Kamal, membuat penari memilih untuk tidak terlalu mengeksplorasi bagian-bagian itu. Padahal, dalam tari perut, gerakan bagian dada dan pundak menjadi sesuatu yang penting. “Karena itulah, hal pertama yang saya perkenalkan kepada para penari ini adalah bagaimana “membebaskan” bagian tubuh dada dan pudak agar lebih bebas bergerak,” jelasnya.
Kebebasan gerak itu, menurut Kamal merupakan elemen terpenting dalam creasi tari miliknya. Semua gerakan tari yang diciptakan untuk pertunjukan kali ini, memadukan tari perut dan tari klasik Indonesia dan Eropa. “Biarkan gerakan, music dan busana yang dikenakan “berbicara” sendiri kepada penonton,” kata Kamal yang juga seorang desainer ini.
Meski awalnya sedikit memiliki kesulitan, tapi perlahan-lahan ke-30 penari itu mulai bisa lebih bebas bergerak. Dalam 12 pagelaran tari dan peragaan busana yang dilakukan malam itu, para penari seakan tak ragu lain menggerakkan seluruh tubuhnya dalam lagu rancak irama padang pasir. Dalam tarian berjudul Wardah With Solo Drum misalnya. Enam penari, Lia, Emma, Tata, Tina, Yulia dan Jenny menyajikannya dengan sangat apik.
Kamal sendiri menunjukkan keahliannya malam itu dengan membawakan tarian berjudul Goodbye Dear. Tarian yang mengekspresikan kesedihan karena harus meninggalkan Keindahan di Indonesia itu termanifestasi dalam gerakannya. “Terima kasih kawan-kawan di Indonesia, saya akan melanjutkan kehidupan di San Paulo Brazil dengan mengajar tari di sana.” Katanya.
hehehe...
ReplyDeletehhehehehh
ReplyDelete