04 December 2009

Operasi CIA di Iran

Sefdin Syaifudin | Jurnalis Surabaya

Tulisan di bawah ini, saya sarikan dari aneka sumber dokumen. Sebagai materi bagi kita, tentang apa dan bagaimana yang telah terjadi di tubuh agensi negara super power itu. Dan dampaknya pada peta politik dunia. Adalah kenyataan bahwa CIA, yang disebut juga sebagai America’s Secret Warriors, atau Pahlawan Rahasia Amerika, telah membantu Amerika Serikat memenangkan perang dingin.

Selama hampir setengah abad, CIA menjadi tangan tak terlihat dari kekuatan pemerintah AS. Mereka menjatuhkan pemerintahan, membentuk pasukan rahasia, bahkan bekerja sama dengan raja obat bius sekalipun, dan kalau perlu menyewa pembunuh bayaran. Tahun 1979. Sebanyak 53 warga AS disandera di kedutaan AS di Teheran oleh pendukung Ayatollah Khomeini yang anti AS.

CIA di bawah Presiden AS Jimmy Carter, dan direkturnya, Stansfield Turner, mengaku terkejut dengan krisis sandera di Iran yang dikatakan tak terduga itu. Stansfield Turner, direktur CIA 1977-1981 menyatakan krisis sandera di Iran adalah titik balik dari tindakan mereka terhadap terorisme. ”Mungkin karena ini adalah pertama kalinya, kami sadar bahwa sebagai negara superpower, bisa sangat rapuh,” kata Turner ketika itu.

Selama 444 hari, warga AS disandera oleh penangkapnya. Tiga dari sandera itu adalah petugas CIA. Krisis ini disebut sebagai blowback (pembalasan). Karena sebelumnya CIA yang mengatur Iran, sekarang giliran CIA memohon ampun pada Iran, agar sanderanya dibebaskan.

Mungkin Carter dan Turner kurang jujur jika mengaku terkejut dengan aksi yang disebutnya “tak terduga” itu. Sebab, kedua petinggi AS itu tak menyebut sama sekali krisis tahun 1953, sebagai akar dari krisis sandera tahun 1979. Krisis sandera 1979 itu, tak lepas dari peristiwa tahun 1953. Ketika agen CIA melaksanakan operasi kup yang sukses di Iran.

Mereka menciptakan gejolak di Iran, untuk menggulingkan Perdana Menteri Iran Muhammad Mossadegh, yang berniat menasionalisasikan perusahaan minyak barat di Iran. Mossadegh adalah Perdana Menteri yang terpilih secara demokratis di Iran. Tetapi oleh CIA, yang ketika bekerja sama dengan MI6-Inggris, Mossadegh digulingkan melalui operasi khusus dengan memanfaatkan kekuatan media massa untuk menghasut rakyat Iran agar tidak mempercayai lagi kepemimpinan Mossadegh.

CIA dan MI6 tidak bekerja sendiri. Tetapi juga mendekati Shah Iran, Reza Pahlevi dan kelompoknya untuk ikut mendorong menggulingkan pemerintahan Mossadegh yang sah. Inggris terlibat dalam operasi itu. Karena Inggris merasa paling dirugikan dengan kebijakan Mossadegh yang menasionalisasi industri minyak di Iran. Kebijakan itu menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan minyak Anglo Iranian Oil Company (AIOC) atau sekarang dikenal bernama British Petroleum (BP), yang sejak tahun 1931, diberi hak monopoli dan konsesi penuh pengelolaan sumber minyak Iran.

Mossadegh adalah seorang doktor yang menganut prinsip anti-kapitalisme. Oleh sebab itu, sejak berkuasa pada tahun 1951, ia menerapkan kebijakan nasionalisasi minyak Iran untuk meningkatkan devisa negara Iran. Karena selama ini, AIOC-lah yang paling banyak menerima porsi dari keuntungan penjualan minyak Iran.

Iran memang harus menerima konsekuensi atas kebijakan Mossadegh itu. Produksi minyak Iran menurun. Karena AIOC menghentikan produksinya. Dan itu berarti, pendapatan Iran dari hasil ekspor minyak juga terganggu. Krisis minyak di Iran juga menyebabkan krisis minyak dunia.

Untuk membalas Iran, Inggris bersekutu dengan AS memblokade Teluk Persia sampai ke Selat Hormuz yang menjadi jalur utama lalu lintas minyak dunia dan lalu lintas perdagangan serta ekonomi Iran. Blokade itu, otomatis membuat ekonomi Iran nyaris lumpuh.

Pemerintah AS juga punya kepentingan sendiri terhadap Iran. AS tidak suka melihat kedekatan Iran dengan musuh bebuyutan AS ketika itu, Uni Soviet. Dan ingin mengakhiri hubungan mesra Iran dengan blok Timur.

Sebuah dokumen menyebutkan adanya Operasi Ajax yang dijalankan AS dan Inggris di Iran saat itu. CIA menugaskan Kermit Roosevelt Jr –cucu mantan presiden AS Theodore Roosevelt– untuk merancang operasi intelejen penggulingan Mossadegh. Sebagai pimpinan operasi, CIA menunjuk Donald Wilber.

CIA memulai operasi dengan memanfaatkan situasi krisis ekonomi Iran akibat blokade dan penurunan produksi minyak. CIA juga menghasut rakyat Iran agar pro-Barat. Menghembuskan beragam isu untuk melemahkan dukungan rakyat terhadap Mossadegh dan mempengaruhi sejumlah perwira di angkatan bersenjata Iran.

Tapi rencana kudeta CIA yang akan dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1953 gagal. Karena tercium oleh para pejabat militer Iran yang loyal dengan Mossadegh.

Mossadegh lalu memerintahkan kepala staf keamanan kabinet, Jenderal Taghi Riahi untuk menyelidiki rencana kudeta itu, yang kemudian mengirim utusan untuk mengabarkan rencana kudeta itu pada pasukan pengawal kerajaan. Tapi CIA berhasil mencegahnya dengan menyogok Jenderal Fazlollah Zahedi –pimpinan kelompok yang pro Shah Iran– agar menangkap utusan Jenderal Riahi.

Upaya kudeta pertama berhasil digagalkan berkat perlawanan keras pasukan pemerintah Iran. Kermit Roosevelt dan Jenderal Zahedi bahkan dikabarkan melarikan diri ke wilayah utara Iran.

Setelah kegagalan itu, CIA merancang rencana kudeta yang baru dengan memanfaatkan media massa. CIA sengaja menyebarkan surat kaleng ke berbagai kantor berita yang isinya menyebutkan bahwa Shah Iran telah mengeluarkan dekrit untuk memecat perdana menteri Mossadegh dan menunjuk Jenderal Zahedi sebagai penggantinya.

Tapi upaya ini pun tidak membuahkan hasil. Karena masih kuatnya dukungan dan kepecayaan rakyat Iran terhadap Mossadegh.

CIA nyaris putus asa melihat pemerintahan Mossadegh berhasil menangkapi agen-agen mereka yang direkrut di Iran dan menerapkan kebijakan ketat pada media massa. Bahkan Shah Iran yang awalnya mendukung rencana kudeta CIA, juga melarikan diri ke Baghdad, Irak.

Tapi CIA tak mau Operasi Ajax itu gagal. Di Baghdad, CIA berhasil membujuk Shah Iran agar mengeluarkan dekrit untuk membubarkan pemerintahan Mossadegh.

Pada saat yang tepat, dekrit yang disiarkan pada tanggal 19 Agustus 1953 oleh seluruh media massa itu memicu rusuh massa di Iran. Kerusuhan inipun memaksa Mossadegh melepaskan jabatannya sebagai perdana menteri dan posisinya digantikan oleh Jenderal Zahedi.

Oleh CIA, Operasi Ajax untuk menggulingkan Mossadegh yang menjadi salah satu operasi intelejen terbesar AS, dinilai sukses.

Shah Reza Pahlevi yang pro Barat kembali ke Iran dan sebagai ucapan terima kasih, Shah mengijinkan kembali AIOC mengelola minyak Iran. Bersama lima perusahaan minyak AS, satu perusahaan minyak Prancis dan perusahaan minyak Dutch Royal Shell.

Setelah penggulingan Mossadegh, Amerika Serikat ikut campur tangan langsung dalam kebijakan dalam dan luar negeri Iran selama masa Shah Iran. Dan selama 25 tahun, mereka menjaga supaya dia tetap berkuasa.

Dengan bantuan CIA, Shah membangun polisi rahasia yang represif, yang dikenal dengan SAVAK. Yang menganiaya dan membunuh ribuan rakyat Iran yang anti-pemerintah. Akibatnya, Shah Iran makin jauh dari rakyat. Kemarahan rakyat mulai menggumpal, dan tumpah di jalanan Teheran. Kebencian terhadap AS semakin hari semakin kuat.

Puncaknya tahun 1979, rakyat Iran bangkit melawan Syah Iran dan AS. Pada saat itu pula, Ayatollah Khomeini memimpin revolusi Islam yang menggulingkan Shah. Pendukung Khomeini mengatakan; penyanderaan kedutaan AS adalah sebuah pembalasan.

”Ada banyak orang Iran yang sekarang berkata bahwa kesalahan terbesar AS adalah menyingkirkan Mossadegh, dan mengembalikan Shah berkuasa. Karena jika Mossadegh tak terhenti, kau takkan pernah punya Khomeini,” kata Richard Helms, direktur CIA 1966-1973.

”Aku tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Tapi tekanan pada saat itu memang kuat untuk menyingkirkan bajingan (Mossadegh, red) itu, yang telah menasionalisasikan perusahaan minyak Anglo-Iranian. Egois, rakus, mau menang sendiri,” tambah Helms.

Direktur CIA saat itu, Stansfield Turner, mengakui tidak memperkirakan akan ada kebangkitan Revolusi Islam di Iran yang dipimpin Khomeini. ”Aku tidak yakin bahwa kami dari CIA pada waktu itu, mengerti tentang kebudayaan Iran dengan cukup baik. Bahwa ada gerakan rahasia yang berkembang menjadi penting,” aku Turner, yang menjabat direktur CIA tahun 1977-1981.

Sejak saat itu, Khomeini mengobarkan jihad, perang suci, melawan setan besar Amerika.

Serangan balasan terjadi lagi pada 1983. Rakyat Iran yang didukung oleh kelompok Syiah, disebut sebagai dalang pengeboman kedutaan AS di Beirut dan markas CIA di Lebanon. Ledakan kedutaan itu menewaskan 63 orang. Di antara korban adalah sembilan pekerja CIA, termasuk kepala stasiun CIA.

Rupanya CIA menghadapi musuh gaya baru. Sukar untuk ditemukan lokasinya. Sukar dihancurkan. Yakni aksi terorisme. Dikatakan Turner, CIA mengalami dilema. Jika memilih pendekatan kekerasan, diyakini akan menimbulkan aksi balasan lagi. Sementara jika menyusupkan agen, juga menyebabkan masalah.

”Kami punya agen yang menyusup ke organisasi teroris. Ketika mereka mengatakan kepadanya, ’kau harus keluar dan membunuh ini dan itu, untuk membuktikan kepada kami bahwa kau adalah bagian dari kami’. Mereka menghadap kepadaku dan berkata, ’apakah kita mengijinkannya dan bisa memperoleh informasi dari dalam atau tidak?, ’Aku berkata tentu saja tidak’. Kami pun terpaksa menarik dia,” kata Turner.

Turner mengaku pilihan CIA sangat terbatas. Mereka tidak bisa menggunakan taktik yang sama dengan teroris secara legal. Benarkah? Coba kita sekarang berpikir. Jika pemerintah AS terus menekan dan memberi banyak sanksi terhadap Iran dan menjuluki Pengawal Revolusioner Iran sebagai “teroris”, apa yang akan terjadi ke depan?

Tentu tak ada perubahan menuju keadaan yang lebih baik. Bagaimana bila sebaliknya?

Amerika melibatkan Iran dalam penyelesaian krisis-krisis regional, seperti proses perdamaian Israel-Palestina. Bukankah Iran merupakan kekuatan utama di wilayah tersebut? Terutama terhadap gerakan anti-Israel di sana?

Semakin sering Israel, dan khususnya AS, mencoba menjauhkan Iran dari keputusan-keputusan penting di wilayah tersebut, semakin besar Iran merasa keberadaan mereka tidak diindahkan. Amerika seharusnya juga menghentikan dukungan terhadap gerakan-gerakan akar rumput di Iran, yang makin hari makin kasat mata.

Dalam beberapa tahun terakhir, kaum perempuan terdidik Iran telah menyingsingkan lengan baju mereka dan melakukan beberapa gerakan akar rumput yang paling ”berani” sepanjang sejarah Iran. Mereka bahkan dengan terang-terangan berkata bahwa Amerika telah mengalokasikan 75 juta dollar AS untuk “Dana Demokrasi Iran”, guna mendukung penyebaran demokrasi di Iran.

Padahal, semakin mereka mendapat bantuan dana dari AS, semakin sulit secara alamiah mereka akan terlibat dalam dialog dengan kelompok mainstream di Iran. Amerika Serikat dan Iran dapat, dan seharusnya bisa, bekerjasama menciptakan sebuah hubungan baru. Hubungan yang akan memuluskan jalan bagi sebuah Timur Tengah yang lebih damai.

Menjalin hubungan memang membutuhkan usaha tak kenal lelah. Apalagi di tengah perbedaan mendasar cara hidup dan pencapaian tujuan hidup. Tetapi tentu akan ada titik temu, pada saat Amerika dan Iran saling mengerti apa makna “demokrasi” bagi seorang Iran, dan apa makna “kebebasan” bagi seorang Amerika.

Mungkinkah para pejabat agensi di markas CIA memberi masukan ini? Ikuti serial tulisan selanjutnya.

*graphic design by http://www.globalsecurity.org

1 comment:

  1. Anonymous1:25 pm

    interesting! bagaimana dengan 'proses demokrasi' indonesia, apakah ada dana dari as juga? atau tekanan2 yang menyesakkan?

    ReplyDelete