18 December 2009

Luna, Ruhut dan Etika Jurnalistik

Iman D. Nugroho

Saat semangat masih berapi-api mengikuti kasus Luna Maya melawan wartawan infotainment, tiba-tiba sebuah "tag" foto berjudul Skandal Ruhut Sitompul mengejutkanku. Seperti gambar disamping ini, anggota DPR dari Partai Demokrat tampak mesra memeluk seorang perempuan. Muncul pertanyaan, apakah hal ini pantas diberitakan?

Untuk menjawab pertanyaan jadul (baca: jaman dulu) itu paling pas membuka lagi Code of Ethics atau kode etik jurnalis Indonesia. Dalam pasal 3 yang tertulis, "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah," membuat jurnalis tidak boleh gegabah dalam melihat gambar Skandal Ruhut ini.

Harus dilakukan pengujian informasi dengan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Diberikan ruang berimbang kepada yang bersangkutan, dengan menghapus semua praduga yang tertancap di otak kita. Kalau sudah ada prasangka, silahkan lihat Pasal 8. Tertulis di sana "Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani."

Dan yang tidak kalah penting pada pasal 9 yang tertulis "Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik." Karena itu, jurnalis harus berhati-hati dan menahan diri, untuk tidak memasuki wilayah pribadi nara sumber. Dalam kasus Skandal Ruhut, apakah hal ini sudah memasuki wilayah publik? Untuk menjawabnya, harus dilihat dulu, apakah ada domain publik yang terlanggar dalam foto itu.

Misalnya, apakah Ruhut melakukannya di gedung DPR/MRP yang notabene gedung publik dan tidak digukana untuk hal itu? Apakah waktu bepergian itu Ruhut menggunakan mobil dinas? Kita tahu, mobil dinas DPR/MPR digunakan untuk kepentingan tugas sebagai Wakil Rakyat saja, bukan untuk hal pribadi. Intinya, semua hal harus dibenturkan pada kepentingan publik. Bagaimana dengan moralitas? Misalnya, sebagai Wakil Rakyat, Ruhut tidak sepantasnya melakukan hal demikian.

Ah. Pers tidak mengurusi urusan moral. Memangnya pers malaikat?

No comments:

Post a Comment