20 November 2009

Gholamreza Menyajikan Iran Dalam Ruang Sempit Film

Iman D. Nugroho

Bagai sutradara Gholamreza Ramezani, membuat film adalah proses menyajikan kenyataan di masyarakat. Dan semua itu harus dilakukan di antara sempitnya ruang gerak kebebasan di negaranya: Republik Islam Iran.

Ketika berbicara tentang Republik Islam Iran, bisa jadi "Islam" menjadi salah satu keyword pertama yang terlitas. Setelah itu, sang Presiden, "Mahmod Ahmadinejad" dan selanjutnya, "nuklir". Karena tiga hal itu yang seringkali muncul di media massa bila memuat berita tentang negara yang dikenal sebagai Negara Mulah atau Negara Para Ulama itu. Pernahkah terlintas keyword "film" di dalamnya?

Film karya sineas Iran memang jarang menjadi issue di dunia perfilman global. Belakangan, hanya film berjudul Children of Heaven saja yang sempat mencuri perhatian khalayak. Film karya sutradara Majid Majidi itu memang unik. Dengan tema besar kemiskinan yang disimbolkan dengan sepatu itu, mampu menembus pasar film dunia yang dikuasai Hollywood. Bahkan, memenangkan berbagai penghargaan film dunia pula.

Dunia Film Iran

Bagaimana sebenarnya dunia perfilman di Iran? Sutradara asal Iran, Gholamreza Ramezani menjelaskan semua dalam workshop di sela-sela Iranian Film Festival di Pusat Perfilman Usmar Ismail di Jakarta belum lama ini. "Di Iran, dunia perfilman juga berkembang, namun tidak semuanya dipasarkan sampai ke luar negeri," katanya. Dalalm satu tahun, kurang lebih 80 judul film dari berbagai genre dibuat di Iran.

Jumlah itu tergolong fantastis mengingat berbagai batasan yang dilakukan pemerintah Iran. Seperti kita ketahui, Iran adalah negara yang memilih untuk menjalankan syariat Islam dengan ketat. Tidak hanya itu, hubungan dengan luar negeri, khususnya AS pun pasang surut. Dalam dunia perfilman, hanya 15 persen dari seluruh film yang diputar di seluruh Iran, adalah film dari luar Iran. Selebihnya, karya asli sineas negara itu.

Meski menguasai pasar domestik, namun film karya Iran pun tidak boleh melanggar regulasi ketat yang sudah dibuat negara. Mulai tema hingga adegan yang ditayangkan. Semua hal yang berbagai melanggar kaidah Islam. Semua hal yang berbau sensual misalnya, adalah pelanggaran besar untuk disajikan. Tapi di sisi lain, justru dunia seni (khususnya perfilman) meningkat tajam.

Bagi Gholamreza Ramezani, dan mungkin seluruh sineas Iran, pengenalan kebiasaan bercerita yang didapatnya di pendidikan dasar menjadi modal utama. "Guru-guru sering meminta kami untuk berdiri di mulut gang, dan mencacat semua kejadian yang ada," kenang pria kelahiran Arak, Iran 1960 itu. Kebiasaan mencatat itu kemudian berlanjut dengan kebiasaan menulis buku harian. Tanpa disadari, hal itu menjadi dasar tumbuhnya rasa cintanya pada dunia tulis menulis naskah film.

Menjelang remaja, Gholam tertarik untuk mengasah kemampuannya berakting dengan menekuni dunia teater. Nasib membawanya lebih jauh ke dalam dunia itu. Sudah tak terhitung lagi naskah teater yang sudah dibuat, disutradarai dan dimainkannya. "Selama 10 tahun saya menggeluti teater, tapi hal itu seperti tidak memuaskan saya. Penonton mungkin puas, tapi saya tidak," kenang sutradara film Obur az Taleh yang berhasil terkenal itu.

Bapak satu anak ini pun memilih melirik film sebagai dunia baru yang akan digelutinya. Tentu saja, hal itu gampang-gampang susah. Mengingat dalam hal pembiayaan, film jauh lebih banyak dibandingkan teater. Belum lagi perangkat keras yang harus disiapkan. Semuanya harus diperlakukan secara matang sebelum proses pembuatan film dimulai. "Tapi, di sinilah saya merasa dunia saya yang sebenarnya, dunia film!" katanya.

Mendulang Sukses

Satu persatu, film besutan Gholam pun diproduksi. Beberapa film terkenal karyanya menghiasi layar lebar di Iran. Seperti Hayat (kehidupan), Ghoflsaz (tukang kunci), Charkh (roda) dan tentu saja Obur az Taleh (melewati jebakan). Tidak hanya itu, Gholam juga dipercaya untuk menyutradarai film-film serta sinetron yang diputar di televisi. Dan dari semua filmnya, film Obur az Taleh menjadi puncak prestasinya. Melalui film berdurasi dua jam itu, Gholam memperoleh penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam sebuah festival film di Iran.

Seperti halnya kebanyakan sutradara Iran, Gholam juga memfokuskan filmnya pada eksplorasi kehidupan di Iran. Dalam bahasa lain, semua filmnya base on true story kehidupan masyarakat negeri itu. Dalam film Hayat misalnya. Gholam menceritakan kisah seorang anak perempuan Iran bernama Hayat yang ingin mengikuti ujian unggulan antar desa. Namun, keluarganya yang miskin membuat Hayat harus menjaga kedua adiknya.

Begitu juga dalam film Goflsaz atau Tukang Kunci. Di film itu, Gholam mengangkat cerita seorang ayah yang berjuang untuk membebaskan anaknya, Muhammad Ali yang ditangkap polisi. Berbagai perangkap hokum yang ditemui sang ayah, membuat film ini menjadi sangat menarik untuk diikuti. “Semua yang saya angkat dalam film-film saya memang pernah terjadi di Iran,” katanya.

Gholam juga menjadikan catatan hariannya semasa kecil menjadi salah satu inspirasi. Film Charkh misalnya. Film ini adalah kisah Gholam saat masih anak-anak di kota Arak, Iran. Sungguh, film yang setingnya dibuat tahun 60-an itu sangat sederhana. Baik tema maupun sinematographynya. Diceritakan bagaimana seorang anak bandel yang dihukum ayahnya – seorang penjual buah keliling. Dia dikunci di dalam gerobak buah milik sang ayah. Kemana pun sang ayah pergi, anak bandel ini melihat semua sisi kehidupan dari lubang kecil di antara kayu gerobak. “Film yang menarik bukan, haha?” selorohnya.

Realita

Bagi Gholam, kesederhanaan realitas kehidupan adalah hal yang mutlak harus disajikan dalam sebuah film. Karena hal itu merupakan tanggungjawab seorang sutradara untuk penonton filmnya. “Meskipun kenyataan itu pahit, ya seperti itulah yang harus disajikan,” katanya. Karena itulah, Gholam tidak ragu menyajikan sisi negative –dalam terminology barat- dalam filmnya. Seperti adegan orang tua yang mencubit anaknya atau mengatai sang anak dengan sebutan kasar. “Bagi orang tua di Iran, di balik semua hal itu, ada rasa cinta yang luar biasa pada anak-anaknya,” katanya.

Laki-laki yang selalu menghiasai wajahnya dengan mimic serius ini menyarankan sineas di manapun, termasuk di Indonesia untuk tidak pernah berhenti mengabarkan kenyataan. Meskipun hal itu, tidak sedang menjadi trend di perfilm Hollywood. “Kita harus memiliki gaya sendiri, tidak harus seperti film Hollywood,” katanya. Terlebih lagi, sutradara adalah bagian dari masyarakat tempatnya berasal dan paling paham dengan apa yang terjdi di masyarakatnya.

Khusus untuk film Indonesia, Gholam mengaku terpesona dengan film Emak Ingin Naik Haji karya sutradara muda Aditya Gumai. Dalam film yang bercerita tentang keteguhan hati seorang anak dari keluarga miskin yang akan memberangkatkan emak (ibu)-nya berangkat Haji itu, bagi Gholam, sangat dekat dengan masyarakat. Apalagi, bagi penduduk di negara yang mayoritas Islam lain, hal serupa juga banyak ditemukan. “Saya memperkirakan, film semacam ini akan mampu sukses karena seperti menyuguhkan kenyataan di masyarakat,” katanya.

No comments:

Post a Comment