30 August 2009

Kasus Senjata Ilegal (?) di Antara Problem Finansial Alutsista

Iman D. Nugroho

Berita mengejutkan datang dari Filipina. Aparat bea cukai negara itu menemukan puluhan senjata jenis Senapan Serbu (SS) 1-V1 buatan PT. Pindad dari kapal berbendera Panama bernanam Capt U Fuk. Sebuah berita tidak sedap di saat Indonesia sedang berbenah memperbaiki image dalam hal pertahanan di mata dunia internasional.


***
Meski sempat mewarnai pemberitaan media massa Indonesia belakangan, namun berita tentang dugaan adanya penyelundupan senjata buatan PT. Pindad berjenis SS1- V1 di Filipina, tidak menjadi besar. Padahal, bila ditelisik lagi, berbagai spekulasi bisa muncul atas pemberitaan itu. Dan yang paling mengkhawatirkan, kasus itu kembali mencoreng nama Indonesia dalam hal pertahanan negara. Apalagi, senjata selundupan itu bercampur dengan senjata dari Israel yang dibawa oleh kapal asal Panama dengan kru asal Georgia dan Afrika. Buru-buru, PT. Pindad membantah hal itu. Menurut keterangan humas PT. Pindad sebagaimana dilansir Metro TV, sebenarnya senjata-senjata itu bukanlah senjata ilegal. Namun dipesan oleh organisasi menembak Filipina dan Mali. Namun hingga kini masih diadakan penyelidikan lebih lanjut mengenai hal itu.

Apa itu SS1 V1? Berdasarkan Wikipedia, SS1 atau Senapan Serbu 1 adalah senapan andalan PT. Pindad. Senapan ini menggunakan peluru berkaliber 5.56 x 45 mm standar pasukan NATO. Secara fisik, senapan yang dibuat berdasarkan lisensi dari perusahaan senjata Fabrique Nationale (FN), Belgia ini memiliki dua model, model standart SS1-V1 (FNC “Standard” Model 2000) dan karabin pendet atau SS1-V2 (FNC “Short” Model 7000). Bersama M16, Steyr AUG dan AK-47, SS1 menjadi senapan standar TNI dan Polri. Sejak tahun 1991, TNI dan Polri menggunakan senjata SS1 dalam operasinya di Aceh,Timor-Timur dan Papua. Nama SS1-V1 semakin terkenal ketika senjata jenis ini memenangkan contest Asean Army Rifle Meet XVI.

Secara sederhana, regulasi pembelian dan penjualan peralatan tempur atau alat utama sistem persenjataan (alutsista), di Indonesia tergolong cukup ketat. Indonesia hanya membuka jalur jual beli senjata dengan negara-negara yang memiliki kerjasama secara resmi. Dalam negeri, sebuah lembaga bernama Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) memegang kendali penuh atas hal ini. Di dalamnya, terdapat beberapa departemen terkait, sepertti Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Menteri Negara BUMN dan tentu saja Departemen Pertahanan. Melalui departemen terakhir inilah lembaga TNI juga ikut diajak bicara.

Saat ini, bukanlah hal yang mudah untuk berbicara tentang alutsista. Problem pendanaan menjadi hal paling utama. Data dari Departemen Keuangan menyebutkan, dari tahun 2004 hingga tahun 2008, alokasi utang pengadaan alutsista mencapai Rp.26 triliun dan pinjaman luar negeri setara Rp.20,1 triliun. Hal itu digunakan untuk menutup pembiayaan alutsista dalam negeri yang semakin tahun semakin menurun saja. Hingga dikenal istilah "minimum essential force" (pemenuhan anggaran minimum pertahanan) bagi alutsista.

Meski demikian, riset media menyangkut pemenuhan alutsista, tetap saja penuh dinamika.Salah satunya adalah hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat yang sempat renggang dalam hal pertahanan. Kasus pelanggaran HAM jaman Orde Baru di bawah Soeharto, membuat Parlemen dan Senat AS tidak pernah "menghitung" TNI dan memutuskan embargo. Namun, pelan-pelan hubungan itu kembali membaik. Bahkan, ada rencana pembelian pesawat jenis F-16 dari AS menggunakan uang pinjaman LN, tentunya. Di tengah upaya itu, eh,..ada kasus senjata ilegal Pindad di Filipina.

Foto: flickr dan wikipedia

No comments:

Post a Comment