21 July 2009

Menggenggam Erat Adat Hingga Akhir Hayat

Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna
[Foto dokumentasi NGO CIS]


"Ayah saya tidak sadar, ada sebuah peluru yang mengenai hidung dan punggung kanannya. Mungkin itulah akibat Obat (jimat) yang dipakai sebelum berperang," kenang Dionato Moriera, pemuda aktivis NGO Pengungsi CIS. Ayah Dionato adalah salah satu pejuang integrasi 1975.


***

Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, dalam hal budaya, masyarakat Timor pun mengenal apa yang disebut ilmu kanuragan (tenaga dalam). Peran tenaga dalam di sini tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan masyarakat setempat pada animisme (mengakui adanya roh-roh). Masyarakat Timor percaya, ada kekuatan di luar kekuatan manusia yang menyebabkan orang menjadi bertingkah yang tidak wajar. Juga, adanya keajaiban-keajaiban yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan itu. Ada beberapa nama tentang ilmu kanuragan ini. Mulai Obat (ramuan/jimat), Leu-leu (santet) dan Suwanggi (roh jahat)

Bagi masyarakat Timor, berbicara soal tenaga dalam sedikit memiliki unsur "rahasia". Hampir setiap orang yang menjelaskan soal ini, memilih untuk mengecilkan volume suaranya, dan sedikit berbisik. Salah satu narasbumber yang juga mantan anggota Aitarak, Mateus B.C Guedes mengatakan, dalam persoalan ilmu tenaga dalam, tidak bisa dilepaskan dari sejarah keturunan masing-masing keluarga. Mateus sendiri mengaku pernah memiliki keturunan leluhur yang tidak boleh makan ikan hasil laut. Itu pantangannya. Tidak jelas benar, mengapa hal itu dilakukan, yang pasti hingga kini seluruh anggota keluarganya tidak makan ikan dari laut.

Adanya Rumah Adat bagi masyarakat Timor juga memiliki kekuatan magis tersendiri. Rumah ada dipercaya sebagai rumah tempat berkumpulnya seluruh kekuatan keluarga besar. Termasuk roh-roh leluhur yang sudah mati pun berkumpul di sana. Karena sakralnya Rumah Adat, maka bila ada persoalan-persoalan keluarga, biasanya diselesaikan secara musyawarah di Rumah Adat. Tidak hanya itu, di rumah ada jugalah, tempat di mana orang Timor bisa mengambil obat (jimat) yang digunakan untuk berbagai macam hal.

Salah satu sumber anggota eks PPI, Domingos Soares mengatakan, dirinya memperoleh Obat dari rumah adat di Vequeque, Timor Timur sebelum memutuskan untuk ikut berperang di pihak pro integrasi. Meski tidak pernah merasakan secara pasti kasiat Obat yang dia kenakan, tapi Domingos yakin, Obat yang dia kenakan itu membuatnya hidup sampai sekarang. Hingga kini, Domingos masih menyimpan Obat yang didapatkan pada tahun 1999 itu. "Hampir semua kawan-kawan saya yang akan berperang juga menggunakan itu," katanya.

Mateus dari Atambua mengatakan, dirinya juga memiliki Obat berupa Sirih Pinang yang juga didapatkannya dari Rumah Adat. Saat mendapatkan Sirih Pinang itu, Mateus mengucapkan doa agar para leluhur melindungi dia dan keluarganya saat berjuang demi Indonesia. Saat berdemonstrasi untuk membela hak pengungsi di tahun 2008 yang berujung bentrok pun Mateus kembali mengenakan Sirih Pinang itu. "Mohon maaf, kalau sedang memakai itu tidak boleh sentuh istri," kata Mateus. Selain Sirih Pinang, Mateus juga membawa Kontas (rosario) untuk selalu ingat kepada Tuhan.

Selain Mateus, salah satu saudaranya, Abel, juga memakai jimat yang disebut Biru. Mateus mengaku sejak memakai itu, Abel tidak tertembus oleh peluru. Biru yang dipakai bentuknya berupa ikat kepala yang didapatnya dari hutan. "Kalau tidak salah Biru itu dia dapat dari hutan saat dirinya berburu monyet, saat monyet itu mati, berubah menjadi Biru (Jimat)," katanya.

Selain Rumah Adat, posisi pemakanan keluarga juga memiliki nilai sakral. Orang Timor percaya, dengan menjaga kuburan keluarga, maka roh yang terkubur di situ akan melindungi mereka. Mateus, salah satu sumber mengaku sampai saat ini keluarganya masih merawat kuburan yang masih dalam bentuk batu-batuan. Begitu pentingnya arti kuburan ini, membuat orang Timor rela melakukan prosesi upacara pemindahan tulang belulang keluarga untuk dikuburkan di lokasi yang dianggap tepat.

Penghormatan kepada leluhur juga dilakukan Mateus di tempatnya tinggal sekarang, di Atambua. Hingga kini, Mateus mengaku selalu memberi hormat kepada leluhur dengan memberikan rejeki yang didapatnya. "Kalau saya makan daging, sebelum saya makan, leluhur harus lebih dahulu makan. Paling kurang tiga potong daging saya simpan di di batu untuk makanan leluhur. Saya hormati kekutan-kekutan gaib dan leluhur yang ada," katanya.

No comments:

Post a Comment