20 July 2009

Masih Banyak yang Belum Beres Bagi Eurico Guterres

oleh Iman D. Nugroho dan Yemris Fointuna

Sejak kematian Mantan Gubernur Timor Timur yang juga mantan pejuang integrasi Abilio Soares dan Mantan Panglima Pejuang Pendukung Integrasi (PPI) Joao Tavares pada 2008, nama Eurico Barros Gomes Guterres atau akrab dipanggil Eurico Guterres melambung. Ia menjadi satu-satunya representasi mantan eks Timor Timur yang sekarang menjadi pengungsi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sosok kelahiran Uatulari 1971, tak jauh dari Viqueque Timor-Timur ini selalu berada di garda depan dalam persoalan menyangkut Timor Timur.


Dalam hiruk pikuk sejarah Timor Timur, Eurico disebut-sebut sebagai salah satu aktor yang paling dicari karena keterlibatannya dalam Aitarak-kelompok pro integrasi. Nama Eurico ada dalam daftar pelaku kejahatan serius (serious crimes list) yang dikeluarkan oleh Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor (CAVR) karena tuduhan terlibat dalam berbagai kasus di tahun 1999, pasca jajak pendapat. Di pengadilan Indonesia, Eurico dinyatakan bersalah dan dihukum 10 tahun penjara pada tahun 2002 dan mulai dipenjara di LP Cipinang Jakarta pada tahun 2006. Merasa tidak puas, pada tahun 2008 Eurico mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA dengan mengajukan novum (bukti baru), membuanya dibebaskan dari semua tuduhan pada tahun 2008.

Masa lalu Eurico, seperti halnya sebagian besar warga Timor Timur yang lain, tidak pernah lepas dari kesengsaraan. Kedua orang tuanya pernah dituduh terlibat mendukung Fretilin dan tewas terbunuh karena itu pada tahun 1976. Saat laki-laki yang kini berambut panjang ini beranjak dewasa, konflik tak juga berlalu. Rencana kedatangan Presiden Soeharto pada tahun 1988 membuatnya ditangkap ABRI (kini berubah nama menjadi TNI), dengan tuduhan merencanakan pembunuhan.

Tuduhan itu tidak berlanjut, namun justru menjadi awal kedekatan Eurico dengan pihak militer Indonesia. Ketika pemerintah Indonesia membentuk Gardapaksi pada tahun 1994, Eurico menjadi salah satu anggotanya. Waktu terus berjalan. Di sela-sela kedekatannya dengan pemerintah Indonesia, Eurico menikah dengan kemenakan Uskup Nascimento dari Baucau, Agida Beatrice Belao dan mempunyai tiga orang anak, Jakes, Nonoi dan Migie. Hingga kini keluarga Eurico tinggal di Dili, Timor Loro Sae.

Di sela-sela menghadapi kasus hukum di Indonesia, Eurico terus beraktivitas. Pada Agustus 2003, Eurico disebut-sebut membentuk Laskar Merah Putih Papua yang memiliki anggota ratusan orang. Hingga kini aktivitas Laskar Merah Putih Papua tidak lagi bergaung. Kedekatannya dengan Amien Rais melalui beberapa diskusi, membuat Eurico tertarik untuk berjuang bersama Partai Amanat Nasional (PAN). Kini, Eurico yang juga ketua DPD PAN NTT maju sebagai kandidat DPR-RI dalam Pemilihan Umum Legislatif tahun 2009. Namun gagal.

Hukman Rene, Sekretaris Pribadi Eurico Guterres mengatakan, Eurico ini jauh berbeda dengan Eurico yang dulu. Umur yang bertambah membuat Eurico pun lebih matang dan jernih dalam melihat dan menilai sesuatu. "Dulu, kalau ada apa-apa langsung cabut pistol, tapi kini tidak lagi," kata Hukman menceritakan sebuah peristiwa beberapa tahun lalu yang berbuah empat lubang peluru di mobil Eurico. Tak jarang, kata Hukman, dalam sebuah perbincangan pribadi dengan dirinya, Eurico mengaku merindungan kehidupan di Timor Timur.

***
Eurico Guterres:
"Saya ingin tanya ke SBY, Bagaimana nasib pengungsi setelah ini?"

Meski semua orang mengenal Eurico Guterres, namun tidak semua orang bisa dengan mudah menemuinya. Di Kupang NTT, tempat tinggalnya sekarang, Eurico dikenal sering berpindah tempat. Kontak telepon yang kami lakukan pun gagal, karena ketika hari "H" wawancara, handphone Eurico tidak bisa dihubungi. Melalui sekretaris pribadi Eurico Guterres, Hukman Rene pertemuan dengan mantan Komandan Aitarak di sebuah rumah di pinggiran kota Kupang. Di tempat itu pula, akan berlangsung pertemuan eks Pejuang Pendukung Integrasi (PPI) untuk menyambut peristiwa Jajakk Pendapat Timor-Timur pada 4 September 2009 mendatang. Berikut petikannya:

Sebentar lagi 10 tahun sudah jajak pendapat di Timor Timur, bagaimana menurut anda?

Sama seperti yang dirasakan pengungsi eks Timor Timur. Masih banyak yang harus dipikirkan mengenai hal itu. Sebagai informasi, di Dili Timor Leste, peristiwa itu akan diperingati pada 30 Agustus 2009. Namun, kita akan merayakan yang tanggal 4 September. Karena itu juga, Saya mengundang koordinator Kamp pengungsi untuk hadir di dalam pertemuan ini. Mereka yang selama ini bersama dengan masy di kamp perlu diajak bicara, sekaligus memberi tahukan kepada mereka tetang 10 tahun pengungsian. Kalau misalnya dalam pertemuan ini sepakat untuk membentuk acara dan menulis satu buku tentang kehidupan mereka selama 10 tahun, itu akan kita lakukan. Agar publik mengetahi bagaimana kondisi pengungsi selama 10 tahun itu.

Bagaimana penanganan pengungsi selama ini?

Memang ada upaya penanganan, tapi masih ada persoalan yang masih melilit, sampai hari ini belum mampu keluar dari itu. Orang di luar NTT hanya melihat pengungsi sudah dibangunkan rumah 6x6. Tanpa ada keinginan untuk melihat lebih mendalam. Banyak masalah yang timbul di sini. Program penanganan pemerintah setengah hati, pembangunan rumah tidak manusiawi, dan asal jadi, tanpa dipikirkan akibat setelah rumah itu dibangun. Juga tanah milik warga lokal yang tidak diselesaikan baik. Masyarakat lokal mulai menuntut, membayar tanah yang selama ini dipake. Kalau pengungsi eks Timor Timur tidak mau membayar, mereka diminta keluar dari tanah pengungsian. Ini tidak diketahui. Saya mau publik tahu. Harus dilakukan sesuatu untuk itu.

Itu kondisi di NTT, bagaimana dengan di Timor Leste sekarang?

Sebenarnya sama. Selama ini saya masih ada komunikasi dengan saudara-saudara saya yang ada di Timor Leste, yang dulu memilih merdeka. Bagi saya, itu hak mereka yang harus dihormati. Tapi di balik itu ada kekecewaan dan penyesalan. Mereka sadar bahwa kemerdekaan tidak seperti yang mereka bayangkan. Saya ikut prihatin. Yang saya paham, kehidupan kemerdekaan itu menyejahterakan semua warga bangsa Timor Leste, bukan kelompok tertentu. Mereka (saudara di Timor Leste) bilang, kami di sini susah. Saya jawab, kami di Indonesia juga susah. Tapi sekali lagi, saya tidak bisa mencampuri urusan politik di Timor Leste. Tapi harapan saya, kemerdekaan bisa membawa manfaat yang baik, untuk semua warga Timor yang sudah berkorban dan menderita. Saya lebih fokus pada kepada warga eks Timor di NTT yang harus dihargai dan dihormati. Kita tidak boleh menunggu, tapi berbuat sesuatu yang nyata. Agar bangsa ini tahu, apa yang sudah dilakukan, dan ada yang kelupaan. Saya kasih contoh, pemberontak di GAM di Aceh, sudah ditangani lebih dari luar biasa. Mantan GAM bisa menjadi gubernur, walikota dll. Tanah diberi, rumah diberi. Di Papua, pimpinan pemberontak datang ke rumah gubernur, mereka bicara tentang pembangunan,pendidikan dll. Sementara,mantan PPI yang sudah lama berkorban, diabaikan begitu saja. Ini tidak fair.

Berapa jumlah seluruh pengungsi apa sampai 10 ribu?

Kalau sekarang sudah berkurang. Pengungsi dibagi, ada masyarakat dan ada masyarakat pejuang, ada juga yang sudah meninggal di pengungsian dll. Berapapun jumlahnya, kondisi ini yang membuat saya mengajak eks PPI melanjutkan perjuangan, agar bangsa ini tahu, masih ada warga negara RI yang belum diatasi secara baik. Tapi ini bukan keinginan untuk diistimewakan, tapi ditangani. Jangan sampai dulu dijunjung tinggi, sekarang diinjak-injak. Ini tidak baik untuk masa depan bangsa ini ke depan.

Apakah ada kekecewaan dengan pilihan ikut RI?

Saya kita tidak. Bergabung dengan RI adalah pilihan kita. Dan ini resiko politik yang harus kita hadapi. Kita tidak boleh kecewa, marah dengan apa yang sudah terjadi. Kini, biarlah semua yang terjadi dulu menjadi bagian dari sejarah. Masuk dan keluarnya Timor Timur adalah sejarah. Tapi, bagaimana kemudian pemerintah memperhatikan para pejuang itu, itu lebih penting. Dan jasa pejuang dan pahlawan itu tetap ada. Harus ada yang bertanggungjawab dan jangan tutupmata. Kesadaran manusia juga ada batasnya.

Kekecewaan itu yang membuat ada gejolak?

Kalau itu kembali terjadi, saya tidak tahu. Bagaimana upaya kita mengatasi apa yang bergejolak, seperti di Papua sekarang. Kalau saya lihat, itu seperti yang saya alami di Timor Timur dulu. Gejolak terjadi tidak jauh dari tempat aparat keamanan. Ada orang bakar rumah di dekat kantor Koramil (Komando Rayon Militer) dan Mapolsek (Markas Kepolisian Sektor). Saya bisa tahu hal itu karena seperti itu yang terjadi di Timor selama 23 tahun. Dan pada ujungnya orang-orang ini menjadi korban.

Apakah anda melihat pemerintah ada goodwill atas hal ini?

Yang jelas, selama lima tahun terakhir, kami tidak berdaya. Dan sekarang, hampir tidak bisa bangkit dan melakukan apa-apa. Karena itu, sekarang ini adalah momen kita untuk berbuat sesuatu. Selama ini apa yang dilakukan hanya untuk kepentingan yang tidak ada manfaat bagi kita. SBY yang pernah menjadi komandan batalyon dan bertugas di Timor akan kami tanyai bagaimana nasib kami. Kami akan datang ke Istana, dan demo di sana. Kami mau tanya, status kami selanjutnya bagaimana. Saya sedang burusaha keras dengan cara elegan untuk menyampaikan pada pemerintah yang baru ini. Kita ingin memberi tahukan tentang posisi kami yang sudah 10 tahun di kamp pengungsi, sementara SBY akan dua kali menjadi presiden.

Apakah ada dukungan dari Jakarta?

Dukungan itu ada. Ada yang menginginkan persoalan ini sampai ke Presiden SBY, tapi juga ada yang menginginkan persoalan ini tidak sampai ke Presiden. Tapi tetap saja, kami ingin mencoba memberikan kesadaran itu, Saya coba terjun ke dunia politik pada pemilu lalu, tapi tidak terpilih. Saya tidak menyerah, berjuang untuk aspirasi besar itu tidak cuma dari anggota DPR. Tapi, akan lebih bagus kalau jadi. Di sini ada 24 ribu orang pengungsi, ada 2 kursi di DPR RI. Tapi kami kehilangan momentum ini. Tapi biarkan, seperti yang saya katakan, bagaimana pun aspirasi ini sampai ke telinga presiden. Kebetulan saya Ketua Partai PAN, akhir-akhir ini komunikasi lancar dengan Hatta Radjasa dan Sudi silalahi, juga sama Eddy Baskoro (Ibas, Anak SBY). Saya rasa ini tidak boleh disiasiakan. Kesempatan ini ingin saya sampaikan dengan baik. Presiden harus tahu, karena data dari pemerintah berubah-ubah.

Masih ada kerinduan pulang ke Timtim?

Itu pasti. Tapi kerinduan itu tentu harus dijawab dengan satu jalan terbaik, melibatkan pikiran dari semua komponen, kalau masih ada pintu masih bisa diperbaiki, mengapa tidak. Saya percaya, bagaimanapun harus ada upaya. Saya percaya, terutama harus ada terobosan. Karena itulah, usai pelantikan presiden RI, saya akan minta waktu bertemu dengan SBY. Warga Timor Timur layak untuk diterima. Sudah cukup 10 tahun dibiarkan, ini waktunya bertemu dengan SBY, dan bicara soal itu. Saya khawatir ada peluang ini tapi kita tidak mampu dan peluang itu hilang. Yang terjadi, niat baik ini direspons sebelah mata oleh kawan-kawan sendiri.

Apakah susah menyatukan orang Timor, apalagi setelah Abilio Soares dan Joao Tavares meninggal?

Karakter orang Timor memang tidak bisa bersatu. Kalau bisa bersatu Timor akan jadi besar. Orang Timor hanya akan bersatu, kalau situasi memaksa. Seperti bila ada gejolak seperti saat tahun 1999, antara kelompok Pro Kemerdekaan dan Pro Integrasi. Sebelum Abilio dan Tavares meninggal pun sama. Karakter orang timor itu, kalau tersinggung mudah mengambil keputusan, tapi anehnya juga akan cepat menyesali. Makanya, saya akan berkonsentrasi, dan tanggal 4 september dan akan gunting rambut saya.

**


No comments:

Post a Comment