03 May 2009

Intervensi Pemerintah China Menjadi Catatan LBH Pers

Iman D. Nugroho

Intervensi Pemerintah China dalam kasus radio Era Baru Provinsi Kepulauan Riau, menjadi catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Minggu (3/5) ini di Jakarta. Ikut campurnya Pemerintah China adalah satu-satunya kasus keterlibatan negara asing dalam menghalangi kebebasan pers di Indonesia. "KPI dan Depkominfo harusnya melindungi kedaulatan hukum di Indonesia, tapi justru menuruti keinginan pemerintah China," kata Direktur LBH Pers, Hendrayana.


Kasus radio Era Baru berawal pada tahun 2005 ketika radio yang mengisi frekuensi 106.1 MHz itu mengajukan permohonan ijin penyiaran kepada KPID Kepulauan Riau dan Menteri Komunikasi dan Informasi. Setelah dilakukan verifikasi faktual, administrasi dan dengar pendapat, Radio Era Baru berhasil mendapatkan Sertifikat Rekomendasi Kelayakan dari KPID Kepulauan Riau. Namun, pada Mei 2007, tiba-tiba muncul berita di website KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tentang permintaan Kedubes China agar KPI menutup siaran Radio Erabaru karena menyiarkan propaganda politik yang mendeskreditkan pemerintah China dan menuduh radio Erabaru dibiayai oleh Falun Gong.

Bagai sebuah kebetulan, pada Juni 2007 KPID Kepulauan Riau menilai penggunaan bahasa Mandarin dalam program siaran Radio Era Baru terlalu banyak dan hal itu melanggar peraturan KPI tentang penggunaan bahasa siaran. Puncaknya, pada Desember 2007, KPID menyatakan radio Era Baru tidak lolos seleksi. Didampingi LBH Pers, Radio Era Baru mempersoalkan kasus ini ke pengadilan, dan kalah dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). "Kasus ini terus berlanjut hingga sekarang, kami akan terus mengajukan banding atas intervensi asing dalam kasus ini," kata Hendrayana.

Sementara itu, secara nasional, LBH Pers juga mencatat adanya upaya dari beberapa pihak untuk terus mengontrol pers. Terutama, upaya pemerintah untuk merevisi UU no.40 tahun 1999 tentang pers yang merupakan bukti nyata akan hal itu. Termasuk juga upaya pembentukan UU Rahasia Negara oleh DPR RI. UU Rahasia Negara itu mengatur tentang kategori informasi rahasia. Hal ini bertentangan dengan UU no.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). "Akan terjadi kerancuan hukum di Indonesia," kata Hendrayana. Belum lagi, penetapan rahasia negara yang dilakukan oleh Presiden RI. Hal itu jelas membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.

Kasus terbaru yang juga menjadi catatan adalah kasus yang menimpa Koordinator Koalisi Tolak Kriminalisasi Pers Makassar, Jupriadi Asmaradhana. Mantan wartawan Metro TV ini didakwa di pengadilan atas kasus pencemaran nama baik mantan Kapolda Sulawesi Selatan Irjen Sisno Adiwinoto. Belum selesai kasus itu, Sisno bahkan kembali menggugat Upi dengan kasus perdata dengan gugatan imaterial senilai Rp.10 miliar.

Sementara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam Laporan Kebebasan Pers 2009 mencatat adanya 44 kasus kekerasan yang terjadi pada Mei 2008 hingga Mei 2009. Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak adalah pemukulan (19 kali). Sedang kekerasan verbal yang paling sering terjadi adalah ancaman (9 kali) dan larangan meliput (8 kali) serta perampasan alat (7 kali). Di samping itu, terjadi satu kasus pembunuhan dan penyanderaan. Kekerasan paling sering terjadi di Jakarta (6 kali), Sulawesi Selatan (5 kali) Maluku Utara, Riau (meliputi juga Kepulauan Riau) dan Jawa Timur (masing-masing terjadi 4 kali), Jawa Barat, Sumatera Utara dan Papua serta Irian Jaya Tengah (masing-masing terjadi 3 kali).

Pelaku kekerasan paling banyak adalah polisi (12 kali), pejabat sipil (7 kali), dan tentara (5 kali). Di samping itu terjadi kekerasan oleh massa pendukung calon gubernur dan buruh (masing-masing 3 kali), oleh mahasiswa, pengusaha dan preman (masing-masing 2 kali). Motivasi kekerasan tersebut paling banyak karena pelaku tidak ingin jurnalis meliput suatu peristiwa tertentu (34 kali), pelaku kecewa dengan hasil liputan jurnalis (5 kali) dan ingin jurnalis mengungkap identitas narasumber yang dirahasiakan (2 kali).

No comments:

Post a Comment