02 August 2008

Kegelisahan Demi Kegelisahan

Anita Rachman

TIDAK ada yang tetap, semua berubah. Yang tetap cuma ketetapan perubahan dan perubahan ketetapan. Kalimat-kalimat itu ditulis oleh Tan Malaka dalam bukunya, yang digilai kaum marxis tanah air, Materialisme Dialektika Logika (Madilog). Pria jenius yang kecewa terhadap Islam itu sedang mengulas unsur atom dan partikelnya, tapi sudah barang tentu dia juga menyindir hidup.


Saya percaya apa yang dikatakan Tan Malaka benar. Seperti juga kepercayaan saya akan pergeseran definisi jurnalis menjadi wartawan atau reporter adalah sahih. Definis jurnalis sejatinya bergeser. Kala itu yang disebut jurnalis adalah mereka yang menulis jurnal-jurnal ilmiah, untuk kemudian diterbitkan dalam bahasa dan model yang formal. Seperti Charles Dickens.

Seiring almanak berganti, terutama pada abad ke 19, istilah itu melebar. Jurnalis tak hanya mereka yang menulis jurnal, tapi juga mereka yang mempraktikkan (apa yang kemudian disebut) ilmu jurnalistik. Jurnalis adalah mereka yang mengumpulkan data dan lantas menuliskannya dalam sebuah tulisan. Mereka tak dibatasi tembok dalam bekerja, tak juga diikat dasi atau rok mini saat bertugas, atau diatur untuk menyantap makan siang mulai pukul 12.00 hingga 13.00. Jurnalis adalah mereka yang bebas.

Namun bukan kebebasan absolut yang mereka punya; jurnalis yang tak perlu memakai dasi dan rok mini saat bekerja itu diikat sebuah ikrar berbentuk kode etik: benar, jujur, berimbang, serta beretika. Yang terakhir adalah bukan sembarang kode. Etika datangnya jauh dari kata ethikos milik Yunani yang berarti moralitas, cabang dari ilmu filsafat, yang berkaitan dengan sifat baik, buruk, serta tanggung jawab. Jurnalis, yang boleh makan siang pukul 10.00 atau mandi pukul 13.00, adalah mereka yang diminta beretika.

Seperti Graham Green atau Hemingway, jurnalis yang juga novelis, bebas merokok pukul 11.05, atau buang air besar pukul 13.35, menguap pukul 14.20, dan tetap beretika sepanjang hari. Di suatu tempat bernama Amerika Serikat, segala sesuatunya selalu tampak serba mudah dan murah. Bertolak dengan alam Pertiwi, di mana masih sering kita jumpai lalat berpantat hijau hinggap di sedotan es teh kita, segalanya serba susah dan mahal, tak terkecuali etika. Satu-satunya kekang seorang jurnalis.

Seperti siang itu, ketika saya melihat tali-tali etika dilepaskan oleh satria-satria pena, demi sebuah amplop.

Sungguh, bagai menyaksikan drama, lagi-lagi saya terperangah (walau saya sudah sering menghadapinya) dengan prosesi amplop. Kejadiannya acap kali berlangsung lama namun rapi. Saya dapat membaca alur dan adegan pembukanya, lantas konflik, klimaks, hingga antiklimaksnya. Seperti siang itu, di sebuah instansi milik pemerintah (yang juga berarti kepunyaan rakyat) di mana semua orang memakai setelan berwarna cokelat, dan menunduk-nunduk pada seorang pria yang juga bersetelan cokelat dan memakai plakat nama.

Siang itu, mulanya, kami ngobrol biasa saja. Kami berbincang tentang jumlah ini di propinsi ini, dan dana untuk melakukan itu di daerah itu, lalu tujuan melakukan kegiatan tersebut serta capaian yang dimaksud. Kami mendengar dan mencatat, sesekali menengok ke arah Bapak Bersetelan Cokelat penuh perhatian. Di pulau bagian timur ini, memang hanya dia yang punya data semacam rupa.

Berselang cukup lama, cangkir-cangkir teh lantas disuguhkan, kami diminta dengan hormat untuk menenggaknya. Sampai seorang pria berkumis, juga bersetelan cokelat, lantas berdiri dan mencatat. Mengamati kami para kuli tinta dengan seksama. Di bukunya, dia menuliskan nama dan angka, lalu menerawang menghitung. Ini adalah opening, yang membikin perut mual.

Sepuluh menit kemudian adegan mulai berirama. Guyonan-guyonan kering mengalir dari Bapak Bersetelan Cokelat. Dan para kuli pun tertawa renyah, menertawai guyonan Sang Bapak yang tak lucu. Tentang kesukaannya pada singkong dan kacang-kacang tanah yang direbus. Seorang kawan berkomentar, memuji Sang Bapak yang tetap rendah hati: meski sudah tinggi jabatan, tak hilang pula kesukaan pada makanan tanah. Rising Act.

Bapak Bersetelan Cokelat masih berbicara, saat lima menit kemudian kawan bersandal berpamitan pulang. Ada urusan penting sedang menunggu di luar sana, tuturnya. Bapak lantas melirik Pak Kumis, matanya berkedip. Itu sebuah kode, sebuah perintah: lepas kekangnya.

Ini konflik. Pak Kumis maju ke depan, sedikit berlari mengejar kawan. Amplop panjang berwarna coklat merangsek masuk ke dalam tas kawan bersandal. Sekilas aksi penolakan berlangsung, meski (tentu saja, Tuhan) gagal. Pak Kumis berhasil melepas tali kekang kawan bersandal. Seulas senyum dan anggukan Pak Kumis membuat mata Sang Bapak bersinar.

Kawan bersandal sudah di seberang pintu, tapi telinganya mungkin masih menangkap suara. Derak-derak sepatu Pak Kumis ketika berkeliling ruangan sambil membagi amplop panjang berwarna cokelat. Dia menjatuhkan amplop sambil menutup mata. Mereka yang menerima hanya membuka mulut, lantas mengatupkanya kembali. Terdengar seulas ucapan: terima kasih.

Ini anti klimaks. Ritual tahu sama tahu. Tali-tali kekang sudah terlepas. Mata-mata saling memandang. Saya dan dia yang menolak, dan mereka yang berterima kasih. Mata-mata tetap saling memandang. Semuanya telah bergeser. Dan Tan Malaka tak salah. Semuanya berubah.

Saya tak pernah membaca buku kode etik, mungkin begitu juga dengan kawan bersandal. Tapi tak tahukah kawan bersandal, bahwa kekang tak boleh lepas dari pundak. Karena kekang adalah jelmaan objektivitas. Kekang adalah rakyat dan amanat. Kekang adalah dialog yang utuh.

Ah, terlalu muluk saya berharap, agar kawan bersandal melihat rona merah di pipi saya ketika amplop menjejal masuk ke dalam ranselnya. Adalah mimpi meminta Tan Malaka menulis: ada yang tak pernah berubah dari dunia. Para kuli tinta yang selalu sigap menggendong kekang. Para kuli tinta yang selalu menjaga etika. Adalah mimpi.

No comments:

Post a Comment