08 July 2008

Memunculkan Kepedulian Pada The Forgoten Killer

Iman D. Nugroho

Secara fisik, Nerisa memang tidak berbeda dengan anak-anak seusianya. Gadis berusia sekitar tujuh tahun itu memiliki bagian tubuh yang lengkap. Hanya saja, hampir semua bagian tubuhnya lunglai, bagai tidak bertulang. Mulai leher, tangan, kaki hingga punggungnya. "Leher anak saya seperti leher ayam yang sudah dipotong, tidak bisa tegak," kata Yuni, sang ibu.


Gejala yang dialami Nerisa terjadi saat gadis itu akan masuk sekolah. Saat itu, entah mengapa Nerisa mulai kesakitan dan kejang-kejang. Dokter dari sebuah rumah sakit di Jakarta mengatakan, ada peyakit yang menyerang otak yang kemudian didiagnosa sebagai kanker otak. Karena kanker itulah, pendengaran, pengelihatan dan kemampuan motorik Nerisa mulai berkurang.

Nerisa adalah salah satu anak yang sakit karena bakteri pnemokokus yang menyerang otak. Kisah tentang Nerisa dan tujuh anak lain (enam di antaranya meninggal dunia-RED) yang menderita karena pnemokukus dijadikan salah satu materi sosialisasi Asian Strategic for Pnemococcal Disease Prevention (ASAP) Indonesia.

"Mereka hanya contoh kecil, masih banyak lagi yang lainnya," kata Prof Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Divisi of Infection and Tropical Disease, Universitas Indonesia yang juga ketua ASAP Indonesia.

ASAP adalah kelompok independen di Asia yang fokus pada pencegahan infeksi bakteri pnemokokus. Ada 20 negara yang menjadi anggota kelompok ini. Indonesia adalah salah satunya. Dana yang dirilis World Health Organisation (WHO) dan Unicef menyebutkan setidaknya ada 2 juta kematian setiap tahun oleh bakteri jenis ini. Sekitar 700 ribu hingga 1 juta korban adalah balita. Di Asia Pasifik, dilaporkan ada 98 balita meninggal dunia karena penemonia setiap jam. "Kita punya masalah yang seolah-oleh terpendam, yaitu penyakit yang disebabkan oleh Pnemokokus," kata Sri.

Karena pentingnya persoalan pnemokokus itulah, ASAP hadir. Dr. Lulu Bravo Ketua College of Medicine, Universitas Manila, Philipine yang juga ASAP Filipina mengatakan, awareness pada pnemokokus di Asia Tenggara tenggolong rendah. “Karena itu harus ada upaya bersama-sama untuk membangkitkan kepedualian terhadap hal ini,” kata Lulu Bravo di Surabaya.

MENGENAL PNEMOKOKUS

Dr. Soedjatmiko, Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia menjelaskan, ada 90-an jenis bakteri pnemokokus. Namun hanya 11 jenis yang berbahaya. Biasanya, bakteri jenis ini berada di daerah tenggorokan. “Hebatnya, meski terjangkit bakteri jenis ini, tidak ada keluhan dan tanpa gejala khusus,” kata Soedjatmiko. Justru karena itulah, pnemokokus cepat menyebar. Melalui bicara, bersin atau tertawa terbahak-bahak.

Bila pnemokokus masuk ke anak atau balita, yang kekebalannya rendah, maka bakteri itu akan berjembang jadi peneumoni. Bukan tidak mungkin, anak berkembang dalam darah dan bisa mencapai otak bisa. Anak tersebut akan menderita maningitis atau radang otak. “Juga bis amenjadi pnemoni atau radang paru yang ditandai dengan batuk dan sesak napas,” jelas Soedjatmiko.

Yang paling parah, bila menyebar melalui darah berkembang ke otak, maka akan terjadi radang selaput otak dengan tanda-tanda sakit kepala, muntah, gelisah, sampai koma. Soedjatmiko mencatat, angka kematian karena hal ini mencapai 30 persen. “Di Mataram, angka kematiannya mencapai 45 persen. Kalau toh sembuh, maka anak itu tidak bisa bergerak dan bicara, tidak cerdas,” katanya. Nerisa, adalah salah satu contohnya. Yang harus juga diperhatikan, kata Soedjatmiko, pnemoni adalah pembunuh terbesar bila dibanding AIDS, diare, TBC, malaria atau campak.

Di indonesia, pnemoni memang bukan hal baru. Seja tahun tahun 1976, penyakit yang disebabkan oleh pnemokokus sudah banyak ditemukan. Saat ini, penyakit jenis ini diperkirakan akan semakin meningkat. Lantaran kekebalan pada antibiotik juga meningkat. Data menyebutkan sejak 1990, antibiotik di beberapa negara seperti India, Singapura, Malaysia, China, Taiwan, Hongkong hingga Australia memiliki kekelan antibiotik yang tinggi. Kalau sudah seperti itu, maka pengobatan dengan cara apapun akan melambat.

MELAWAN PNEMOKOKUS

Seperti halnya penyakit yang lain, upaya pencegahan pnemokokus lebih baik dari pada pengobatannya. Hal yang dikatakan Prof. Iqbal Ahmad Memon, dokter Civil Hospital, Karachi, Pakistan. “Bagaimana pun pencegahan lebih bagus dari pengobatan,” kata Iqbal Ahmad Memon di Surabaya. Selain pemberian air susu ibu (IBU) ekslusif, nutrisi dan gizi yang baik dan seimbang bisa memperkecil menguatnya pnemokokus. Lantaran kekebalan bayi secara alamiah bisa meningkat.

Juga, membersihkan lingkungan dari berbagai polusi. Terutama polisi asap kendaraan dan asap rokok. Dua hal terakhir itu bisa mempercepat terjadinya invensi saluran pernapasan atas yang membuat pnemokokus cepat berkembang. Kebiasaan menitipkan bayi di tempat penitipan anak, pun bisa berbahaya. Di kota seperti Jakarta, setidaknya bayi yang dititipkan selama 8 jam/hari. Yang tidak kalah penting adalah prilaku sehat. Semisal membiasakan memakai masker saat batuk, hingga tidak mencium bayi mouth to mouth.

“Pencegahan terakhir dengan memberikan vaksin,” kata Iqbal. Vaksin, katanya, bisa sedikit demi sedikit menghilangkan penyakit, karena penyakit tidak diberi kesempatan untuk berkembang dalam tubuh yang sudah imun dengan penyakit tertentu karena vaksin. Vaksin cacar dan vaksin Folio misalnya, adalah contohnya.

Di AS, vaksinasi pnemokokus rutin diberikan. Hasilnya luar biasa. Jumlah penderita pnemokokus pada anak usia 1-3 tahun, menurun drastis. Di negara Paman Sam itu, vaksi pnemokokus dimasukkan dalam imuniasi wajib pada balita. Sementara di Indonesia, tidak seperti itu. Program nasional imunisasi hanya memasukkan tujuh jenis imunisasi wajib. Polio, Hepatitis, Campak, Difteri, Pertusis, Tetanus dan BCG.

Itupun masih berhadapan dengan penolakan di beberapa kawasan. Beberapa pemimpin agama di Madura misalnya, masih menolak imunisasi karena proses pembuatannya dari babi dan pangkreas kera. Bagi muslim, hal itu tergolong haram. Di luar hal itu, persoalan besarnya biaya menjadi salah satu alasan.

Di Indonesia, untuk vaksi pnemokokus lengkap dibutuhkan setidaknya Rp.600 ribu. Bisa dibayangkan, untuk 22,8 juta anak di Indonesia, setidaknya pemerintah perlu setidaknya Rp.1 T lebih. “Karena itu, perlu hitungan secara cermat bila pemerintah anak memasukkan pnemokokus sebagai program imunisasi nasional,” kata Prof Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Divisi of Infection and Tropical Disease, Universitas Indonesia yang juga ketua ASAP Indonesia.

Namun, Prof. Sri lebih menekankan, persoalan biaya setidaknya tidak dilihat menjadi salah satu masalah. Yang lebih penting adalah kepedulian. Perlu dilihat, apakah vaksin ada dan aman untuk digunakan pada bayi di Indonesia atau tidak. “Kalau harga yang dipikirkan lebih dahulu, maka program itu akan berhenti di tengah jalan,” katanya. Harus dilihat data dan evek pada anak-anak. Lalu dilihat apakah faksin ada, aman dan mungkin tidak.

Satu-satunya vaksin yang digunakan untuk pnemokokus adalah Pnemococcal Sccharide Conjugated Vaccine atau PCV-7. Vaksin ini adalah vaksin yang aman digunakan pada bayi dan anak-anak. Selama ini ada 17 negara, termasuk Inggris Raya, AS, Australia dan Prancis yang menggunakan PCV-7. Akankah Indonesia memasukan PCV-7 dalam salah satu program imuniasi nasional? “Kita masih berusaha untuk itu,” kata Prof. Sri.



No comments:

Post a Comment