14 January 2008

Menunggu Brantas Mengganas

Meluapnya Sungai Bengawan Solo yang menciptakan banjir di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta menelan korban jiwa, agaknya tidak akan menjadi bencana terakhir. Bencana selanjutnya akan berawal dari Sungai Brantas. Kondisi di sepanjang Sungai Brantas yang kurang lebih sama dengan Sungai Bengawan Solo, membuat bencana banjir tinggal menunggu waktu saja.

"Kondisi dari hulu hingga hilir Sungai Brantas membuat bencana tinggal tunggu waktu saja," kara Ridho Syaiful Ashadi, Direktur Walhi Jawa Timur, Senin (14/1) ini. Perkiraan itu berasal dari kondisi yang sekarang terjadi di lereng Gunung Welirang, Gunung Arjuno dan Gunung Wilis yang merupakan pemasok air di Sungai Brantas. "Penebangan hutan baik yang legal maupun ilegal terjadi di sana, diperkirakan akan menjadi awal dari meluapnya air di Sungai Brantas," kata Ridho.

Sungai Brantas adalah sungai terbesar kedua di Jawa yang bersumber di Malang, Jawa Timur. Tepatnya di lereng Gunung Kawi, Gunung Kelud dan Gunung Butak. Di sisi Utara, sungai ini melalui sungai Liman, Gunung Welirang dan Gunung Anjasmoro. Sumber air yang mengalir di sungai itu berasal dari pegunungan yang bersebar di seluruh Jawa Timur. Di Kabupaten Mojokerto, sungai ini memiliki dua cabang. Ke arah Pasuruan dan arah Surabaya. Bila sungai ini meluap, kemungkinan ada 11 ribu m2 daerah yang akan terendam.

Karenanya, perlu dilakukan beberapa persiapan jangka pendek dan jangka panjang untuk "menyambut" datangnya bencana itu. Dalam jangka pendek, perlu adanya kesiapan atas kondisi tanggap darurat atau disaster management di beberapa kawasan yang kemungkinan akan terkena dampak bencana. Agar ketika bencana itu benar-benar datang, maka masyarakat tidak perlu lagi menghadapinya dengan apa adanya.

Selain itu, perlu disiapkan jejaring sosial dari berbagai kemungkinan yang akan terjadi. "Misalnya, diperkirakan bencana akan merendam sekian desa, maka untuk desa yang tidak terkena harus disiapkan lokasi pengungsian, mensosialisasikan kepada warga di desa yang selamat untuk mempersiapkan bantuan yang bisa dilakukan," kata Ridho. Dan yang tidak kalah penting, mempersiapkan rehabilitasi pasca bencana terjadi.

Dalam jangka panjang, perlu adanya perubahan paradigma negara (state) yang selama ini hanya dimaknai sebagai pemerintah saja. Tanpa melibatkan masyarakat. Karenanya, saat bencana terjadi, masyarakat, termasuk yang tidak terkena bencana, tidak memiliki tanggungjawab untuk ikut membantu. "Sekaligus, sekarang saatnya untuk melakukan moratorium logging (penghentian sementara penebangan)

BENCANA MENINGKAT

Data yang dikeluarkan Walhi Jatim memetakan Indonesia sebagai negeri yang rawan dan rentan terhadap bencana. Baik yang berasal dari alam maupun yang terjadi akibat perbuatan manusia. Dalam kurun waktu lima tahun, dari tahun 1998-2004 terjadi 1150 kali bencana, dengan korban jiwa 9900 orang serta kerugian. Kerugian yang dibebabkan oleh bencana itu mencapai titik Rp.5,9 triliyun. Tiga bencana utama adalah banjir sejumlah 402 kali dengan korban 1144 jiwa dan kerugian Rp. 647 miliar. Setelah itu kebakaran 193 kali dengan 44 korban jiwa dan kerugian Rp.137,25 miliar. "Yang terakhir adalah tanah longsor yang terjadi 294 kali, dengan korban jiwa 747 orang serta kerugian Rp.21,44 miliar," kata Ridho.

Khusus untuk bencana banjir, Walhi Jatim mencatat Jawa Timur sebagai "juara" pertama dengan juara 4110 desa yang terendam banjir. Jawa Barat menempati juara ketiga, disusul Jawa Tengah. Walhi Jatim menyebut, banyaknya banjir di Jawa Timur terjadi karena pemerintah Propinsi Jawa Timur salah mengurus alam. Ujungnya, terjadi akumulasi krisis ekologis dan rusaknya pranata kehidupan masyarakat. Ironisnya, ketika bencana sudah terjadi pun, pemerintah tetap tidak mampu mengatasinya.

Banjir di Bojonegoro adalah contoh terbaik. Dalam sejarahnya, banjir besar di Bojonegoro pernah terjadi tahun Tahun 1977, 1983, 1993 dan 2007. Trend yang terjadi, hampir setiap tahun tinggi genangan selalu bertambah. "Mulai 20 cm hingga 4 meter sampai kemudian merendam rumah," kata Ridho. Ironisnya, ketika banjir terjadi, penanganannya pun serampangan. Misalnya saja perahu karet yang disediakan, tapi tidak digunakan. Juga lokasi pengungsian yang tidak aman. Hasilnya, penyebaran bantuan pun tidak merata.

"Dan yang tidak pas lagi adalah rencana membuat sudetan sungai Bengawan Solo di wilayah Bojonegoro, ada 598 rumah yang akan terkena dampak atau hilang, namun itu tidak menyelesaikan masalah," Ridho. Akan lebih baik, bila pemerintah sekali lagi melaksanakan penanganan jangka pendek dan jangka panjang yang lebih signifikan.

Keterangan Foto:
Banjir di Bojonegoro



No comments:

Post a Comment