28 May 2007

Liputan Satu Tahun Lumpur Lapindo



Sejak Juni 2006, upaya penanganan semburan lumpur yang semakin hari semakin membawa dampak merusak mulai dilakukan. Manajemen penanganan lumpur yang difokuskan pada penanggulan, berhadapan dengan berbagai kendala. Mulai meningkatnya volume semburan yang turun naik, gejolak sosial, rusaknya prasarana transportasi hingga hancurnya ekosistem. Setahun ini, tetap tidak ada kepastian keberhasilan penanganan.


Jauh-jauh hari, signal warning diberikan intelektual Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Indrasurya B. Mochtar. Ahli teknik sipil asal Surabaya ini mendefinisikan ada lima kendala utama penanganan lumpur. Ketidakpastian berhentinya semburan lumpur, sifat lumpur yang unik dan menyulitkan, kondisi tanah dasar asli yang lunak, waktu yang terus berjalan dan kendala sosial masyarakat.

Kelimanya, mau tidak mau harus dihadapi oleh semua pihak, terutama Pemerintah RI yang juga merupakan pihak yang paling bertanggungjawab terhadap tragedi semburan Lumpur Panas Lapindo Brantas Inc ini. "Yang paling utama adalah debit semburan lumpur yang hingga kini belum ada tanda-tanda akan mereda," kata Indrasurya. Hal itu diperkuat dengan pendapat ahli geologi yang pesimis semburan lumpur tidak bisa dihentikan. Bahkan kemungkinan bisa puluhan tahun lamanya.

Karena itulah, Indrasurya menilai berbagai langkah berbau "modifikasi" yang pernah dilakukan lembaga penanggulangan lumpur seperti Tim Nasional (Timnas) Penanggulangan Lumpur seperti pengeboran miring atau Relief Well tidak memiliki kepastian sukses. Termasuk ketika lembaga penanggulangan lumpur itu coba menundukkan lumpur dengan cara pembuatan pond dan penanggulan di berbagai tempat.

PENANGGULAN YANG SIA-SIA

"Tidak mungkin terus menerus menambah tinggi tanggul dari “waduk penampungan lumpur” yang sudah ada, Semakin tinggi tanggul, makin bahaya kalau ambrol," katanya. Menambah tinggi tanggul berarti menambah dimensi lebar tanggul dan upaya mempertahankan stabilitas tanggul menjadi lebih rumit. Volume pekerjaan tanggul juga meningkat jauh lebih besar. Bila tinggi tanggul meningkat dua kali, bisa diartikan volume lumpur meningkat minimal empat kali.

Tanah dasar asli di daerah tempat semburan lumpur Lapindo Brantas Inc terjadi, memiliki jenis tanah yang lunak. Mutlak perlu ada upaya perbaikan tanah dasar terlebih dahulu, bila ada keinginan untuk meninggikan tanggul. Namun, perbaikan tanah tidak mungkin dilaksanakan di lapangan. Faktor terpenting, adalah perbuhan kondisi landscape di Porong, terutama di sekitar semburan.

Dalam pengamatan The Jakarta Post, penambahan tinggi tanggul penahan lumpur adalah pekerjaan rutin tim penanggulangan lumpur. Data terakhir ITS menyebutkan, tinggi tanggul cincin atau tanggul utama di main hole semburan lumpur sudah mencapai ketinggian 22 meter. Geologis ITS, Amien Widodo mengungkapkan, penanggulan yang dilakukan adalah sebuah kesia-siaan. Karena tinggi tanggul yang diukur dari ketinggian pertama, akan terus mengalami penurunan, karena proses penurunan permukaan tanah terus terjadi. Terutama di daerah yang ditanggul.

Salah satu bukti yang bisa dilihat secara kasat mata adalah tidak berubahnya posisi atap pabrik yang menyembul di permukaan lumpur pond Desa Siring. "Setiap hari, tanggul terus ditambah ketinggiannya, dan lumpur terus bertambah tinggi, logikanya, pabrik-pabrik itu akan ikut terendam, namun hal itu tidak terjadi. Atap pabrik tetap menyembul di atas lumpur, artinya, tanah dasar tanggul yang mengalami penurunan ketinggian," kata Amien pada The Jakarta Post. Tidak heran bila hampir setiap hari terjadi over toping atau luberan lumpur melalui titik tertinggi tanggul.

Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang berakhir Pebruari lalu dan digantikan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, agaknya tidak "melihat" kondisi obyektif ini. Mereka tetap saja menjadikan penanggulan sebagai andalan utama manajemen pengendalian. "Manajemen pengandalian lumpur adalah pekerjaan yang menyusahkan, tidak ada pilihan lain selain mengalirkan ke pond (penampungan) dan mengarahkannya dengan tanggul," kata juru bicara BPLS, Zulkarnaen. Meski Zulkarnaen mengakui, itu hanya solusi sementara.

KALI PORONG MENJADI PILIHAN

Dalam waktu beberapa saat, lumpur memang seakan-akan dijinakkan. Karena sifat lumpur yang didoinasi oleh aprtikel tanah lempung berukuran satu 1 micron, membuatnya mampu mengalir seperti air. Lebih mirip sifat fisik cat yang memiliki kekentalan yang lebih tinggi. Plus kemampuan melekatnya pada permukaan apa saja.

Kecepatan aliran lumpur pun tidak stabil. Pada saat mengalir, lumpur membuat “angle of repose”. Kemiringan permukaan menjadi satu-satunya jalur yang dilewati. Karena itulah, lumpur tidak mudah dialirkan melewati suatu saluran terbuka. Pilihan satu-satunya adalah "menunggu" proses pengendapan lumpur di pond. Dalam proses alami itu, hanya 15 persen air yang dapat dipisahkan dalam proses pengendapan.

Ada berbagai solutif untuk itu. Jauh-jauh hari, Amien Widodo sudah mengusulkan adanya penanggulan permanen di sekitar tanggul utama, setelah mensterilkan kawasan di sekitar pusat semburan dengan diameter 2-3 KM. Dengan main set memandang semburan lumpur sebagai fenomena yang tidak akan berhenti kacuali volume lumpur di dalam tanah habis tersembur, maka akan terjadi penurunan permukaan tanah dengan tidak teratur. "Harus ada upaya menyelamatkan penduduk di sekitar semburan, dijadikan daerah berbahaya," kata Amien.

Tanggul permanen yang akan dibuat itu, dipadukan dengan pembangunan kanal berukuran raksasa, dari pusat semburan menuju ke laut Selat Madura. Tanggul itu berada di samping Kali Porong. "Lumpur yang secara kontinyu keluar, secara otomatis akan terdorong ke arah Selat Madura melalui kanal yang sudah disiapkan," katanya. Lumpur yang sampai ke laut akan bercampur dengan alami ke alam.

Usulan Amien Widodo memiliki konsekuensi biaya yang sangat tinggi. Karena pemerintah mau tidak mau harus membebaskan tanah yang akan digunakan untuk tanggul permanen dan kanal yang langsung menuju ke laut. Namun, di luar persoalan biaya, usulan inilah yang kemungkinan bisa dilakukan sebagai langkah final.

Agaknya, BPLS lebih memilih untuk melanjutkan langkah Timnas Penanggulangan Lumpur. Yaitu memilih untuk mengalirkan lumpur ke Kali Porong. Melawati pond Desa Jatirejo dan Desa Mindi. Daya dorong yang digunakan adalah pompa berukuran besar yang dipasang di spilway di samping kali porong. "Kami tidak ada pilihan lain," katanya juru bicara BPLS Zulkarnaen. BPLS menyadari langkah itu membuat pihaknya memiliki beban kerja yang tidak pernah tuntas.

Memompa lumpur memang bukan pekerjaan mudah. Secara sederhana, proses itu dilakukan dengan mencampur kembali lumpur yang sudah mengendap dengan air. Selain agar lebih cair, juga menurunkan derajat panas yang berkisar hingga 50 derajat celcius. Bila suhu sudah normal, pompa secara otomatis akan bekerja mengalirkan air ke Kali Porong.

Sialnya, kondisi itu tidak bisa terus menerus terjadi. Suhu lumpur tidak dengan mudah "dijinakan" dengan pencampuran. Dalam beberapa menit, suhu lumpur akan kembali meningkat dan membuat pompa air berhenti bekerja. Apalagi, karakter lumpur yang mudah menempel ke permukaan pipa, membuat aliran lumpur melambat. Belum lagi, lumpur yang memiliki kadar sulfat yang tinggi membuatnya cepat merusak pipa dengan kemampuan korosifnya. Perang terbuka manajemen lumpur terus berlangsung.

Sudah Kering Airmata Para Pengungsi,..

Keceriaan tidak pernah beranjak dari wajah Pi'iyah, 45 tahun. Perempuan asal Dusun Sengon, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo itu selalu tersenyum. Menyapa siapa saja yang melintas di depan kios kakilimanya di Pasar Baru Porong. "Dari pada sedih terus menunggu kabar yang tidak jelas, saya memilih untuk bertahan hidup dengan menjual rujak, seperti yang saya lakukan sebelum lumpur merendam rumah saya," kata Pi'iyah.

Pi'iyah adalah salah satu dari 8000-an pengungsi yang terpaksa tinggal di bilik-bilik Pasar Baru Porong. Kawasan tempat tinggal mereka tidak bisa lagi ditempati. Lumpur Lapindo Brantas merendam semuanya. Rumah, pekarangan, sawah, sekolah, tempat peribadahan hingga perkantoran. Termasuk warung rujak, tempat Pi'iyah biasa berjualan untuk membantu keuangan keluarganya. "Tidak bisa lagi saya melihat bekas tempat saya itu," katanya.

Pi'iyah mengaku, ketika lumpur Lapindo mulai menyembur setahun lalu, dirinya tidak pernah membayangkan hal itu akan bisa merenggut rumah, pekarangan dan sawahnya. Apalagi, sejak awal dirinya bersama penduduk Renokenongo percaya pada pemerintah yang selalu meyakinkan masyarakat tentang kemampuan menyumbat lumpur.Namun keyakinan itu porak poranda ketika terjadi ledakan pipa gas Pertamina pada 22 Nopember lalu.

Lumpur yang awalnya tidak mampu menjangkau pemukiman Pi'iyah, mulai mendekat. Jalan desa yang kering pun mulai basah oleh cairan berwarna hitam keabu-abuan itu. Di Desa Renokenongo, lumpur merendam 1007 bangunan. Hingga saat ini sudah 10 ribu bangunan di empat kawasan, Siring, Jatirejo, Renokenongo, KEdungbendo dan Ketapang. "Kami memutuskan untuk mengungsi, dan diarahkan dengan kepala dusun untuk ke Pasar Porong," kenang ibu satu anak dan satu cucu ini. Empat bulan lalu, Pi'iyah mulai mendiami salah satu kios di Pasar Porong itu.

Berada di pengungsian lumpur bagaiman memandang putaran waktu yang tak pernah berakhir. Tidak adanya kepastian ganti rugi dan hilangnya mata pencaharian menjadi beban yang tak kunjung usai. Sementara kehidupan harus tetap berjalan. "Saya dan keluarga butuh terus hidup dengan pekerjaan, karena tidak ada pekerjaan, saya memutuskan untuk membuka warung rujak di sini (pengungsian)," katanya.

Dengan modal Rp.200 ribu, mulailah Pi'iyah membeli bahan-bahan membuat rujak. Peralatan lama yang berhasil di selamatkan dari amukan lumpur, kembali dipakai. Termasuk meja, kompor dan alat penggorengan. Pelan-pelan, sebuah kios rujak sederhana pun berdiri di ujung bangsal pengungsian. Selain rujak dengan buah-buahan segar, di tempat itu Pi'iyah juga menjual makanan ringan, kue tradisonal dan minuman sebagai pelepas dahaga.

Berjualan di tempat pengungsian pun sangat berbeda dibandingkan dengan berjualan di tempat "normal". Di tempat di mana mayoritas penghuninya tidak memiliki pekerjaan dan pendapatan, Pi'iyah membuka kesempatan kepada pengungsi untuk menghutang. Biasanya, saat akhir bulan atau ketika pengungsi sudah punya uang untuk membayar, barulah Pi'iyah mendapatkan haknya. "Hutang menghutang di sini sudah biasa, sama-sama orang susah," katanya.

Tukani, 54, adalah salah satu pengungsi yang sering membeli rujak di Pi'iyah. Dengan berhutang tentunya. Perempuan tiga anak ini menggantungkan hidup sepenuhnya dari uang ganti rugi yang hingga saat ini masih sebatas janji manis Pemerintah dan Lapindo Brantas Inc. "Saya seorang janda dengan tiga anak, semuanya menganggur, saya tidak tahu lagi bagaimana kehidupan saya nanti," katanya.

Tiga anaknya, Somad, 15, Anik Kurniawati, 10 dan Moch. Solehuddin, 6 tinggal satu bilik dengannya. Hanya Somad yang memiliki pekerjaan serabutan, itupun tidak setiap hari menghasilkan uang. "Anak saya yang paling kecil, Soleh, selalu rewel. Saya terpaksa harus menghutang untuk kebutuhan makan sehari-hari," kata perempuan yang sudah tiga tahun menjanda karena ditinggal mati suaminya, Alm. Moch. Awi ini.

Tukani mengaku, meski sangat sedih, dirinya terus berusaha untuk hidup dengan bekerja. Modal yang entah kapan didapatkannya dari uang ganti rugi atas rumah dan sawahnya akan digunakan untuk membuka warung Kupang (makanan khas Sidoarjo berbahan baku kerang kecil). "Saya tidak akan menyerah, saya akan bekerja menjadi penjual Kupang, semoga saja ganti ruginya cepat dibayar," harapnya.

No comments:

Post a Comment