21 April 2007

Tendangan Dan Pukulan Itu Membunuh Bayi Di Kandungan Maryati

Perlahan, Maryati (bukan nama sebenarnya) duduk di kursi kayu teras belakang Pusat Kebudayaan Prancis, Surabaya. Tubuhnya sedikit membungkuk. Kepala yang selalu tertunduk, membuat tudung jilbab merah yang dikenakannya memayungi wajah. Seakan ingin bersembunyi dari berbagai persoalan yang sampai sekarang belum juga bisa dilupakannya. "Semua berawal dari perkenalan Saya dan suami dengan salah satu tetangga perempuan yang akhirnya merebut suami saya," kata perempuan 36 tahun itu mengawali pembicaraan, Jumat (20/04) malam.

Duka yang mendera Maryati berawal dari keputusan keluarganya untuk pindah di rumah kontrakan kawasan Surabaya Selatan pada tahun 1996-an. Ketika itu, suaminya mendapatkan pekerjaan sebagai pekerja kasar di sebuah gedung bertingkat di Jl. A.Yani Surabaya. "Rumah kontrakan kami yang baru lebih dekat dengan gedung tempat suami saya bekerja," kenang ibu dua anak ini.

Layaknya sebuah keluarga yang tinggal di rumah baru, keluarga Maryati pun membangun hubungan baik dengan tetangganya. Termasuk dengan Nana (bukan nama sebenarnya), ibu beranak satu, salah satu tetangga dekatnya. Meski pun baru berkenalan, namun kedekatan Keluarga Maryati dengan Nana lebih akrab dibanding dengan tetangga lain. Tidak jarang Nana mengirim lauk pauk untuk keluarga Maryati. Begitu juga sebaliknya.

Namun kedekatan itu menyimpan bara. Diam-diam Nana menaruh hati kepada suami Maryati. "Ketika saya tidak ada di rumah, Nana tetap sering main ke rumah kontrakan, bahkan meminta suami saya untuk mengantarnya jalan-jalan, hingga tetangga lain menggunjingkan hal itu," katanya. Maryati yang coba menyarankan sang suami untuk tidak terlalu dekat dengan Nana, malah berbuah pertengkaran. Maryati pun memilih diam. Setiap dirinya melihat Nana berkunjung, hati Maryati seakan teriris.

KEMATIAN BAYI


Perubahan prilaku mulai terlihat. Sang suami sering uring-uringan. Setiap Maryati meminta uang bulanan yang biasa didapatkannya pada akhir bulan, hanya berbuah pukulan. "Saya ingat pertama kali suami Saya memukul karena saya meminta uang belanja," katanya. Lama-kelamaan, pukulan pun semakin sering mendarat di tubuh perempuan asli Surabaya ini. Sampai tubuh kurusnya tak kuat menahan sakit dan pingsan. "Tahu saya pingsan, suami Saya malah menyiram dengan air," katanya.

Tak hanya menyiksa secara lahir, suami Maryati juga kerap memperkosanya. "Saya hanya pasrah saja ketika suami Saya meminta hubungan badan, Saya nurut saja, takut dosa," katanya. Perbuatan sang suami membuat Maryati berbadan dua. Ironis, meski hamil, Maryati masih harus menerima pukulan dan tendangan dari sang suami. Perut yang bertambah besar ketika usia kandungan masuk ke bulan ke-7 pun tidak menghentikan tindakan kekerasan itu.

Hingga akhirnya dokter kandungan meminta Maryati untuk meng-USG kandunganya. "Saat USG itulah saya tahu, anak usia tujuh bulan di kandungan saya meninggal dunia di kandungan," katanya. Kepalanya tertunduk. Matanya berkaca-kaca. Air mata yang akan mengalir tertahan. Maryati pun menjalani operasi di RS.Dr.Soetomo Surabaya. "Ketika operasi berlangsung pun, suami Saya tidak ada di samping saya, katanya ada tugas luar kota," kata Maryati. Seminggu penuh Maryati obname di rumah sakit terbesar di Indonesia Barat itu.

Keguguran, tidak membuat sang suami iba. Pukulan, tendangan dan cacian bagai makanan sehari-hari. Plus perkosaan yang dilakukan sang suami hampir setiap malam. Hingga Maryati pun kembali dinyatakan hamil anak ketiganya. Perempuan yang sempat dilarang menikah oleh kedua orang tuanya ini pun bertekad untuk menyelamatkan anak ketiganya dari kebrutalan sang suami. Sedapat mungkin, ia melindungi perutnya, ketika laki-laki yang dicintainya mulai melanyangkan tangan dan kaki.

Perjuangan itu tidak sia-sia. Pada pertengahan tahun 1997, anak ke-2 Maryati pun lahir dengan selamat. Sayang, kebahagiaan itu hanya berlangsung sesaat. "Pada pertengahan tahun 1998, ketika saya dan kedua anak saya sedang mengunjungi orang tua di Surabaya, suami Saya meninggalkan rumah secara diam-diam. Dia pergi dengan Nana. Seluruh barang-barang berharga seperti tv, radio dan perhiasan dibawa serta," kenangnya. Yang tersisa hanya lemari pakaian dan luka menganga di hati Maryati.

Hidup sendiri tidak membuat Maryati lunglai. Nasib kedua anaknya bagai bahan bakar yang selalu membuatnya tetap kuat menghadapi persoalan. Dukungan dari tetangga dan NGO Savy Amira menyadarkannya. Mulailah Maryati bekerja serabutan untuk menghidupi kedua anaknya. "Saya pernah menjadi buruh di perusahaan percetakan, namun akhirnya di-PHK, sekarang hanya menjadi buruh cuci baju," katanya.

RANTAI KEKERASAN


Dalam diskusi bertajuk Meretas Rantai Kekerasan di Pusat Kebudayaan Prancis CCCL Surabaya Psikolog yang juga staf ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Pinky Saptandari mengatakan, kekerasan yang terjadi di masyarakat diawali oleh persepsi yang keliru memandang perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap sebagai mahkluk yang sosok yang cantik, lemah serta wajib menjaga kehormatan. Sementara laki-laki di persepsi sebagai sosok yang gagah dan pemberani. "Kadang, kegagahan itu termanifestasi dengan pelanggaran kehormatan perempuan," katanya.

Dalam kehidupan sosial, persepsi itu lebih salah kaprah. Laki-laki dianggap lebih berhak mengenyam pendidikan, bekerja di jabatan yang lebih tinggi dan sebagainya. Perempuan dianggap baik bila bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, mengasuh anak dan menurut saja pada suami. "Kondisi ini menjadikan perempuan rentan pelanggaran HAM, ironisnya, pelanggaran terbanyak justru terjadi di dalam rumah," jelasnya.

Ketika semua itu terjadi, ada "tembok penghalang" yang membuat kasus kekerasan itu tidak terselesaikan. Masyarakat menganggap, bila ada kekerasan dalam rumah tangga, yang salah selalu pihak perempuan. Belum lagi hukum adat yang mengatakan problem rumah tangga tidak layak untuk diungkapkan di luar rumah. "Akhirnya perempuan hanya bisa menerima apapun yang menimpanya, ini harus diubah!" katanya.

Dalam catatan Pinky, daerah yang masuk dalam kategori parah dalam hal pelanggaran hak perempuan berada di daerah-daerah minus. Seperti Papua, NTT, Ambon dan Poso. Hal itu dipicu oleh rendahnya tingkat pendidikan, konflik sosial yang terus mendera daerah itu serta budaya masyarakat yang diselewengkan. Juga budaya minum-minuman keras yang paling sering menjadi pemicu.

Sayangnya, Pinky melihat tidak ada upaya yang sistematis dari pemerintah untuk memotong rantai kekerasan ini. Kementerian Pemberdayaan Perempuan misalnya, tidak memiliki perangkat teknis untuk mengeksekusi program-programnya. Perlu ada dukungan dari kementerian lain untuk itu. "Namun kementerian lain juga sibuk membangun imagenya sendiri-sendiri, dengan program mereka sendiri, inilah yang membuat program pemberdayaan perempuan tidak bisa berjalan normal," katanya.

*graphic by www.sru.edu

No comments:

Post a Comment