22 February 2007

Pilot dan pramugari Adam Air harus diperiksa ulang!

Tragedi patahnya tubuh pesawat Adam Air bernomor penerbangan KI 172 di Surabaya, Rabu(22/02) berbuntut panjang. Selain adanya dugaan pengkaburan barang bukti yang dilakukan pihak Adam Air dengan mengecat bangkai pesawat, juga ada usulan untuk menginvestigasi pilot dan pramugari yang ketika bertugas. Hal itu terkait dengan pemeriksaan barang bukti yang akan dilakukan Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). 

Dalam pengamatan The Jakarta Post, bangkai Adam Air yang saat ini terparkir di depan hanggar Merpati sudah dicat total dengan warna putih. Mulai kepala hingga ekor pesawat, seluruhnya berwarna putih tanpa ada identitas Adam Air sedikitnya. Di bagian retakan yang terletak di samping jendela ke 20 pesawat, ditutupi terpal warna orange. Distrik Manager Adam Air Surabaya, Natalie Budihardjo menolak berkomentar atas pengecatan itu. Kepala Airport Duty Manager (ADM) Bandara Udara Juanda Imam Zoelvan gerah dengan hal itu. Menurut Imam, seharusnya pihak Adam Air menghormati mekanisme penyelidikan yang dilakukan KNKT. "Seharusnya mekanisme itu dihormati," katanya singkat. Meski begitu, pihak ADM tidak bisa mengberikan sanksi, karena pemberian sanksi itu adalah wilayah KNKT. Direktur Keselamatan Penerbangan Adam Air, Kapten Hartono mengatakan, hal terbaik yang bisa dilakukan Adam Air adalah menginvestigasi pilot Kapten Dhita Murtadi dan co-pilot Andrie Arifin dan empat pramugari yang ketika itu bertugas. Proses investigasi itu dilakukan untuk mengetahui kejelasan status pesawat Adam Air hingga mengalami patas di bagian tubuh pesawat. "Pilot memang perlu diinvestigasi oleh KNKT, agar ada kepastian kondisi," kata Hartono pada The Jakarta POst dan Kompas, Kamis (22/02) ini. Hasil investigasi itulah yang kemudian dijadikan dasar untuk melakukan penilaian baik fisik maupun psikologi yang dilakukan dengan complete medical check up. Setelah itu, kapten pesawat harus menjalani latihan dengan simulator yang dibuat seoalah-olah seperti kondisi saat Adam Air landing Rabu ini. "Mereka akan diposisikan seperti keadaan waktu kejadian, dan diharapkan bisa belajar dalam situasi itu," jelas Hartono. Proses itu akan terus dilakukan hingga pilot merasa confident untuk kembali terbang. Bila proses recovery sudah dilakukan, maka pilot sudah bisa kembali bertugas. Meski demikian, pilot masih harus didampingi oleh instruktur terbang. Instruktur inilah yang menilai progres pilot yang bersangkutan. "Sampai pada suatu kondisi kapten pilot bisa terbang kembali dengan normal," katanya. Hal yang sama juga dilakukan pada keempat pramugari. Hanya saja, step-step yang dilakukan jauh lebih ringan. "Karena ada laporan pramugari lelet (lambat-red)," katanya. Lebih jauh Hartono menjelaskan, secara teknis, sebenarnya tingkat keselamatan pesawat terbang sudah menjalani standart operation procedure (SOP) yang ditetapkan di Indonesia. Sebelum berangkat misalnya, Adam Air jenis 737 300 itu sudah menjalani pre flight check terlebih dahulu. "Kondisi pesawat sudah memenuhi minimum equipment list (MEL) yang ditetapkan," jelasnya. Sepanjang penerbangan pun, pilot terus memantau kondisi pesawat dan cuaca di sekitarnya, dan melaporkannya kepada petugas yang ada di bandara yang terjangkau sistem komunikasi. "Dari informasi yang saya dapatkan, ketika akan mendarat di Bandara Juanda, kondisi landasan masih dalam bellow minimum," jelasnya. Artinya, awan yang menggelantung di atas runway 10 berada di bawah ketinggian 800 meter atau 211 feet, syarat aman untuk landing. Namun, ketika ketinggian sekitar 50-100 feet, tiba-tiba ada down draft atau dorongan angin dari atas menuju ke bawah. Secara normal, hal itu bisa diatasi dengan menambah dorongan mesin pesawat. Namun hal itu tidak bisa dilakukan karena kondisi terlalu dekat dengan daratan. "Pendaratan dilakukan, dan ada benturan keras di roda dan mesin pesawat," katanya. Benturan itu yang membuat chasis rangka pesawat melengkung ke bawah. Kasus melengkungnya chasis itu bukan kejadian pertama. Hal serupa juga pernah terjadi di Bandara Kemayoran, Jakarta, Bandara Syamsuddin Noer, Banjarmasin dan Bandara Ngurah Ray Denpasar, Bali. Sementara menyangkut pramugari yang ketika itu terkesan tidak tegas, bingung dan tidak segera membuka pintu darurat, menurut Hartono, hal itu tidak terjadi tanpa alasan. Dalam pesawat jenis Boeing 737 300, ada dua pintu utama di bagian depan dan belakang, serta dua pintu darurat di bangian tengah pesawat di atas sayap. Untuk dua pintu utama, sebelum dibuka dalam keadaan apapun, harus atas seijin pilot. Sementara dua pintu darurat bisa dibuka oleh penumpang yang duduk tepat di samping pintu darurat itu. Itu pun pun harus seijin dari pilot. "Ada kemungkinan ketika itu pramugari belum mendapatkan ijin dari pilot, ijin dari pilot itu mutlak karena terkait dengan tekanan udara di dalam dan di luar pesawat, bila tekanan tidak sama, bisa jadi siapapun yang membuka akan terluka," katanya.

No comments:

Post a Comment