18 December 2006

Melirik cara media membangun kesadaran perempuan

Tangan Idah Ernawati terus menari, ketika Manager Radio Kosmonita itu berdiskusi serius dengan Elly, salah satu penyiar terbarunya."Aku mengamati, kamu terlalu sering meminta maaf kepada pendengar ketika sedang on air, itu terdengar tidak cerdas," kata Idah. 

"Kita harus terlihat cerdas saat kita on air, sekaligus menularkan kecerdasan itu pada pendengar," tambah Idah. "Mungkin, kalimat minta maaf itu bisa diganti dengan penyebutan kembali kalimat yang salah, tanpa ada kata maaf di dalamnya," celetuk Novie, salah satu produser di radio itu. Elly lebih banyak diam dan mendengarkan. Sesekali menyahut dengan pertanyaan lain seputar radio. Diskusi tentang bagaimana sosok penyiar yang cerdas itupun berjalan ganyeng. Berdiskusi dan mengevaluasi sebuah program radio, adalah budaya di Radio Kosmonita, salah satu radio perempuan di Surabaya. Melalui forum yang biasa dilakukan setelah sebuah program radio digelar itu, bisa diketahui apakah sebuah program sudah seirama dengan benang merah radio, atau tidak. "Pada dasarnya, Kosmonita ingin problem perempuan bisa terhapus, salah satunya melalui program yang kami sajikan, mungkin pelan, tapi proses penghapusan itu harus tetap ada," kata Idah pada The Jakarta Post. Problem perempuan kembali muncul menjelang Hari Ibu 22 Desember ini. Dan sekali lagi, hal itu tidak pernah ada habisnya. Mulai peran perempuan dalam keluarga yang terlilit kekerasan (KDRT). Posisinya di masyarakat yang masih dinomorduakan. Hingga prilaku yang melecehkan kaum Hawa. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Sekali lagi, posisi perempuan memang masih terpuruk. Kondisi itu juga yang mendorong beberapa media mengkhususkan diri sebagai media yang concern membahas persoalan perempuan. Dalam catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, jumlah media cetak di Surabaya yang mengkhususkan diri sebagai media perempuan hanya sekitar 20 persen dari seluruh media yang terbit di Surabaya. Sementara Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jawa Timur mencatat, ada ada empat dari 25 radio di Surabaya yang menjadikan perempuan sebagai bidang garap. "Pertanyaannya, apakah media perempuan itu sudah benar-benar melayani perempuan dan bisa memberikan solusi atasnya," kata Sunudyantoro, Divisi Program AJI Surabaya pada The POst. Pertanyaan serupa juga terngiang dalam benak redaksi media perempuan. Idah Ernawati dari Radio Kosmonita misalnya. Evaluasi tahunan di radio yang on air pertama kali pada 22 Desember 2000 itu selalu membahas efek radio itu pada pendengarnya. "Hingga saat ini, kami menyadari efektivitas media perempuan belum maksimal," kata Idah. Dan itu bukan tanpa sebab. Budaya masyarakat yang sejak awal mencetak perempuan sebagai makhluk nomor dua seakan menjadi problem terberat. Belum lagi tidak adanya program pemerintah yang efektif menyelesaikan problem-problem itu. "Program pemerintah untuk menyelesaikan problem perempuan, belum terlihat, padahal sampai saat ini perempuan masih diposisikan menjad mahkluk nomor dua," kata Idah. Posisi itu membentuk psikologi perempuan menjadi tidak care dengan problem-problemnya. Nah, media yang ingin menyelesaikan problem perempuan bagaikan membentur "tembok". Khususnya "tembok" perubahan pola pikir. "Dan jujur saja, hal itu bukan persoalan mudah," katanya. Hal yang sama dikatakan Abdurohman, Pemimpin Redaksi (Pemred) Majalah Venus. Satu-satunya majalah bertajuk fashion dan kecantikan asal Surabaya ini menilai, banyak kendala muncul ketika media bersegment perempuan secara frontal berusaha merubah mind set perempuan. Kesadaran tentang posisi perempuan pun tidak merata. “Akhirnya harus ada strategi yang jitu untuk itu,” kata Abdurohman. Abdurohman merasakan, menentukan strategi itu pun bukan hal yang mudah. Majalah Venus memerlukan perubahan tiga kali format selama dua tahun. “Awalnya, kami memmbuat format majalah keluarga, setelah itu majalah wanita kelas atas, dan yang terakhir, majalah wanita kelas menengah,” kata Abdurohman. Dalam format terakhirnya itulah majalah beroplag 25 ribu itu mampu menembus pasar perempuan dengan berita-berita fashion dan kecantikan. “Memang, main content yang kami sajikan adalah life style, tapi di sela-sela itu kami juga menyajikan content yang mendidik seperti kesehatan alat reproduksi, kesehatan bayi dll,” katanya. Cara itu paling berhasil. Salah satu ukuran keberhasilannya adalah sambutan pasar yang konstan. "Kami bisa melayani permintaan majalah dari pasar Indonesia Timur, di samping itu pengiklan pun puas dengan format yang kami sajikan," katanya. Bagaimana pun kondisinya, Ketua Komite Perempuan Pro Demokrasi (KPPD) Erma Susanti menilai, kepedulian media terhadap isu-isu perempuan patut dihargai. Karena diakui atau tidak, keterbukaan media pada isu perempuan itu yang menjadikan perempuan Indonesia lebih care pada persoalan-persoalan yang memilitnya. Contohnya adalah isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Awalnya KDRT dipandang sebagai aib rumah tangga yang tidak pantas di persoalkan. "Tapi karena media memberi ruang untuk membicarakan KDRT, maka pelan-pelan KDRT bisa dibicarakan secara terbuka, meski belum seluruh perempuan memiliki kesadaran itu," katanya pada The Post. Namun, Erma meminta media tidak lalai mengangkat problem-problem perempuan yang sudah banyak di-alert-kan oleh aktivis perempuan. Sebut saja trafficking dan kesetaraan gender. Dua hal itu belakangan semakin tampak penting karena banyaknya kasus trafficking yang berdasar pada ketidaksetaraan gender. "Saya melihat, media masih belum intens memberitakan dua hal itu, padahal keduanya sangat urgent," kata Erma. Dan yang terpenting, media pun hendaknya tidak terjebak menjadi eksploitator perempuan. Bukan tidak mungkin, keinginan untuk membela perempuan malahan memposisikan perempuan sebagai konsumen, dengan terus menawarkan produk-produk kecantikan dan fashion belaka. "Kalau itu dilakukan, maka perempuan akan terjebak dalam budaya konsumerisme, dan itu akan semakin membuat perempuan tidak cerdas, pada ujungnya, keinginan untuk merubah nasib perempuan akan semakin jauh," katanya.

No comments:

Post a Comment