29 November 2006

Iklim usaha yang buruk membuat CSR tidak maksimal

Kepedulian perusahaan kepada masyarakat di sekitarnya yang terwujud lewat adanya Corporate Social Responcibility (CSR), terkendala dengan buruknya iklim usaha dan budaya masyarakat. Akibatnya, bantuan dana dan fasilitas yang diberikan perusahaan dalam sebuah program CRS tidak berdampak maksimal. Dan pada ujungnya, pasca bantuan itu diberikan kondisi masyarakat pun tidak mengalami perubahan. 

Hal itu yang terjadi di Desa Ngadimulyo, Kecamatan SUkorejo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Kondisi perekonomian di daerah yang merupakan warga binaan PT. HM Sampoerna TBK itu tidak mengalami perubahan berarti, meski sudah mendapatkan berbagai bantuan dari PT. HM Sampoerna melalui program Bina Warga Sampoerna. Dana puluhan juta yang dikucurkan dalam program itu pun kini macet. "Kalau tidak macet, mungkin bantuan yang dikucurkan bisa lebih maksimal," kata Ny. Ita, salah satu pengurus Pokja Sampoerna. PT. HM Sampoerna TBK memulai program CSR dengan mendirikan Sampoerna Foundation pada 1 Maret 2001. Program yang didirikan atas ide Presiden Komisaris PT. HM Sampoerna TBK, Putera Sampoerna,itu bertujuan memperbaiki sektor pendidikan di Indonesia, serta membuka peluang siswa yang memiliki prestasi akademis untuk melanjutkan studynya. Selain Sampoerna Foundation, HM Sampoerna juga memiliki berbagai program kemitraan. Seperti kemitraan tembakau, kemitraan produksi sigaret hingga program bina warga. Program Bina Warga ini adalah program berbasis aktivitas sosial ekonomi pendidikan yang dilakukan di pemukian sekitar pabrik. Tidak tanggung-tanggung, untuk Sampoerna Foundation, setiap tahun HM Sampoerna menyediakan dua persen dari laba bersih perusahaan. Sementara untuk program kemitraan tembakau, HM Sampoerna melibatkan 2 ribuan petani untuk menggarap lahan seluas 4.820 Ha. Masyarakat diajarkan cara penanaman hingga pemeliharaan tanaman tembakau. Hasilnya luar biasa, dari lahan seluas 4.820 Ha dihasilkan 10,5 ribuan ton tembakau setiap tahun. Dalam bidang produksi melalui program kemitraan produksi sigaret, HM Sampoerna memiliki 32 unit produksi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Barat. Ada sekitar sembilan koperasi, tiga pondok pesantren, dan 20 perusahaan kecil menengah yang mampu menyerap 51 ribu tenaga kerja. Di Desa Ngadimulyo yang terletak di sekitar Pabrik Sampoerna di Pasuruan, Bina Warga Sampoerna mulai digelar pada pertengahan tahun 2004. Dalam program itu, PT. HM Sampoerna menyediakan sejumlah dana yang bisa digunakan untuk menambah bantuan modal Usaha Kecil dan Menengah (UKM) khususnya produsen tempe yang ada di wilayah itu. Dana dikelola oleh Pokja Sampoerna dan disebarkan kepada masyarakat yang bergabung dalam Kelompok Masyarakat (pokmas). Di Ngadimulyo terdapat 53 pokmas yang mayoritas merupakan produsen tempe. Keluarga Muji dan Tamimah adalah pengusaha tempe tradisional yang juga anggota pokmas, yang memanfaatkan program bantuan modal dari Bina Warga Sampoerna itu. Sejak awal program itu dibuka, Muji dan Tamimah aktif mengajukan pinjaman dana. "Tidak banyak, biasanya saya hanya meminjam modal sebesar Rp.500 ribu untuk modal awal pembuatan tempe," kata Tamimah pada The Jakarta Post. Dana itu dibelikan kedelai yang diolah menjadi tempe. Setiap hari, Muji dan Tamimah mengolah 80 kg kedelai untuk dijadikan tempe. Kedelai itu dibersihkan, kemudian direbus dua kali menggunakan gentong lalu dicampur ragi. Campuran itu didiamkan selama tiga hari. "Pada hari ketiga, tempe bisa dipanen, suami saya yang menjualnya di Pasar Palang, Sukorejo,"kata Tamimah. Air bekas rebusan kedelai tidak dibuang begitu saja, melainkan dijadikan campuran makan sapi ternak. Laba kotor penjualan tempe bisa mencapai Rp.350 ribu/hari. Dari pekerjaan menjual tempe itu, Muji dan Tamimah berhasil membiayai sekolah ketiga anaknya. Dua diantaranya menuntut ilmu di dua univeritas negeri di Surabaya. "Alhamdulillah, semua karena usaha kecil yang kami lakukan," kata Tamimah yang kini mengembangkan usaha penjualan sapi potong itu. Namun, tidak semua anggota pokmas seperti Muji dan Tamimah. Dalam catatan pokja Sampoerna di Desa Ngadimulyo, mayoritas peminjam dana macet dalam mengangsur. Bahkan ada yang sama sekali tidak mengangsur dengan alasan kondisi usaha yang belum membuahkan hasil. "Harga kedelai yang naik turun, membuat produsen tempe tidak bisa mengembangkan usahanya, akibatnya pembayaran angsuran pun macet," ungkap Musta'in, Koordinator Pokja Sampoerna Desa Ngadimulyo. Belum lagi persoalan hilangnya pasar sebagai efek semburan lumpur Lapindo. Warga yang biasa berjualan tempe di Pasar Porong, terpaksa mencari pasar lain untuk memasarkan produknya. "Sebelum semburan Lapindo, saya bisa menjual 1 kuintal tempe setiap hari di Pasar POrong, tapi sekarang tidak lagi, saya hanya menjual 25 kg tempe saja, sulit sekali,.." ungkap Musta'in lesu. Untuk mensiasati itu, Pojka Sampoerna sempat merubah strategi pemberian bantuan, dari pemberian bantuan modal menjadi pemberian bantuan kedelai sebagai bahan baku tempe. Persoalan baru kembali muncul. "Produsen tempe lebih senang membeli kedelai dengan sistem bayar dibelakang, padahal di Pokja Sampoerna semua harus kontan," ungkap Musta'in. Saat ini, muncul strategi baru dengan membangun Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna (PPKS). Program ini memberi kesempatan warga yang tertarik untuk menggeluti bidang hortikultura, penataan taman, peternakan, pengolahan limbah, pengolahan pangan, bengkel motor hingga perikanan untuk meningkatkan kualitasnya. Hasilnya? Kita tunggu saja.

No comments:

Post a Comment