07 November 2006

Fedofilia beraksi di Surabaya, delapan anak jadi korban

Surabaya digemparkan oleh kasus fedofilia dan perdagangan anak. Aksi yang membuat delapan gadis di bawah umur menjadi korbannya itu dilaporkan telah menggunakan korban sebagai obyek seks. Adegan cabul itu direkam menggunakan telepon genggam, dan diduga hasil rekamannya diperjualbelikan. 

Kasus perdagangan anak perempuan untuk obyek seks itu mencuat ketika Saskia,16 dan Yunita, 18 (keduanya bukan nama sebenarnya-red) melaporkan pada polisi tentang tindakan pencabulan. Dua bersaudara warga Surabaya itu mengaku dipaksa melayani JC, 58 seorang pengusaha asal Surabaya. Saskia dan Yunita juga menuturkan, MDE, 39, salah satu tetangganya berperan sebagai perantara. Tragedi itu berawal ketika keduanya mengeluh soal sulitnya kondisi perkonomian kepada MDE. Melalui perempuan yang sehari-harinya dikenal sebagai sosok yang sering mencarikan pekerjaan itu keduanya berharap mendapatkan solusi. Agaknya, Saskia dan Yunita datang kepada orang yang salah. MDE justru menjual kedua gadis belia itu kepada JC. Singkat kata, setelah melakukan tawar menawar harga antara MDE dengan JC, disepakati JC akan "membeli" dengan harga Rp.1 juta/orang. Dengan ditemani oleh anak buah MDE, satu persatu gadis itu diantar ke salah satu hotel di Surabaya untuk bertemu dengan JC. Dalihnya, sebuah pekerjaan telah menunggu. Tapi lacur, di kamar hotel itu, mereka dipaksa melayani laki-laki uzur itu. Dengan menggunakan telepon genggam, JC mengabadikan semua aksinya. Saskia, korban terakhir JC tidak terima atas perlakuan itu bersikeras melaporkannya pada polisi. "Laporan keduanya kami terima ada 4 Nopember, dan langsung melakukan penangkapan JC dan MDE. JC kita tangkap di hotel IP Surabaya, sementara MDE kita tangkap di rumahnya," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polwiltabes Surabaya, AKBP Mulyono. Dalam penangkapan itu polisi menyita satu telepon genggam yang berisi delapan video porno dengan JC sebagai pemeran laki-lakinya. Dalam pengamatan The Jakarta Post, agaknya aksi perekaman adegan seks dengan menggunakan anak-anak sebagai obyeknya itu dilakukan sendiri oleh JC dengan menggunakan telepon genggamnya. Hal itu tampak dari adanya satu angle untuk setiap adegan yang dilakukan. Namun, polisi meyakini pembuatan video itu dilakukan secara profesional dengan menggunakan video recorder canggih. "Kita bisa membedakan hasil rekaman yang jernih, hal itu hanya bisa dilakukan dengan menggunakan video recorder yang kualitasnya bagus," kata Kapolwiltabes Surabaya Kombespol Anang Iskandar pada The Jakarta Post. Polisi menduga, hasil rekaman itu akan dijual secara ilegal. "Hal itu jelas melanggar Pasal 506 KUHP tentang pencabulan anak di bawah umur dan UU Perlindungan Anak," kata Anang. Sayangnya, hingga saat ini polisi hanya menerima dua laporan dari enam korban korban MDE dan JC. Karena itu, Anang meminta korban-korban penjualan gadis segera melapor, agar kasus ini bisa langsung dilimpahkan ke pengadilan. "Enam korban lain hendaknya segera melapor, jangan khawatir, polisi akan menjage kerahasiaan identitas korban," kata Anang. Pemeriksaan kepada pelaku JC, kata Anang akan difokuskan pada kemungkinan pelaku mengidap kelainan seksual dan menyukai anak-anak sebagai partner. "Tapi semua itu akan dibuktikan setelah pemeriksaan oleh tim medis, bila terbukti maka kita akan lebih mudah menjerat pelaku dengan pasal UU Perlindungan Anak," kata Anang. Dalam pemeriksaan di Mapolwiltabes Surabaya, JC mengaku apa yang dilakukannya murni sebuah kesalahan. Dia mengatakan upaya untuk merekam, dilakukan untuk koleksi pribadi saja, dan tidak untuk diperjual belikan. "Semua untuk koleksi pribadi saya saja," kata JC dihadapan dua penyidik perempuan, Senin(6/11) ini. Sementara MDE, sang mucikari hanya bisa menangis ketika disidik polisi. Ia teringat oleh nasib keluarga, terutama anak-anaknya ketika ia ditangkap. Di depan polisi, perempuan berambut merah itu meminta untuk dibebaskan. Priyono Adi Nugroho dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur menilai, dari kasus yang dilakukan JC, tampak sekali bahwa pelaku memiliki kelainan seksual. Karena itu, ia meminta polisi untuk tidak ragu-ragu menjerat pelaku dengan UU Perlindungan Anak. "Itu jelas kasus fedofilia, maka jerat dia dengan UU Perlindungan Anak," kata Priyono pada The Jakarta Post. LPA, kata Priyono akan secara aktif melakukan advokasi pada korban dengan mengarahkan korban pada Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Jawa Timur yang dipusatkan di RS. Bhayangkara, Surabaya. Di tempat itu, kedelapan korban akan ditangani tidak hanya secara media, tapi juga secara psiko sosial. "Ada kecenderungan anak korban kekerasan seks akan tumbuh menjadi pelaku kekerasan seks dikemudian hari, kita tidak ingin itu terjadi," kata Priyono. Data LPA Jawa Timur menyebutkan, pada tahun 2005, terjadi 500-an kasus kekerasan pada anak. Sejumlah 70 persen diantaranya adalah kasus seks yang melibatkan anak. "Pemerintah harus aware dengan hal ini, jangan sampai kasus di Lombok, NTB terulang lagi, pelaku seks anak hanya dihukum ringan karena menggunakan KUHP dalam kasus itu, makanya, gunakan UU Perlindungan Anak," katanya.

1 comment:

  1. salam kenal mas, tulisannya bagus-bagus, ajari aku mas ya.

    ReplyDelete