01 September 2006

Revolusi dan Mur Baut

Kata "revolusi", sangat berarti bagi saya. Bukan karena artinya mengisyaratkan sebuah semangat dan percepatan yang luar biasa, tapi ada roh dalam kata itu yang menggetarkan kesadaran. Berbeda dengan kata "evolusi", yang bagi saya, terasa pelan, bertele-tele dan cenderung kompromistis. 

"Revolusi" pertama kali saya dengar dari pelajaran sejarah. Kalau tidak salah, untuk menyebut jajaran pahlawan yang dibunuh PKI (menurut guru saya) dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Melihat background cerita versi guru saya itu, yang muncul adalah perasaan ngeri dan resistensi atas kata itu. 

Pahlawan Revolusi itu harus mati dengan kondisi mengenaskan, tertumpuk dalam sebuah lubang, hingga akhirnya "diselamatkan" oleh Jenderal Soeharto. Untuk kedua kalinya, kata "revolusi" kembali saya dengar dalam penjelasan pelajaran sejarah dunia. Yaitu ketika Prancis mengalami perubahan besar-besaran. 

Revolusi Prancis! Meski kesan menakutkan itu masih ada, namun "revolusi" kali ini kesannya lebih positif. Kalau tidak salah ingat, Revolusi Prancis-lah yang membuat negara itu menemukan babak baru. Tanpa revolusi, Prancis tidak akan modern. Melompat ke zaman kekinian. 

Tahun 1998 adalah tahun dimana saya paling sering mendengar kata "revolusi". Ketika itu mahasiswa dan masyarakat yang marah meminta Rezim Orde Baru untuk mengakhiri kekuasaannya. Kata "reformasi" yang menjadi kata sakti di zaman itu berubah menjadi revolusi. 

"Yang mau revolusi ikut kami,..Yang mau revolusi ikut kami,..Revolusi,..Revolusi,..sampai mati!" teriak mahasiswa dan rakyat yang berdemonstrasi ketika itu. Kali ini, kata "revolusi" berarti mencerahkan.

Pada tahun 2003, kembali saya mendengar kata itu, "revolusi", dengan tambahan Riza Zulverdi di belakangnya. Revolusi Riza Zulverdi. Sebuah nama dari seorang kawan. Sebuah nama yang aneh. Yang lebih aneh, pada sosok "revolusi" yang terakhir inilah, tiga sifat kata "revolusi" yang pernah saya rasakan, bersatu di dalamnya. 

Mengerikan (dalam pemikiran), positif (dalam berperilaku) dan mencerahkan (dalam semua hal). Ibunda "revolusi" adalah seorang pendidik. Yang kebetulan mendidik saya dalam bidang (maaf) agama. Ayahnya, bekerja di pabrik gula. 

Saya tidak pernah tahu, mengapa keturunan pendidik dan pekerja pabrik gula ini bisa menyenangi musik alternative "Seatle Sound" ala Nirvana, Pearl Jam dan semacamnya. Ironisnya, musik jenis itu juga yang menggila di kepala saya. 

Dan tentu saja ada Metallica, Iwan Fals hingga Slank. Alinea di atas, memang sangat personal. Tapi bagi saya, ada keunikan. Terserah Anda mau setuju atau tidak. Beberapa kali, "revolusi", saya dan seorang kawan lagi, menjadi "team inti". Haha,..sebutan konyol bagi kami yang sering meliput berita kemana-mana. 

Kedatangan Jenazah "haibar" Faturochman Al Gozi di Madiun, Banjir dan Tanah Longsor di Jember, Bom Bali II di Bali hingga aksi konyol mencari buronan Noordin M. Top di pegunungan di Mojokerto. "Kita benar-benar wartawan tanpa batas,.." katanya. Haha,..konyol! 

Revolusi ala "revolusi" yang mungkin anda rasakan adalah sajian berita-berita dari TV7 Jawa Timur. Tahukah Anda, "revolusi" yang dia ciptakan ketika kawan saya ini sendirian menjadi wartawan TV7 di Jawa Timur? 

Dia harus bersaing berhadapan dengan "gempuran" TV lain yang memiliki tim lebih banyak dan peralatan lebih canggih pula. Hingga pelan-pelan muncul "pasukan" TV7 lain, plus tiga koresponden di Malang, Jember dan Kediri. 

"Wartawan itu cuma mur dan baut dalam sebuah rangkaian mesin perusahaan," katanya. Entah apa maksudnya. Karena mur dan baut itulah, Revolusi harus mengakhiri "revolusinya". Jumat (01/09) pagi ini, ia berangkat ke Jakarta, menempati pos baru sebagai Asisten Koordinator Daerah, meninggalkan "revolusi" di Jawa Timur yang belum tuntas. 

"Saya tidak akan pernah mengatakan selamat tinggal, never say goodbye, pada tim solid di TV7 di Jawa Timur, ini adalah konsekuensi saya sebagai pekerja," katanya. Entah apa maksudnya... 

 "I hope some day you'll have a beautiful life,"---kutipan syair Pearl Jam dalam lagu Black.

1 comment:

  1. Anonymous3:19 pm

    teruslah berevolusi sang gendut...

    bukan ber-evolusi..

    ReplyDelete