05 September 2006

Refleksi kekerasan massa kelas bawah dalam fenomena bonek

Senin(04/09) sore, Surabaya, Jawa Timur, benar-benar memanas. Ribuan suporter kesebelasan sepak bola Persatuan Sepak Bola Surabaya (Persebaya)-akrab disebut Bonek (Bondo Nekad)- yang menyaksikan laga Copa Dji Sam Soe antara Persebaya dan Arema Malang mengamuk di Stadion Sepuluh November, Tambaksari, Surabaya. 

Mereka melempari pemain kedua kesebelasan, membakar papan iklan serta menyerang polisi yang berusaha menenangkan mereka. Di luar stadion pun sama. Ribuan Bonek yang kesetanan mengempari mobil pribadi, mobil parat keamanan hingga truk berisi peralatan satelit milik stasiun TV yang menyiarkan secara langsung pertandingan itu. Belum puas, suporter berbaju hijau itu membakarnya. Polisi yang coba mengamankan pun lari kuwalahan dengan jumlah perusuh yang jauh lebih banyak. Enam orang ditangkap dalam peristiwa beringas itu. BONEK, SUPORTER SEKALIGUS DESTROYER Suporter Bonek adalah fenomena yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan olah raga di Indonesia. Khususnya sepak bola. Sama seperti suporter-suporter kesebelasan sepak bola lain di seluruh dunia, sebut saja Ultras, pendukung kesebelasan Italia dan Holigans pendukung setia Inggris, Bonek pun hadir untuk mendukung kesebelasannya bertanding. Sayangnya, budaya dukungan berlebihan dari Ultras dan Holigans yang berlebihan dan kerap kali membuat keributan itu juga dilakukan oleh Bonek. Bila dirunut kebelakang, fenomena Bonek mulai ada sejak akhir tahun 80-an. Hanya saja, kekuasaan Rezim Orde Baru ketika itu berhasil meredam kebrutalan Bonek. Nah, ketika Rezim di bawah Soeharto itu lengser, lambat laun kebrutalan pun semakin muncul. Kesetiaan Bonek pada Persebaya membuat Bonek selalu menemani Persebaya, di mana pun kesebelasan itu bertanding. Hal itu juga menciptakan persoalan tersendiri. Karena Bonek yang berarti modal nekad itu hampir pasti tidak memiliki cukup uang saku, dalam lawatannya ke luar kota. Ujungnya, di kota yang didatangi itulah Bonek berulah dan bikin keributan dengan ulah kriminalnya. Merampas, mengeroyok pedagang kaki lima, hingga menyerang warga kota setempat. Jakarta adalah kota yang sering menjadi korban. Bonek yang datang ke Jakarta untuk mendukung Persebaya (biasanya dalam event final Liga Indonesia), membuat Ibu Kota "Siaga Satu". Ribuan aparat keamanan pun disiapkan untuk antisipasi kebrutalan Bonek. Meski seringkali, keributan oleh Bonek tetap saja tidak terelakkan. Bagi dunia olah raga di Indonesia, kehadiran suporter yang sangat militan seperti Bonek, justru berdampak negatif. Kebijakan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang menghukum kesebelasan karena ulah suporternya-kebijakan yang sama diberlakukan pula di negara lain-membuat Persebaya tidak bisa bergerak bebas. Tak terhitung sanksi yang diberikan PSSI kepada Persebaya karena ulah Bonek. Mulai membayar ganti rugi uang, hingga larangan bermain di kandang sendiri. Efek negatif itu direpon positif oleh Pemerintah Kota Surabaya yang sekaligus pemilik Persebaya dengan membentuk Yayasan Suporter Persebaya (YSS) pada tahun 2000. Maunya sih, melalui YSS ada koordinasi antar suporter olah raga termasuk Bonek. Termasuk memfasilitasi suporter bila ada pertandingan Persebaya ke luar kota. Namun, di sisi lain, kehadiran YSS seakan melegitimasi (bahkan memanjakan) Bonek. Kebrutalan tidak berhenti. Kota-kota lain di luar Surabaya pun seakan ikut jengah dengan Bonek. Hampir di setiap pertandingan yang dihadiri Persebaya (dan Bonek-nya), membuat penduduk kota setempat bersiaga. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menyerang rombongan Bonek yang melintas. Di Jawa Timur, dua kota yang memiliki "dendam" dengan Bonek adalah Malang dan Lamongan. Keributan hampir pasti meletus bila Bonek hadir di kedua kota itu. Itulah sebabnya, pada tahun 2001 Polda Jatim sempat membuat kesepakatan dengan Koordinator Suporter Arema Malang dan YSS untuk tidak memobilisasi suporter ke dua kota. Fenomena yang hampir sama, meski dengan tingkat kebrutalan yang lebih rendah juga dilakukan Jakmania pendukung Persija dan Maung Bandung pendukung Persib. Di luar negeri, khususnya bila terjadi pertandingan Derby (pertandingan kesebelasan se-daerah), juga terjadi aksi saling menyerang. Di Italia, misalnya, dua suporter kesebelasan Inter Milan dan AC Milan selalu bentrok. Juga suporter kesebelasan Lazio dan AS Roma. Di Inggris, aksi berdarah-darah terjadi antara suporter kesebelasan Liverpol dan Everton. Kerugian selalu hadir bagi kesebelasan yang suporternya bermasalah. Namun, hal itu tetap tidak membuat Pemerinkah Kota Surabaya "belajar". Bahkan, aksi untuk melindungi Bonek terus dilakukan. Yang paling konyol terjadi tahun 2005, ketika Persebaya memutuskan untuk mundur dari babak 8 besar Liga Indonesia 2005, dengan alasan ingin "menyelamatkan" Bonek dari serangan warga yang tidak senang dengan kehadiran Bonek di Jakarta. Aksi itu membuat Persebaya disanksi turun dari Divisi Utama menjadi Divisi satu. Ironisnya, aksi Bonek tidak juga berubah. BONEK DI MANA-MANA Banyak yang menilai, Bonek adalah ekspresi dari kelompok masyarakat yang menjadikan sorak sorai kebebasan suporter sebagai pelampiasan kehidupan yang terjepit oleh berbagai persoalan. Kelompok masyarakat jenis ini hampir merata di seluruh Indonesia. Buktinya, banyak "bonek-bonek" sejenis di setiap kota. Hanya saja, Bonek di Surabaya yang paling terkenal dan eksis serta tidak takut menunjukkan identitas konyolnya. "Bonek" juga terjadi dalam bidang lain. Sebut saja bidang politik. Militansi pada partai tertentu membuat ribuan orang datang ke sebuah tempat yang jauh, dengan bekal yang pas-pasan hanya untuk melihat tokoh politik yang dianggap mewakili rakyat tertindas berpidato. "Bonek" juga terjadi dalam dunia seni, dimana ribuan orang datang ke konser penyanyi tertentu untuk menikmati pujaan yang juga mewakili ketertindasan, beraksi di atas panggung. Tujuannya sama, mencari "kebebasan" sesaat dari himpitan persoalan. Persoalan mulai muncul, ketika semua way out kebebasan sesaat itu akan usai, sementara energi kebebasan yang dimilikinya masih belum semuanya terlampiaskan. Dalam kasus Persebaya melawan Arema kemarin misalnya, persebaya yang diharapkan mampu mengalahkan Arema yang direfleksikan dengan terialan "Goooollll,..."panjang dari suporternya, tidak juga terjadi. Tidak ada klimaks di sana. Mulailah muncul keinginan untuk mencari kambing hitam. Pemain Arema yang dianggap mengulur waktu pertandingan dipilih menjadi common enemy. Aksi penyerangan dengan lemparan pun terjadi. Dalam skala yang lebih besar, kerusuhan massa di berbagai tempat di Indonesia seringkali diawali dengan tanda-tanda serupa. Mulai adanya kelompok menengah bawah dalam jumlah besar yang butuh way out, menemukan trigger untuk melampiaskan bebannya, tidak puas dan berujung pada aksi massa. Ingat tragedi Mei di Jakarta, Sangauledo, Ambon, Sampit, Papua dan berbagai daerah yang menyimpan kenangan buruk kerusuhan massa. Agaknya, hal fenomena akan terus terjadi, karena kondisi tidak berubah bahkan lebih buruk. Lalu bagaimana mengatasinya? Pembahasan ini harus dijalankan dalam semua aspek kehidupan bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, hukum hingga pertahanan dan keamanan (hankam). Dengan bahasa lain, mengurangi beban ketertekanan masyarakat dari beban hidupnya melalui pengelolaan birokrasi yang tepat. Mau tidak mau, solusi ini memposisikan negara sebagai pelaksana. Ah,..tampaknya jalan menghapus Bonek masih terlalu panjang dan berliku. Ole,..ole,..ole,..oleeeee,.... *Terima kasih untuk sahabat saya: Jojo Raharjo (LSPP), Sugeng Irianto (Radar Surabaya) dan Dodik Puji (TV7) yang membagi informasi ke-bonek-annya dengan saya.

No comments:

Post a Comment