12 June 2006

Ketika Lumpur Panas Menggenangi Desa..

Kasmail, 70, lunglai tak berdaya di atas tandu, ketika petugas dinas kesehatan Kabupaten Sidoarjo dibantu Satuan Polisi Pamong Praja dan warga Desa Jatirejo membawanya. Tangan kirinya mencengkeram pinggiran tandu kain berwarna hijau itu, saat langkah keempat orang yang membawanya berjalan semakin cepat. Menuju ke salah satu kios di Pasar Baru, Porong, Sidoarjo, Senin (12/06) siang ini untuk mengungsi.

"Kita harus memberinya alas tikar, bila dia akan ditidurkan di lantai," kata petugas dinas kesehatan itu, pada salah satu anak perempuan Kasmail. Sebuah tikar berwarna merah bata pun digelar. Perlahan, tandu berisi laki-laki berwajah pucat itu diletakkan di atasnya. Beberapa orang bergerombol melihat Kasmail diturunkan dari atas tandu.

Laki-laki yang kaki sebelah kirinya cacat sejak lahir itu adalah satu dari 300-an warga tiga desa Jatirejo di Porong, Sidoarjo yang mengungsi di Pasar Baru, Porong. Lantaran, rumah yang ditempatinya mulai terendam oleh lumpur panas yang sejak 29 Mei lalu tersembur tak jauh dari lokasi pengeboran PT. Lapindo Brantas Inc. "Sejak dulu memang seperti ini (cacat), tapi tetap harus mengungsi kalau mau selamat," kata anak perempuan Kasmail.

Desa Jatirejo adalah desa ketiga di Sidoarjo yang awal minggu ini mendapat "giliran" teraliri lumpur panas. Sebelumnya, sudah dua desa, Desa Siring dan Desa Renokenongo yang terlebih dahulu merasakan lumpur liat berasap merusak pekarangan, perkebunan bahkan sekolah. "Minggu (11/06) malam kemarin, yang masuk ke pekarangan rumah hanya rembesan air, tapi menjelang pagi, lumpur mulai masuk," ungkap Quamairotin, warga Jatirejo pada The Jakarta Post.

Bagi warga desa, masuknya lumpur panas ke wilayah mereka sangat menakutkan. Karena selain mampu merusakkan bangunan, lumpur berwarna coklat kehijauan itu mencemari sumur dan merusak apapun yang digenanginya. Belum lagi efeknya pada kulit dan pernapasan. "Dua keluarga saya sampai harus periksa ke rumah sakit, karena sesak napas dan pusing," ungkap perempuan berusia 23 tahun yang mengungsi bersama 12 anggota keluarganya itu.

Marto, 62, dan Madiatur Roihana,1, ayah dan anak Quamairotin adalah dua anggota keluarganya yang sakit karena pengaruh lumpur panas itu. Di pengungsian, Marto hanya bisa tertidur di dalam kios, sementara Madiatur Roihana selalu rewel, meringik pada Quamairotin. "Sudah ah, jangan rewel terus,.," kata Quamairotin pada anak perempuannya, sambil sesekali menempelkan punggung tangannya pada dahi sang anak.

Tiga minggu sudah bencana lumpur panas yang tersembur dari areal pengeboran gas PT. Lapindo Brantas Inc terjadi. Sudah tidak terhitung jumlah kerugian yang dialami masyarakat di tiga desa tempat bencana itu berada. Matinya puluhan hektar padi siap panen adalah kerugian pertama yang dirasakan masyarakat pada awal mula bencana itu terjadi.

Saat semburan gas itu masih tampak kecil, pada akhir Mei lalu, masyarakat setempat sudah berusaha mengingatkan pegawai PT.Lapindo. "Saya sudah mengatakan pada mereka (PT.Lapindo) untuk segera menutup kebocoran itu, tapi hal itu tidak dilakukan," ungkap Kusnadi, warga Desa Siring pada The Post. Kusnadi khawatir kebocoran itu akan menjadi besar.

Kekhawatiran itu pun terjadi. Semburan gas SO2 disertai lumpur panas membesar, dan menggenangi persawahan. Jumlahnya tidak main-main, diperkirakan 5000 m3/harinya. Pegawai PT. Lapindo yang awalnya memandang kebocoran itu sebagai "hal kecil", akhirnya mengaku kesulitan untuk menghentikannya. "Kami hanya menghadang luberan (lumpur panas) saja," ungkap East Java Manager PT. Lapindo Brantas Inc, Rewindra daam rapat koordinasi dengan Muspida Sidoarjo.

Tanggul yang dibangun disekitar lokasi kebocoran pun sia-sia. Lumpur panas meluber kemana-mana. Termasuk menggenangi tujuh pabrik yang ada di sekitar lokasi. Mulai perusahaan jam PT. Catur Putra Surya, pabrik rotan Victory Rotanindo, pabrik minuman beralkohol PT.Gunung Mas Sentosa, pabrik snack PT.Primafendo Bangun Makmur, pabrik kerupuk PT. Intipratama, PT. Supra Surya dan PT. TMMG.

Ketika lumpur itu masuk ke perumahan warga, kepanikan pun terjadi. Ratusan warga terserang sesak napas, mual-mual dan gatal-gatal dan harus memeriksakan diri ke RS. Bhayangkara Probolinggo. Tercatan sudah 500-an orang memeriksakan diri ke rumah sakit. Enam orang di antaranya diminta rawat inap di RS itu, sisanya memilih untuk rawat jalan.

Tidak hanya itu, lumpur panas yang meluber ke sekolah-sekolah di tiga desa itu membuat terhentinya aktifitas belajar mengajar. Agenda ujian kenaikan kelas di semester ini pun harus Dibatalkan.

Ironisnya, PT. Lapindo tidak segera mengantisipasi kebocoran lumpur panas ini dengan segera. Bahkan, PT. Lapindo melalui General Managernya, Imam Agustino masih belum merasa bertanggungjawab atas tragedi ini. "Kita akan cari dulu, apakah semua ini karena PT. Lapindo," kata Imam, Minggu (11/06) lalu.

Bahkan, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melalui Bupati Win Hendrarso mengaku tidak mampu mengatasi persoalan ini, dan menyerahkan pada pemerintah pusat. "Jelas kami tidak mampu, dari mana kita mendapat alat-alat berat untuk itu," tegasnya pada The Post. Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan Pemkab Sidoarjo adalah membendung lumpur panas yang terus keluar, agar tidak masuk ke jalan tol. Namun, hal itu kembali menuai persoalan, karena lumpur itu mengalir ke rumah warga Desa Siring.

Warga yang marah akhirnya membongkar paksa bendungan, dan membiarkan lumpur itu mengalir melalui jalan tol, menuju persawahan di sisi lain. Jalan bebas hambatan itu pun sempat ditutup total, meski belakangan kembali dibuka satu jalur. "Masa' pemerintah lebih memeintingkan jalan tol, dari pada masyarakatnya!" protes Kusnadi, warga Desa Siring.

Hingga Selasa (13/06) ini, semburan lumpur panas itu masih berlangsung, seiring tanggul-tanggul baru sedalam 2 meter yang terus dibangun. Sampai kapan tanggul-tanggul itu mampu menahan lelehan lumpur panas itu?***

No comments:

Post a Comment