14 February 2015

PUTUSAN PRAPERADILAN BG MENGUBAH WAJAH HUKUM DI INDONESIA

Komjen Budi Gunawan | *foto URL Tempo.co
Keputusan pengadilan kasus Komjen Budi Gunawan (BG) mampu mengubah wajah hukum di Indonesia.

Bila pengadilan menerima praperadilan yang diajukan BG, maka seluruh warga negara  (termasuk para tersangka) di Indonesia memiliki hak hukum yang sama untuk melakukan praperadilan.

Peringatan itu disampaikan Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR, dalam siaran pers yang disampaikan menjelang putusan sidang praperadilan BG di PN Jakarta Selatan.


Putusan praperadilan itu diketok pada Senin (16/2/2015) ini.

“Tidak hanya nasib BG yang dipertaruhkan, namun seluruh warga negara Indonesia yang bisa jadi sewaktu-waktu berhadapan dengan Praperadilan,” tulis ICJR dalam siaran persnya.

ICJR menjelaskan, bila hakim mengabulkan permohonan pengujuan penetapan tersangka BG, maka hal itu berarti ada penerobosan hukum.

Lantaran, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, tidak memberikan kewenangan pada Praperadilan untuk menguji penetapan tersangka.

Dengan mengabulkan permohonan Praperadilan BG, maka hak yang sama haruslah dimiliki oleh seluruh warga negara Indonesia, tanpa terkecuali.

Sebaliknya, apabila Hakim menolak, maka hal itu berarti adanya kekosongan hukum dalam ranah Praperadilan.

DPR dan Pemerintah harus duduk bersama untuk merancang regulasi yang mampu menambal celah dalam hukum acara pidana tersebut.

“Entah dalam bentuk revisi KUHAP, atau pembentukan Perppu,” demikian ICJR.

Inisiatif yang sama juga harus diambil oleh MA,  sebagai lembaga tertinggi dalam cabang kekuasaan yudikatif.

MA memiliki instrumen Peraturan Mahkamah Agung untuk menambal kekosongan hukum yang terdapat dalam KUHAP khususnya pengaturan mengenai hukum acara dari lembaga praperadilan.

ANAK TIRI

Dalam catatan ICJR, selama ini lembaga Praperadilan diperlakukan laiknya “anak tiri” dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Padahal, Praperadilan memiliki fungsi penting sebagai bagian dari mekanisme perlindungan hak asasi manusia atau HAM.

“Praperadilan sama sekali tidak disebut dalam Laporan Tahunan MA.” Demikian tertulis dalam siaran pers.

Selama ini, kewenangan penyidik dalam menentukan bukti permulaan untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka tidak dapat diuji.

Padahal efek dari penentuan bukti permulaan dan penetapan tersangka sangatlah besar.

Bahkan sampai mampu merampas kemerdekaan dan pembatasan hak dasar yang dimiliki oleh warga Negara dalam bentuk penangkapan dan juga penahanan.

ICJR  menilai, absennya pengawasan horizontal yang dilakukan oleh Pengadilan terhadap kewenangan aparat penegak hukum adalah salah satu sumber utama terjadinya peradilan sesat atau rekayasa kasus.

Padahal, selain untuk memberikan perlindungan terhadap warga, pengawasan pengadilan dalam setiap tahapan proses yang dilakukan penyidik dan penuntut umum, memberikan legitimasi lebih kepada penuntut umum untuk melakukan pembuktian pada pokok perkara.

Sehingga tidak ada lagi keraguan terhadap proses penyidikan yang dilakukan.

“Termasuk pengumpulan bukti dan penggunaan kewenangan lainnya pada tahapan penyidikan dan penuntutan.”

Press Release

No comments:

Post a Comment