23 July 2008

Money Politics Urgent Dipikirkan NU

Kacung Marijan, Pengamat Politik Universitas Airlangga
Dimuat di The Jakarta Post

"Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biayanya jauh lebih besar,"


Empat dari kandidat gubernur Jawa Timur adalah orang NU, sebenarnya seperti apa permainan politik NU sekarang?

Prinsipnya, NU selalu menyerahkan urusan politik kepada jamaah melalui partai politik, bukan pada organisasi NU. Karena sejarahnya, ketika NU masuk ke ranah politik, maka banyak urusan yang menjadi ranah NU menjadi terbengkalai. Cuma yang menjadi masalah, tidak lantas NU tidak tersentuh urusan politik. Apalagi NU berada pada tempat yang fakum, melainkan sangat dinamis. Sehingga NU yang sejak tahun 1984 tidak terjun dalam politik, secara langsung atau tidak, terlibat dalam politik. Saat NU memfasilitasi parpol warga NU. Deklarator PKB adalah pentolan NU. Memang tidak tegas, tapi yang memfasilitasi adalah NU. Sejak saat itu, sampai sekarang, NU terlibat politik. Meski NU bukan partai politik. Misalnya ada perumusan caleg, NU masih dilibatkan. Walau tahun 2004, keterlibatan NU dalam penentuan caleg tidak terlalu besar.

Apa yang sebenarnya terjadi di Jawa Timur? Terutama soal PKB?

Sejarah NU yang kuat di Jawa Timur terjadi karena PKB sedang gonjang-ganjing. Ada pandangan dari elit NU, tentang Jawa Timur adalah basis NU. Karena itulah, bila NU tak ikut cawe-cawe dalam urusan pilkada, sepertinya kok tidak bijaksana. Hal itu juga yang membuat adanya keinginan kuat untuk melibatkan diri secara lansung dalam Pilgub di Jawa Timur. Misalnya, ketika Musyawarah Wilayah NU untuk memilih ketua PWNU baru pada Nopember lalu, ada perjanjian atau kontrak jam’iah yang menyebutkan tidak diperbolehkannya ketua PWNU terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam politik praktis. Tapi, kontrak jam’iyah itu sudah mempengaruhi politik secara tidak langsung. Yang langsung untuk Ali Maschan Moesa yang ketika itu terpilih. Karena itulah Ali Mschan dihukum rame-rame. Yang awalnya didukung, akhirnya secara jamaah dihindari. Bahkan sekarang yang menghindari Ali Maschan sebagian besar ke kubu Khofifah. Waktu itu, maunya NU tak terserat urusan pencalonan ini. Jadi, kontak jam’iah ini tidak realistis. Kalau kita lihat, yang namanya terlibat tidak langsung itu maknanya sangat luas sama sekali. Misalnya terlibat di opini dan penggalangan massa. Misalnya, ketika PBNU buat menjadi racangan program dan ditawarkan ke calon gubernur, secara tidak langsung mempengaruhi calon gubernur. Dalam kehidupan politik yang dinamis, tidak mungkin akan tidak terlibat dalam politik.

Lalu, NU dengan prinsip akhlakul karimah, dan berpolitik, dan kita banyak dengar adanya money politics melalui sumbangan dll, ini bagaimana?

Ini sebenarnya sesuatu yang mengkhawatirkan. Dua minggu lalu ada diskusi tentang fikih dalam pilkada, termasuk soal money politics, kesimpulannya saat itu adalah haram. Hal itu bisa dicheck dalam forum basul masail (forum diskusi hukum kekinian). Persoalannya bila ada orang memberi, apakah itu termasuk money politics atau tidak. Seperti ada orang menyumbang ke pesantren, itukan biasa, tidak mungkin ditanya, menyumbang untuk apa. Dianggap tidak sopan. Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biaya nya jauh lebih besar. Itu info dari tim masing-masing calon. Alasannya, pemilih yang memilih kandidat berdasarkan uang yang diberikan makin banyak. Kandidat tidak Cuma memperbutkan suara, tapi juga memperebutkan vote getter. Mereka harus dibayar juga.

Jadi para ulama tidak terlibat untuk menghapus money politics?

Saya lihat tidak, bahkan menjadi bagian dari itu. Itu menyedihkan, walaupun basul masail, pada dua minggu lalu mengharamkan money politics. Cuma hasil basul masail belum disosialisasikan ke ulama yang lain. Harusnya, ini menjadi isu media juga. Tapi saya lihat, tidak ada media yang melaporkan secara langsung.

Bisa Anda memberikan contoh money politics yang paling transparan dari ulama-ulama ini?

Seperti yang saya katakan, money politics yang langsung mungkin masih debatable, karena calon-calon bukan ke voter, tapi ke tokoh-tokoh, ini yang kemudian memberikan sumbangan bisa puluhan juta. Sumbangan Rp. 1 M pada pada NU, itu sebagian kecil saja.

Tapi itu money politics?

Kalau itu tujuannya untuk mengarahkan suara ke calon tertentu, itu money politics. Karena difinisi money politics itu adalah langkah sengaja untuk mengarahkan suaranya ke calon tertentu. Nah, itu (sumbangan Rp. 1 M, KAJI) adalah tidak langsung bagian dari money politics juga. Karena momennya jelas.

Apalagi, Hasyim Muzadi bersama istrinya kemana-mana bersama Khofifah?

Iya. Itu secara tidak langsung bagian dari money politics.

Lalu soal dukungan kepada 4 kandidat?

Awalnya Hasyim Muzadi mendukung Ali Maschan Moesa. Masalahnya, ada desakan Ali Maschan mundur, tapi tidak mau. Akhirnya konflik. Lalu, Khofifah yang tidak jadi agenda dicalonkan, akhirnya jadi agenda.

Kenapa Khofifah?

Karena Hasyim dan tokoh NU lain mencari alternative. Apalagi, Khofifah relative bersih, dan memiliki jaringan yang luas sampai ranting. Untuk menang, harus melalui hal seperti itu. Nah, saya tidak tahu, tiba-tiba dukungan luar biasa, dan itu tidak lepas dengan uang yang luar biasa juga. Tidak mungkin calon bisa iklan ½ halaman tiap hari di media massa, dan memasang billboard di seantro Jatim, tanpa uang Rp.100 M, itu tidak mungkin. Belum lagi, mobilisasi ndukungan di lavel grassroad, butuh modal yang luar biasa. Karena itu, dukungan itu luar biasa.

Juga pemberian mobil ke 44 Muslimat NU di kabupaten kota di Jatim?

Nah, itu juga. Faktanya, Muslimat 44 cabang dapat mobil APV. Belum juga partai yang lainya.

No comments:

Post a Comment