18 September 2007

Keberagaman Di Masjid Cheng Hoo

Potret keberagaman begitu kental di Masjid Cheng Hoo Surabaya. Bila waktu berbuka puasa tiba, di masjid yang memiliki desain bangunan seperti tempat peribadatan umat Konghucu itu berkumpul ratusan orang dari berbagai suku dan ras. Selain mendapatkan ta’jil (makanan pembuka), dan nasi bungkus serta minuman pelepas dahaga, ratusan orang itu melaksanakan sholat Maghrib, Isya’ dan Tarawih secara berjamaah. “Tidak ada lagi perbedaan pribumi dan non pribumi di sini,” kata Oei Tjing Yen, pengurus Masjid Cheng Hoo.

Suasana seperti itu mulai terasa ketika matahari sudah mulai condong ke ufuk barat. Beberapa orang anggota organisasi muslim warga Tionghoa atau PITI (Persaudaraan Iman Tauhid Indonesia-RED) dibantu warga sekitar masjid mulai mempersiapkan kebutuhan buka puasa bersama. Ratusan gelas berisi minuman dingin, ditata bersebelahan dengan kue dan buah kurma. Di ujung meja panjang itu, disiapkan empat termos berisi minuman hangat. Seiring dengan persiapan makanan buka puasa, sebagian anggota PITI yang lain menggelar tikar. Di atas tikar yang digelar di lapangan basket di depan masjid Cheng Hoo itulah, umat muslim yang berbuka menikmati makanan yang dibagikan.

Semakin dekat dengan waktu Maghrib, jamaah mulai berdatangan. Dengan menggunakan mobil, sepeda motor atau berjalan kaki, ratusan orang memasuki areal masjid seluas 3 hektar itu. Ada yang langsung mengambil air wudlu dan membaca Al Quran, ada pula yang memilih menunggu Adzan Maghrib sambil duduk-duduk di serambi masjid. “Silahkan mengambil ta’jil yang sudah disediakan, waktu Maghrib segera tiba,” kata salah satu panitia buka puasa melalui pengeras suara. Dengan rapi, ratusan orang itu pun berbaris dan mengambil ta’jil seiring gema adzan dan bedug mahgrib tanda berakhirnya puasa.

Masjid Cheng Hoo mulai resmi digunakan pada 13 Oktober 2003. Dengan biaya pembangunan Rp. 3,3 miliar, masjid yang diberi nama seorang laksamana asal negeri Tirai Bambu itu dibangun sangat unik dengan meniru desain bangunan Masjid Niu Jie di Beijing China. Selain namanya yang tercatat sebagai masjid yang pertama kali mengunakan nama Muslim Tionghoa, Masjid Cheng Hoo juga memiliki nilai filosofi yang memadukan filosifi Islam dan Tionghoa. Bangunan sepanjang 11 meter misalnya, sama dengan panjang Ka’bah ketika pertama kali dibuat. Sementara lebar bangunan sepanjang 9 meter disamakan dengan jumlah wali penyebar agama Islam di tanah Jawa.

Sementara pada bagian atas bangunan utama yang memilki segi delapan. Angka delapan, dalam bahasa Tionghoa disebut Fat atau jaya dan beruntung. Segi delapan itu juga yang merupakan lambang bentuk sarang laba-laba. Dalam kepercayaan Islam, sarang laba-laba pernah menyelamatkan Nabi Muhammad SAW ketia dikejar-kejar oleh kaum Quraish untuk dibunuh. Uniknya, tempat Imam Sholat dibentuk seperti pintu gereja. Yang berarti umat Islam mengakui Nabi Isa A.S yang menerima kitab Injil untuk Nasrani.

Pada sisi kanan masjid terdapat relief Laksamana Cheng Hoo bersama armada kapal yang digunakan mengarungi Samudera Hindia selama tujuh kali. Gambaran ini seakan sebuah seruan kepada warga Tionghoa untuk tidak sombong dengan umat lain, seperti Cheng Hoo yang bersedia bersahabat dengan siapapun di muka bumi. Hal itu juga yang menjadi semangat dibaginya makanan gratis saat berbuka setiap Ramadhan tiba. “Ini seperti amanah dari pendahulu kita, harus kita laksanakan,” kata Oei Tjing Yen, pengurus Masjid Cheng Hoo.

Untuk itu, disediakan dana rata-rata sebesar Rp.2.250 juta/hari yang diambilkan dari uang sumbangan jamaah muslim Tionghoa dan donatur lain dari berbagai latar belakang agama. Dana itu digunakan untuk membeli makan nasi bungkus, kue dan minuman berbua sebanyak 350/biji/hari. “Semakin banyak yang memberikan sumbangan, semakin banyak pula makanan yang disediakan,” kata laki-laki yang dikenal dengan nama Pak Yen ini.

Bagi masyarakat, budaya berbuka puasa bersama di masjid Cheng Hoo, bisa berarti pula sebagai sarana pembelajaran keberagaman. Annisa Mahsuna misalnya. Perempuan berusia 38 tahun ini menjadikan buka bersama di masjid Cheng Hoo sebagai tradisi keluarganya. “Saya selalu membawa keluarga saya ke Masjid Cheng Hoo untuk berbuka puasa dengan masyarakat banyak,” kata ibu tiga anak ini di sela-sela menyantap nasi bungkus menu berbuka sore itu. Annisa yang warga Sidoarjo ini membayangkan, hal itu akan bisa membuat ketiga anaknya memahami apa arti perbedaan. “Yang berbuka di sini berasal dari banyak berbagai kelompok masyarakat, saat itulah anak saya akan belajar makna keberagaman,” kata Annisa.

1 comment:

  1. Mas Nugroho, fotonya jgn cuma satu dong tiap cerita, pgn liat yang lain juga :D

    ReplyDelete